Gayo Gudang Atlet Balap Sepeda, KONI dan ISSI Aceh Pura-Pura Tak Tau

oleh

Darmawan Masri

Pebalap sepeda putri asal Gayo, Nur Wahyu Afriana di Malaysia. (ist)
Pebalap sepeda putri asal Gayo, Nur Wahyu Afriana di Malaysia. (ist)

Melihat prestasi olahraga di Aceh di tingkat nasional semakin hari semakin memprihatinkan. Dari tiga kali pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) yakni tahun 2004 di Sumatera Selatan, Aceh menggondrol enam medali emas, dua perak, lima perunggu berada di urutan 21 perolehan medali dari 33 provinsi di Indoenesia.  Empat tahun berikutnya (2008) pada PON di Kalimantan Timur perolehan medali Aceh mengalami penurunan dengan empat medali emas, empat perak, 10 perunggu dan bercokol di urutan 23 perolehan medali. Selanjutnya perolehan medali Provinsi Aceh pada pesta olahraga terakbar di nusantara ini kembali mengalami penurunan pada pelaksanaan PON tahun 2012 di Riau. Saat itu Aceh membawa pulang tiga medali emas, lima perak dan 18 perunggu berada di urutan 25 perolehan medali.

Melihat data perolehan medali dari tiga kali pelaksanaan PON perolehan medali Provinsi Aceh semakin hari semakin menurun sehingga, patut dipertanyakan proses pembinaan atlet untuk setiap cabang olahraga di bumi Serambi Mekkah ini. Sudah seriuskan pembinaan olahraga di Aceh?. Kepentingan politik masih saja menyertai para pengurus olahraga di Aceh. Baik itu Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Aceh maupun pengurus cabang olahraga yang pada dasarnya adalah penempah prestasi para atlet.

Pada pelaksanaan PON tahun 2012 di Riau lalu, Aceh membuang atlet-atlet berbakat ke daerah lain. Menurut amatan penulis, setidaknya ada empat atlet yang merupakan warga asli Aceh harus rela membela provinsi lain karena tak diberi kesempatan untuk mengabdi pada daerahnya sendiri. Dari keempat atlet tersebut, satu diantaranya adalah atlet karate dan tiga lainnya atlet balap sepeda.

Ironisnya atlet buangan Aceh ini mampu mengukir prestasi dengan meraih satu medali emas dari Cabang Olahraga (Cabor) karate dan satu medali perak dari cabor balap sepeda.

Tentu kondisi ini sangat disayangkan mengingat atlet-atlet buangan Aceh ini ternyata lebih dilirik oleh daerah lain dan mampu memberikan prestasi yang membanggakan. Kenapa Aceh membuang mereka kedaerah lain, hal tersebut dikarenakan atlet-atlet tersebut berasal dari pelosok-pelosok Aceh (bukan dari pusat ibukota provinsi) sehingga mereka dipandang sebelah mata oleh Pengurus Cabang Olahraga (Pengcabor) di tingkat provinsi. Selain bukan berasal dari pusat ibu kota provinsi, kepentingan dan sikap etnosentris dari pengurus di tingkat provinsi juga muncul dan perlu dipertanyakan.

Pada saat PON 2012 lalu di Riau, hal aneh ditunjukkan pengurus cabang olahraga balap sepeda Provinsi Aceh. Mereka malah memakai jasa atlet yang boleh dikatakan atlet kelas teri dari Jawa Barat (Jabar). Memang Jabar merupakan jagonya balap sepeda di Indonesia. Tetapi atlet yang didatangkan untuk membela Aceh merupakan atlet yang baru belajar bukan atlet kelas wahid atau kelas dua dan tiga di Jabar, melainkan atlet yang belum pernah terjun di kejuaraan baik di level daerah apalagi nasional. Padahal atlet-atlet balap sepeda Aceh yang berasal dari pedalaman sudah diperhitungkan prestasinya di level nasional bahkan di internasional.

Nah pertanyaannya, kenapa Pengcabor balap sepeda di tingkat provinsi menutup mata kepada mereka?. Jabawannya, mereka tak mau anak-anak dari pelosok Aceh yang berprestasi. Sehingga mereka memblokir prestasi anak-anak ini untuk membela tanah kelahirannya.

Noviana atlit balap sepeda asal Gayo bersama atlit tim Indonesia di Lubuk Linggau. (Foto : Ist)
Noviana atlit balap sepeda asal Gayo bersama atlit tim Indonesia di Lubuk Linggau. (Foto : Ist)

Melihat fenomena diatas, penulis beranggapan bahwa tidak adanya keseriusan para Pengcabor di tingkat provinsi dalam membina dan mengakomodir atlet-atlet yang berasal dari pelosok-pelosok Aceh. Sehingga prestasi anak-anak Aceh dari pelosok seolah redup, dikarenakan kepentingan yang tidak jelas oleh Pengcabor di tingkat provinsi.

