Oleh: Ali Abubakar Aman Nabila
Tgk. M. Saleh Adry lahir sekitar tahun 1915 di Takengon dari pasangan seorang ulama bernama Nangar dan Mas, wanita dari Kuala Simpang. Masa kecil Nangar dihabiskan bersama orangtuanya di Dataran Tinggi Gayo. Nangar kecil dikenal sebagai anak yang keras, suka membantah (ukang), bahkan melawan bapaknya. Sifat negatif itulah yang membuatnya harus dikirim belajar agama pada Madrasah Sumatra Thawalib, Padang Panjang, Sumatera Barat atas saran Tgk. Damanhuri (Tgk. Silang), saudara kandung bapaknya. Selain itu, pengiriman M. Saleh Adry untuk mengenyam pendidikan formal karena berdasarkan ramalan ibundanya bahwa ia bakal menjadi seorang panglima perang, tetapi akan meninggal di tempat tidur. Di Thawalib, kemampuan akademis M. Saleh Adry ternyata berkembang pesat. Ia termasuk murid yang cerdas dan berprestasi, mahir berbahasa Arab dan Inggris, sehingga setelah tamat ia diberikan kesempatan mengajar di sekolah yang didirikan Haji Abdul Karim Amrullah tersebut.
Setelah mengabdi beberapa tahun di Thawalib, pada tahun 1941, M. Saleh Adry yang berperawakan gemuk, pendek dan berkulit putih ini menikahi Nurlina, mantan muridnya dari Maninjau, dan langsung membawanya pulang ke Aceh Tengah. Setibanya di tanah kelahirannya, M. Saleh Adry langsung menjadi panutan dan tokoh masyarakat. Ia bergabung dengan barisan para pejuang untuk melawan penjajahan Belanda dan selanjutnya Jepang. Di bidang militer ini, M. Saleh Adry dikenal karena kemahirannya menggunakan senjata. Ia juga dikenal memiliki kelebihan khusus yaitu tidak pernah terkena satu peluru pun selama masa memanggul senjata. Cerita mistis yang berkembang di tengah masyarakat menyatakan bahwa setiap peluruh yang diarahkan musuh ke M. Saleh Adry selalu berbelok menghindari badannya, padahal setiap bertempur ia tidak pernah tiarap atau jongkok. Ia selalu menghadapi musuh dengan sikap berdiri.
Berita kemerdekaan Indonesia mulai terdengar di Takengon pada tanggal 18 Agustus 1945, selain diterima melalui masyarakat yang pulang dari Jeumpa, Bireuen, juga melalui radio yang dimiliki Tgk. M. Saleh Adry. Perlawanan rakyat melucuti Jepang di awal kemerdekaan dipimpin oleh Tgk. M. Saleh Adry bersama beberapa pahlawan Gayo lainnya yaitu yaitu Ali Gonang, Syekh Hasan, Anwar Badan, Guru Banta Cut, Darul Aman, T. Mahmud, Tala, Ajim, Saleh Hafas, dan Toke M. Zen (Azema).
Tgk. M. Saleh Adry menempati banyak posisi dalam berbagai organisasi pejuangan kemerdekaan maupun lembaga negara, yaitu
- Anggota Dewan Perwakilan Kabupaten (DPK) Aceh Tengah (1945) mewakili Kewedanaan Takengon bersama Kali Abu Bakar Kebet dan Tgk. Abd Latief Rousjdy;
- Wakil Komandan Resimen V Divisi X Mujahidin Chik Ditiro (1945), yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Beureueh (1990-1987), sedangkan komandannya adalah Tgk. Ilyas Leubee;
- Bersama Tgk. Banta Cut Toweren menjadi Komandan Batalyon Berani Mati yang dibentuk oleh Divisi Tgk. Chik Paya Bakong yang dipimpin oleh Tgk. Amir Husein al-Mujahid dan Adjad Musi; anggota Dewan Perjuangan Rakyat (DPR) (1946);
- Anggota Komite Nasional Indonesia Kabupaten Aceh Tengah (1946), lembaga legislatif yang menggantikan Dewan Perwakilan Kabupaten yang dibentuk sebelumnya dan anggota Angkatan Pemuda Indonesia (API) Aceh Tengah. Lembaga ini dipimpin oleh Bupati Raja Abd. Wahab dan Patih Mude Sedang.
- September 1947, Tgk. M. Saleh Adry menjadi wakil komandan Barisan Gurilla Rakyat (BAGURA) Aceh Tengah, organisasi gabungan para pejuang yang dibentuk Dewan Pertahanan Aceh 22 September 1947. BAGURA memiliki anggota 650 pejuang yang tersebar di Kabupaten Aceh Tengah. Fokus perjuangan BAGURA adalah membantu penggagalan pendudukan Belanda di Sumatera Utara. Di antara kegiatan organisasi ini adalah menjadi basis pertahanan, pensuplai bahan makanan dan bantuan personil tempur ke Medan, Langkat, dan Tanah Karo, bahkan ke Samosir, Bonjol, dan Bukit Tinggi. Paling tidak, di Tanah Karo, BAGURA empat kali bertempur melawan NICA (Nedherland Indische Civil Administration) dan Belanda.
