Bahasa dan Estetika Penerjemahan Karya Sastra*

oleh

[Artikel]

Salman Yoga S

Foto Salman Yoga SMASUK dan menjamurnya sejumlah karya sastra asing di Indonesia merupakan fenomena menarik dalam pertukaran nilai budaya, juga menjadi indikasi bahwa penikmat sastra kita sudah memasuki wilayah apresiasi antar bahasa yang cukup menggembirakan. Namun permasalahan yang kemudian muncul sebagai bentuk kekhawatiran adalah bahasa bangsa yang menjadi bahasa tutur para penulis menjadi dikebiri, terlebih ditinjau dari nilai estetika sebuah karya dengan pengusungan nilai budaya bangsanya sendiri. Hal ini bukan saja berlaku pada penerjemahan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia, tetapi juga penerjemahan karya sastra dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia.

Dalam kontek perluasan apresian dan komunikasi karya yang lebih luas dari ruang bahasa ekpresi penulisnya hal tersebut masih dianggap sebagai sesuatu yang perlu dan patut dilakukan, selain sebagai upaya “menasionalisasikan-menduniakan” bahasa daerah dan bahasa Indonesia juga merupakan jalan lain para penulis dalam membuka ruang pergaulan kekaryaan yang lebih luas.

Berthold Damshauser, salah seorang pengajar bahasa dan sastra Indonesia di Institut for Orient­und Asienwissenschaften (Lembaga Kajian Asia) di Universitas Bonn-Jerman mensyaratkan seorang penulis dan atau penerjemah karya sastra haruslah memposisikan diri sebagai sastrawan sekaligus seniman bahasa. Penerjemahan karya sastra merupakan penciptaan ulang dalam bahasa tujuan. Dari itu menurut Berthold Damshauser penerjemah harus berbakat sastra, wajib berkemampuan menulis teks sastrawi serta mengusai bahasa teks yang akan diterjemahkan.

Dalam kasus ini Berthold Damshauser memberi sejumlah contoh seperti terjemahan Jerman dari sebuah puisi Indonesia berjudul Jakarta Punya Gua yang oleh penerjemahnya diterjemahkan seolah makna kalimat itu adalah “Di Jakarta Ada Goa”. Selain  itu ada juga novel Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia dengan “Der Garten der Menschheit” (Taman Umat Manusia) yang dalam bahasa Jerman berkonotasi dengan  “firdaus” yang tentu tidak seperti dimaksudkan oleh Pramoedya.

Apa yang diutarakan oleh Berthold Damshauser adalah contoh kecil hasil penerjemahan sastra Indonesia ke dalam bahasa Jerman atau sebaliknya. Selain itu tentu masih banyak lagi karya Indonesia atau sebaliknya yang diterjemahkan dan menjadi konsumsi penikmat sastra. Kesalahan semantis pernejemahan dapat menimbulkan pemaknaan sekaligus nilai estetika sebuah karya menjadi miskin.

Dalam penerjemahan karya sastra daerah ke dalam bahasa Indonesia berbeda dengan pendapat Berthold Damshauser, karena selalu dilihat dari dua sisi, yaitu nilai estetik dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Nilai yang dimasud adalah edukasi kebahasaan dengan tanpa mengabaikan estetika dan pesan moral penulisnya terhadap nuansa dan realita yang ada. Terlebih nilai pelestarian bahasa daerah itu sendiri dengan kearifan lokalnya.

Meskipun dengan sadar adaptasi bahasa ke dalam bahasa di luar ekspresi teks asalnya sedikit banyak akan “mengubah” muatan nilai estetik verbal dan estetikanya. Namun belum tentu merambah pada kontek makna tekstual dan konteks penciptaan. Setidaknya wujud yang diterjemahkan akan memberi ruang dan tafsir baru terhadap pemaknaan dan apresiasi hasil karya sastra itu sendiri.

Tidak sedikit karya puisi, novel, naskah teater bahkan karya ilmiyah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, dan tentu tidak sedikit pula karya-karya penulis asing dengan berbagai bentuk dan genre telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini tentu telah melalui tahap pertimbangan perluasan ruang apresiasi dan penikmat. Bukan saja bagian dari sebuah keinginan para penulisnya akan karyanya yang dapat dinikmati di luar komunitas, teritori dan budayanya sendiri, tetapi juga bagian dari sebuah eksistensi kebahasaan dan ideologi kebangsaannya.

Perubahan nilai estetiska yang mungkin terjadi sebagai akibat dari media bahasa  aktualisasi yang berbeda menjadi sebuah keniscayaan, karena bukankah setiap nilai yang terkandung dalam karya manusia yang bernilai akan menjadi universal. Terlebih setiap orang mempunyai hak untuk berinteraksi secara lebih luas melalui karyanya. Dengan kata lain secidera apapun sebuah karya yang dialih bahasakan tumpuan utamanya tentulah tetap pada makna serta pengalihan nilai dan muatan pesannya. Sehingga pembaca dari berbagai basic bahasa ibu di Indonesia dan dunia semakin didekatkan dengan muatan setiap karya.[]

*Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Serambi Indonesia pada tanggal 10 Mei 2015.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.