Melihat dana pembinaan yang dikeluarkan Pemerintah Aceh saat menghadapi PON di Riau 2012 lalu cukup besar, kepentingan pun muncul ditubuh pengurus. Tak penting prestasi yang penting uang yang mereka hasilkan dari dana pembinaan itu bisa masuk ke kas pribadi, dengan cara merekrut atlet-atlet amatiran dari luar daerah yang bisa dibayar dengan murah.

Penjahat-penjahat olahraga di Aceh khususnya di balap sepeda dibawah naungan Cabang Olahrga Ikatan Sepeda Sport Indonesia (ISSI) Aceh harus mempertanggungjawabkan kepengurusannya kepada insan pecinta olahraga Aceh.

Jika dilihat dari kiprah olahraga balap sepeda Aceh saat ini, bisa dikatakan bahwa Aceh adalah gudangnya atlet balap sepeda di Indonesia khususnya bagi atlet putri. Melihat catatan dari ketiga atlet putri yang dibuang Aceh ke Riau, prestasi mereka cukup mentereng. Lihat saja prestasi yang ditorehkan oleh Nur Wahyu Apriani (peraih medali perak di kelas MTB Xcross Country di PON Riau lalu) yang dibuang Aceh, dia sukses menjadi salah satu atlet Indonesia untuk berlaga diajang Sea Games di Myanmar 2013 lalu dan juga dipercaya mengikuti kejuaraan balap sepeda berkelas internasional lainnya, saat ini Nur Wahyu Apriani tengah menjalani pendidikan Kepolisian.

Tiga Atlit Sepeda asal Gayo yang membele Provinsi Riau di ajang PON. (Ist)
Tiga Atlit Sepeda asal Gayo yang membele Provinsi Riau di ajang PON. (Ist)

Atlet balap sepeda yang dibuang lainnya adalah Noviana, kini ia sedang tenar diperburuan atlet balap sepeda beberapa provinsi di Pulau Jawa, karena prestasi yang diraih pada kejuaraan-kejuaraan nasional dan internasionalnya pantas diacungi jempol. Menurut kabar yang diterima penulis, provinsi-provinsi yang ingin memakai jasa Noviana rela membeli atlet belia ini dari Provinsi Riau dengan harga yang cukup fantastis.

Satu lagi atlet balap sepeda asal Aceh yang juga tak dipakai jasanya pada PON lalu, saat ini pulang ke kampung halamannya Takengon-Aceh Tengah, Isna Dewi lebih memilih untuk berlatih di pedalaman hutan rimba Gayo, sejumlah ajakan dari daerah lain ditolaknya. Dengan alasan dirinya lebih memilih membela Aceh dari pada daerah lain.

Ketiga atlet balap sepeda Aceh tersebut masih berusia belia, perjalanan mereka untuk menuai prestasi di level yang lebih tinggi sangat terbuka lebar, tentu hal tersebut harus dibarengi dengan keseriusan dari Pengcabr di provinsi.

Dibelakang ketiga atlet ini, masih banyak atlet-atlet balap sepeda yang masih cukup muda akan mengikuti jejak ketiga seniornya itu, saat ini mereka tengah dibina di kedalaman hutan Leuser untuk menjadi atlet handal dengan segudang prestasi yang mampu meningkatkan jati diri daerah ini.

Ilustrasi perlombaan balap sepeda di Gelengang Musara Alun Takengon. (LGco_Khalisuddin)
Ilustrasi perlombaan balap sepeda di Gelengang Musara Alun Takengon. (LGco_Khalisuddin)

Pembinaan cabang olahraga balap sepeda di pelosok Aceh jauh lebih baik dari pada pembinaannya di provinsi, tinggal bagaimana pengurus provinsi mengakomodir atlet daerah dengan cara menghilangkan kepentingan politik dan etnosentris di tubuh pengurus ISSI Provinsi Aceh. Sehingga julukan pengamat olahraga balap sepeda di tanah air saat ini bahwa Aceh gudangnya atlet balap sepeda di Indonesia, akan terus memberikan kontribusi sebagai penyumbang atlet handal bagi bangsa Indonesia. Atau mereka pura-pura tidak tahu, agar nama Gayo tidak terangkat.

Kita tunggu saja keseriusan dalam mengakomodir atlet dari daerah serta penghilangan sikap etnosentris ditubuh kepengurusan ISSI Aceh, agar  olahraga balap sepeda bisa menjadi andalan dalam menghadapi event-event berkelas nasional dan internasional, sehingga marwah Aceh melalui olahraga akan terangkat, jangan sampai asa anak-anak ini terkubur hanya karena kepentingan sesaat dari pengurus ISSI Aceh. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.