Melalui berbagai organisasi pejuang yang dimasukinya, Tgk. M. Saleh Adry banyak terlibat dalam memimpin pertempuran melawan Belanda, Jepang, dan pemberontak Kemerdekaan RI.
- Ketika Aceh Timur diduduki satu batalyon tentara Jepang yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Sawamura, Tgk. M. Saleh Adry memimpin pasukan API dan Lasykar Mujahidin Aceh Tengah untuk berangkat ke Langsa membantu perlawanan terhadap Jepang.
- Awal tahun 1946 Tgk. M. Saleh Adry memimpin satu kompi Lasykar Mujahidin, termasuk 10 ahli pedang ke Lamlo, Pidie , untuk ikut memadamkan pemberontakan Muhammad Daud Cumbok yang menghianati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Januari 1946. Cumbok merobek-robek bendera merah putih dan menangkap serta membunuh para pejuang kemerdekaan.
- Pada 1 Nopember 1946 Tgk. M. Saleh Adry bersama Muhammad Syukur memimpin satu kompi Lasykar Mujahidin Aceh Tengah berangkat berjuang menuju Medan Area. Mereka bertugas di Kerambil Lima, Hamparan Perak, Kelumpang, Pasar Satu, Berayan, dan Titi Papan. Selama dua bulan bertugas di sana, kompi ini menghadapi lima kali pertempuran dan kembali pulang dengan selamat seluruhnya ke Aceh Tengah.
- Pada 15 Desember 1946, Tgk. M. Saleh Adry memimpin 80 orang anggota Lasykar Mujahidin berangkat ke Medan. Di Medan, mereka bergabung dengan Gabungan Pejuang Aceh yang dipimpin Kapten Nyak Adam Kamil. Pasukan ini baru kembali ke Aceh Tengah pada bulan Mei 1947 saat mereka digantikan oleh Pesindo Aceh Tengah.
- Melalui BAGURA, tahun 1949, Tgk. M. Saleh Adry kembali ikut bertempur di Medan Area. Ia memimpin pasukan melalui jalur Bireuen-Langsa-Medan, sedangkan Tgk. Ilyas Leubee memimpin pasukan melalui jalur Blang Kejeren, Kutacane-Medan. Untuk mengenang beratnya pertempuran penuh darah ini, Tgk. M. Saleh Adry menamai anak ketiganya dengan ARMADA yang berarti “Air Mata Darah” (lahir 1949).
Usai masa perjuangan kemerdekaan, Tgk. M. Saleh Adry bergabung dalam barisan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI-TII) yang diproklamirkan oleh oleh Sekarmaji Marijan Kartosoewirjo (1905-1962) di Jawa Barat tahun 1949. Di Aceh, pemberontakan DI-TII terhadap pemerintah RI meletus tahun 1953 dibawah pimpinan Daud Beureueh (1900-1987). Di Dataran Tinggi Gayo, DI-TII dipimpin oleh Teungku Ilyas Leubee (1923-1982). Tgk. M. Saleh Adri sangat dihormati masyarakat, seperti di Bintang, Kecamatan di sisi timur Danau Lut Tawar. Ulama ini pernah berbaur bersama masyarakat Bintang (1953-1961). Ia bersama rekannya Hasan Basri serta pejuang DI/TII lainnya dilindungi selama bermarkas di dua Loyang (gua) yang akhirnya diberi nama Loyang Tgk. Saleh Adry di Dedamar dan Loyang Hasan Basri di Kala Segi.
Dalam masa ceasepayer (gencatan senjata), tahun 1957, Tgk. M. Saleh Adry bersama Tgk. Latief Rousjdi (1923-?) (Wakil Gubernur Aceh) ditangkap oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) ketika sedang menghadiri perundingan dengan Pemerintah RI yang digagas oleh Gubernur A. Hasjmy (1914-1998). Tgk. Latief Rousjdi dipenjara di Banda Aceh, sedangkan dijebloskan ke dalam sel di Sabang. Kedua tokoh ini baru dibebaskan pada tahun 1961, saat masa pemberontakan usai.
Selain sebagai pejuang kemerdekaan dan tokoh penting DI-TII, Tgk. M. Saleh Adry adalah seorang da`i ulung. Bersama Teungku Ilyas Leubee, ia banyak berdakwah dan mengislamkan penduduk Tanah karo, Sumatera Utara.[]
Sumber:
1. Wawancara dengan Ir. Armada Saleh (anak ke-4 Tgk. M. Saleh Adry ), Banda Aceh, 30 Maret 2015.
2. Wawancara dengan M. Jihad (tokoh masyarakat Bintang), Takengon, 3 Juni 2015.
3. Mahmud Ibrahim, Muhahid Dataran Tinggi Gayo, Takengon: Yayasan Maqamammahmuda, 2007.
4. Baihaqi A.K., Langkah-langkah Perjuangan, Bandung: Tetungi Pasir Mendale, 2008.