Aku Ingin Jadi Penulis*

oleh

[Cerpen]

Oleh Siswa Peserta Bengkel Sastra Sabang

Redaktur Budaya-Sastra Lintas Gayo dengan siswa-i di   SabangPolan adalah seorang siswa sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Sabang.  Ia murid yang berprestasi, namun tetapi ia juga dikenal sebagai anak yang sombong. Sebagai orang anak yang ingin selalu dipuji Polan ia ingin menjadi seorang penulis, ia ingin terkenal diseluruh jagad raya.

Suatu hari datanglah guru Bahasa Indonesia ke Kelas kami, ia seorang ibu guru yang cantik dan baik. Ibu Salmi namanya. Dengan mengenakan baju warna pink dan jilbab warna kuning ibu Salmi berjalan memasuki ruangan. Sebelumnya ia mengetuk pintu dari luar sebanyak tiga kali, ketika pintu dari kayu warna coklat itu terbuka ucapan salam menggema di seluruh ruangan yang bersumber dari bibir ibu guru Salmi yang dipoles lipstik merah muda.

Polan penasaran, tidak biasanya ibu Salmi masuk kelas tanpa ada jam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Ia bertanya kepada Rudi yang duduk di bangku sebelahnya yang sedang asyik membaca buku, tetapi bukannya mendapat jawaban malah Polan semakin bingung. Rasa ingin tau Polan kian besar hingga ia putuskan untuk bertanya.

“Rud, ngapain ibu Salmi masuk ngak ada jam pelajarannya?”, tanya Polan dengan nada agak tinggi.
“Emang gue pikirin!”, jawab Rudi dengan ketus sambil mengangkat kedua bahunya.

Ibu Salmi yang mengenakan kacamata plus itu tersenyum dengan menaikkan alis kanannya, sementara bola matanya yang hitam bening menatap lurus kepada Polan. Sementara yang ditatap sedikit terdiam, keringat dinginnya menguap bagai embun pagi di puncak gunung Jaboi Pulau Weh. Seperti sayur pli’u tanpa garam, isi kepala Polan hambar tak menemukan jawaban dari Rudi, dan imbas yang dia terima justru sorotan mata dari sang guru.

Ibu Salmi tersenyum karena ia paham Polan adalah siswa yang berbeda dari murid yang lain. Berbeda karena ia memang anak yang pintar serta ambisius, berbeda karena sedikit nakal dan agak sobong.

“Inilah saat yang tepat”, kata ibu Salmi kepada dirinya sendiri. Karena dia paham betul murid yang paling nakal di kelas itu mempunyai cita-cita ingin menjadi seorang penulis, dan kehadirannya di depan kelas kali ini terkait dengan hal kepenulisan bagi siswa.

Tiga hari yang lalu sekolah kami menerima surat resmi dari ibukota provinsi, yaitu sebuah lembaga pemerintahan yang membidangi pelestarian bahasa dan sastra Indonesia. Lembaga itu bernama Balai Bahasa Banda Provinsi Aceh. Di dalam surat itu disebutkan bahwa akan diadakan pelatihan menulis bagi siswa/i SMP sederajat, yang akan dilaksanakan di kota dimana aku tinggal dan sekolah. Surat resmi tentang kegiatan tersebut saat ini sudah berada di tangan ibu Salmi. Seorang ibu guru yang ramah dan tak pernah marah ataupun membentak, tetapi jika terpaksa ia harus marah maka bola matanya yang seakan mau keluar.

Ibu Salmi memegang surat itu dengan kedua belah tangannya dan berdiri tegak dengan mata mengarah ke surat tersebut, sebelum membaca ibu Salmi membolak balikkan kertas tersebut sambil tersenyum dan memandang seisi kelas. Sementara itu seluruh siswa terdiam, seperti barisan tentara yang siap menerima perintah dari komandanya.

Namun yang terjadi kemudian justru sebaliknya, ibu Salmi seperti menerima sebuah surat cinta, ia tersenyum sendiri dan sesekali ia melempar pandangan pada empat puluhan murid-muridnya. Ibu Salmi membacakan isi kertas yang ia pegang secara teratur dan berirama.

“Murid-muridku semuanya jangan ribut sebentar ya, ini ada surat penting yang mau ibu bacakan. Jadi semua harap diam dan tenang serta menyimak dengan baik,” seru ibu Salmi dengan suaranya yang khas. Sekali lagi ia melempar  senyum dan melirik ke seluruh siswa. Cirikhas ibu Salmi memang demikian, murah senyum, tetapi jangan harap ia tersenyum jika ada siswa yang tak mengerjakan tugas atau PR secara tepat waktu. Wah, bisa gawat.

“Pada tanggal pertengahan bulan ini Balai Bahasa Banda Provinsi Aceh akan melaksanakan kegiatan pelatihan menulis bagi siswa-siswi SMP sederajat se-Kota Sabang. Program tersebut adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis cerita pendek (cerpen). Program pelatihan bagi siswa siswi diberi tema dengan BENGKEL SASTRA 2015, membangun Bangsa melalui Bahasa.”

Seluruh siswa terdiam dan menyimak apa yang dibacakan ibu Salmi, tetapi Polan terlihat agak gelisah dan semakin penasaran. “Apakah ini jalan menuju keinginanku untuk menjadi seorang penulis?”, bathin Polan yang seolah terdengar hingga ke telingaku. Polan semakin serius menatap ke depan dimana ibu Salmi berdiri sambil setengah bersandar ke meja yang berada persis di tengah.

