Provinsi Aceh dan ALA di Bawah Wali Nanggroe?

oleh

Oleh : Yunadi HR

yunadiSejatinya, tidak ada lain tujuan dari dibentuknya sebuah negara/pemerintahan melainkan untuk kesejahteraan warganya menuju Negara yang sejahtera (welfare state). Untuk itu tentu dibentuk sebuah konsensus bersama bahwa ada yang melayani dan tentu ada yang dilayani, ada yang memerintah dan ada yang diperintah. Yang melayani adalah aparatur negara, sementara yang dilayani adalah warga negaranya.

Kemudian yang memerintah adalah aturan perundang-undangan (Rule/Regulation), dan yang diperintah adalah, kebijakan-kebijakan untuk dan demi rakyat. Itulah sebenarnya hakekat keberadaan sebuah Negara. Dan fungsi lainnya negara yaitu melindungi warga negaranya, dari bentuk ketidakadilan, baik oleh sesama warga, maupun dari kebijakan negara itu sendiri dan ancaman dari luar.

Bagaimana upaya agar negara mampu melayani warganya sehingga terwujud kesejahteraan dan keadilan bagi warga negara?

Tentu dengan optimalisasi pelayanan terhadap masyarakat (public services), pemastian terjadi distribusi dan pemerataan sumber-sumber ekonomi, serta pemastian adanya kesempatan yang sama guna berperan dalam pembangunan.

Sepintas hal itu terasa begitu mudah, mudah untuk diucapkan, akan tetapi seringkali timpang dalam pelaksanaan, sehingga terjadilah resistensi (penolakan) terhadap kebijakan-pkebijakan pemerintahan. Terlabih lagi dahulu, terlalu sering sebuah kebijakan lahir dengan pola top down.

Berbicara wilayah Aceh, adalah berbicara sesuatu yang istimewa, berbicara sejarah kegemilangan, berbicara kejayaan kerajaan Islam, dan berbicara multi kultural serta berbicara konflik panjang yang tak terbilang.

Aceh sebagai sebuah wilayah yang memiliki penduduk Asli dari Gayo, yang berada di pegunungan; bahkan jauh sebelum peradaban modern ada, di Aceh; tepatnya di kabupaten Aceh Tengah, Tanoh Gayo; telah ditemukan kerangka manusia pra sejarah yang telah memiliki peninggalan budaya yang berusia ribuan tahun yang lalu.

Bahkan beberapa minggu yang lalu, arkeolog dari Balar Arkeologi Medan, yang melakukan ekskavasi di Loyang mendale, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, menemukan peninggalan nenek moyang orang Gayo berupa Blackware (salahsatu gerabah milik budaya austronesia yang berusia sekitar 4000 tahun yang lalu).

Dengan penemuan itu, indikasi tentang teori sebaran penduduk austronesia yang berasal dari Taiwan dan India bisa dipatahkan, karena Blackware yang ditemukan Taiwan dan India justru berusia lebih muda yaitu 3000 sampai 2000 tahun yang lalu, hal ini diperkuat oleh Ketut Wiradnyana, Arkeolog BALAR Medan yang melakukan ekskavasi bersama timnya. selain itu bahasa Gayo diyakini sebagai bahasa yang berusia sangat tua, yang memiliki kosakata dan aksara.

Bahkan penutur bahasa Gayo dapat dengan mudah melafalkan (mengucapkan) bahasa manapun dengan mudah. Artinya bahasa Gayo telah melewati berbagai zaman, dan karenanya menjadi adaftif (mudah beradaftasi) dengan bahasa manapun. Itu beberapa bukti dan alasan suku Gayo sebagai suku asli yang mendiami wilayah Aceh.

Dengan keberadaan luas wilayah Aceh yang sedemikian terbentang luas, dengan potensi sejarah yang sedemikian gilang gemilang dimasa lalu, kiranya bukan alasan yang mengada-ada,manakala Aceh ingin kejayaan itu kembali hadir.

Aceh yang telah lama menjadi negara berdaulat, pasca tahun 1873 lah Aceh mulai diperangi belanda dan terjajah, walau pun pada hakikatnya Belanda tidak pernah menakhlukan Aceh.

Disetiap masa kejayaan Aceh, selalu disertai kejayaan Islam, karena Islam lah penopang keadilan dan kesejahteraan Rakyat Aceh. di tahun 1945, atas rasa keislaman dan persatuan islam nusantara, maka Aceh menyatukan diri dalam sebuah wilayah yang dinamakan kemudian adalah Indonesia.

Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah. Dan kaum yang mengubur sejarah adalah kaum yang hina, termasuk siapapun yang mengubur asal usul kebesaran Aceh yang berasal dari Gayo Linge.

Dalam posisi Aceh yang damai hari ini, dengan luas wilayah yang ada, prinsip-prinsip pelayanan publik menjadi agak terhambat dengan luas dan jauhnya rentang kendali pemerintahan di Provinsi Aceh.

Maka sebenarnya menjadi sebuah kebutuhan yang nyata dan normal adanya bila masyarakat di Tengah tenggara Aceh menginginkan Pemekaran dari provinsi Induk,Yaitu Provinsi Aceh.

Dengan Keistimewaan Aceh, sebagaimana Yogyakarta istimewa dengan keberadaan Sultan-nya, maka Aceh pun diberikan keistimeaan dengan keberadaan wali Naggroe-nya.

Keistimewaan Aceh itu tentu sangat beralasan, selain sejarah masa lalu, yang sudah pernah menjadi negara yang merdeka di era sebelum 1873, juga diawal Negara Indonesia Merdeka begitu gigih mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Maka wajar Aceh, yang juga dulu disebut daerah modal, sebagai daerah yang istimewa. Maka wajar di Aceh ada Wali Nanggroe, sebagaimana Jogja memiliki Sultan. Nah, guna mempercepat kejayaan Aceh dimasa lalu dan sekarang, pemekaran Provinsi ALA dari Provinsi Aceh dibawah kesatuan Wali Nanggroe adalah sebuah upaya percepatan pembangunan Aceh secara keseluruhan. Karena hakikatnya ALA dilahirkan adalah dimekarkan, bukan dipisahkan. Sehingga menjadi padu dan bermakna adanya, manakala ada Wali Nanggroe, dan didalamnya ada dua Provinsi yaitu, Provinsi Aceh dan Provinsi ALA dalam Bingkai NKRI.

*Dosen FISIPOL UGP, Pemerhati sosial Politik Gayo.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.