Polan terlihat serius menyimak, tangan kanannya sengaja ditupangkan ke dagu sebagai bentuk kesungguhan. Kali ini ia tidak menyeletuk apa yang dikatakan guru, sepertinya ia mulai sadar bahwa kesombongannya telah menjadi stempel resmi bagi dirinya. Polan mencermati setiap bait kalimat yang dibacakan hingga ibu guru Bahasa dan Sastra itu membacakan sejumlah aturan dan syarat untuk menjadi peserta pelatihan kepenulisan.

Syarat pertama, syarat kedua, syarat ketiga hingga syarat keempat ibu Salmi membacakannya seperti seorang penyair membaca puisi. Seluruh siswa terlihat masih biasa saja, tidak ada syarat yang beart, semua hanya bersifat administratif saja.

Tetapi ketika tiba pada syarat berikutnya seluruh siswa mulai mengeluarkan suara secara serentak. Seakan dikomando, mereka berteriak “uuuuuuuuuuuu…!!!”. hanya beberapa siswa saja yang tetap diam, termasuk diantaranya adalah aku, Purnama, Haikal dan Cut Suwaida.

“Setiap sekolah di kota ini hanya diperbolehkan mengirim sebanyak sepuluh orang siswa. Justru karena itu kita harus memilih yang benar-benar dapat membawa nama baik sekolah”, jelas ibu Silmi sambil menenangkan kegaduhan yang terjadi.

Sesaat kemudian ibu Salmi mempersilakan murid kelas kami tersebut untuk tunjuk tangan ke atas bagi yang mau jadi peserta. Otomatis seluruh siswa menunjuk tangannya sambil berucap

“Aku bu, aku bu, akupun bu, aku ikut satu bu..!”
“Wah banyak sekali”, kata bu Salmi
“Lho kok tangan yang mengacung ada ada tiga pulu lima, pada hal siswanya berjumlah tiga puluh empat”, celetuk Haikal.
“La, tangan si Polan keduanya mengacung bu..!”, kata Putri disambut tawa lepas se isi kelas.

Begitulah ceritanya hingga ibu Salmi bermusyawarah dengan Kepala Sekolah untuk menentukan sepuluh siswa yang akan mengikuti pelatihan kepenulisan itu. Sehari kemudian di depan kantor Dewan Guru telah terpampang nama-nama yang mewakili sekolah kami. Aku bersyukur salah satunya tertulis namaku, namun aku agak terkejut juga ketika nama si Polan ternyata juga terpilih. “Apa maksudnya ya”, bathinku. Tetapi sudahlah mungkin dibalik ini semua ada hikmahnya, aku kembali membathin sambil berlalu ke kantin sekolah.

Ramalanku benar, saat mengikuti pelatihan kepenulisan dengan peserta berasal dari sejumlah sekolah se Kota Sabang, para pasilitatornya justru menekankan pentingnya sebuah kesahajaan, kejujuran serta rendah hati. Jika ingin menjadi penulis itu tidak boleh sombong. Sombong dalam segala hal, apalagi jika terkait karya. Kalimat itu bukan dari satu narasumber saja, tetapi dari ketiga narasumber yang mengisi pelatihan selama tiga hari itu.

“Jika rasa dan bentuk kesombongan mulai muncul, maka yakinlah semua jenis dan bentuk karya tidak akan menemukan ruhnya”, kata pasilitator dari dataran tinggi Gayo itu yang masuk pada hari kedua. “Berkaryalah dengan tenang dan untuk kebaikan. Karya yang baik itu justru akan menjadi amal baik pula bagi kita, baik dimasa kini maupun dimasa yang akan datang. Baik ketika masih hidup, maupun maupun ketika telah wafat”.

Sejumlah kiat kepenulisan dikemukakan dengan hafalnya, ia juga bilang menulis itu mudah, mudah sekali. Karena proses dan karya tulis itu bisa mematikan rasa kesombongan. Baik kesombongan diri sendiri maupun kesombongan orang lain, jelasnya sambil berjalan mengitari barisan kursi para peserta.

“Menulis itu dapat mengungkap kesombongan sesuatu yang belum terungkap, kesombongan keindahan daerah yang tidak diketahui orang lain dan dunia, kesombongan ilmu pengetahuan yang tidak disebar luaskan, kesombongan kekayaan rakyat yang dikorupsi, kesombongan kebenaran yang ditutup-tutupi, kesombongan pikiran dan akal yang tidak dituliskan, kesombongan kisah serta sejarah yang tidak ditulis dan lain sebagainya. Kesombongan-kesombongan inilah yang harus dibongkar. Dan yang bisa dan mampu membongkarnya adalah para penulis, maka dari itu menulislah. Karena tulisan dan karya akan membawa nama kita hidup jauh lebih panjang di banding batas usia kita sendiri”

Sejak saat itu kusaksikan perubahan sikap Polan yang tidak seperti biasanya. Barangkali ia sudah memasuki ruang dimana para calon penulis akan memulai untuk menulis, dan ketika calon penulis akan menulis serta menghasilkan karya tulis, tentu akan banyak kesombongan yang akan terpadamkan. Dan usai pelatihan kepenulisan itu, Polan pun mulai menulis ceritanya sendiri. Tulisan pertamanya yang kupaca terpampang di Majalah Dinding (Mading) sekolah berjudul “Aku Ingin Jadi Penulis”[]

*Cerpen ini merupakan karya bersama siswa SMP dan sederajat se-Kota Sabang, ditulis secara bersama dalam pelatihan kepenulisan beberapa waktu lalu, dengan fasilitator Redaktur Budaya dan Sastra Media Lintas Gayo, Salman Yoga S.

 

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.