Tingkis Ulak Ku Bidê, Sesat Ulak Ku Denê

oleh
Drs Jamhuri (foto:tarina)

* Drs. Jamhuri Ungel, MA

Drs Jamhuri (foto:tarina)
Drs Jamhuri (foto:tarina)

Kalimat “Tingkis Ulak Ku Bidê, Sesat Ulak Ku Denê” merupakan kalimat yang penuh makna dalam falsafah hidup masyarakat Gayo, untuk mengetahuinya perlu memahami terlebih dahulu kata yang terdapat dalam kalimat tersebut, disini penulis ingin mengartikannya secara bebas dengan tidak melihat kamus bahasa atau peristihan ilmiah.

Tingkis ulak ku bidê adalah suatu istilah yang digunakan dalam permainan anak-anak dimana ketika dalam permainan kelereng atau karet kawan bermain telah melempar gacok-nya kemudian kawan selanjutnya melempar juga namun mengena ke gacok kawan yang pertama atau yang duluan maka semua mereka harus mengulang kembali lemparan mereka. Untuk tempat memulai permainan atau lemparan dan tempat kembali mengulang permainan atau lemparan dalam bahasa Gayo disebut dengan bide.

Sedangkan istilah Sesat Ulak Ku Denê adalah kata yang lebih mudah dipahami dibanding dengan kata sebelumnya, kata ini juga memerlukan penjelasan walau kebanyakan pembaca telah bisa memahaminya walaupun tidak dijelaskan. Sesat adalah mereka yang salah jalan atau tidak jalan pada jalan yang telah ditentukan, untuk mereka yang tersesat tersebut dianjurkan kembali ke jalan yang seharusnya atau benar.

Nilai falsafah yang terkandung dalam ungkapan tersebut tidaklah mudah untuk diketahui dan dipahami, karena yang dimaksudkan dengan Bidê dan Denê di sini merupakan awal dari sebuah permainan dan juga awal dari sebuah perjalanan.

Kita bisa memahaminya lebih jauh lagi tentang makna sebuah permainan, orang sering katakana kalau dunia ini adalah panggung sandiwara, yang mengandung arti sebuah permainan yang dilakoni oleh setiap individu dan kelompok mulai dari yang terkecil sampai kepada yang terbesar, demikian halnya dengan masyarakat Gayo yang merupakan pelakon dalam kehidupan mereka di Negeri Antara. Perjalanan yang mereka lewati juga perjalanan dalam menapaki kehidupan sebagai orang Gayo di Negeri Antara dan daerah lain sebagai tempat mereka mencari dan memenuhi kebutuhan hidup.

Orang Gayo sebagai anggota masyarakat yang tinggal dalam wilayah teritorial Gayo menjadikan agama Islam sebagai pedoman hidup ditambah dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Gayo tersebut, dalam masyarakat Gayo dikenal ungkapan agama kin senuen edet kin pegere, artinya agama sebagai tanaman kemudian adat sebagai pagar yang menjada agama. Dalam hukum Islam dikenal dengan kaedah “al-‘adatul muhakkamah” artinya adat itu sebagai hukum.

Bila kedua kaedah tersebut kita gabung maka jelaslah bahwa agama dan adat menjadi pegangan yang tidak boleh dilepaskan dari kehidupan masyarakat, dan bila dikaitkan dengan tema tulisan ini maka agama dan adat adalah sebagai bidê dan denê.

Perjalanan panjang sejarah Gayo membuktikan bahwa masyarakat Gayo adalah masyarakat yang sangat kuat dalam mengamalkan agama, lembaga pengajian dalam masyarakat Gayo banyak melahirkan ulama-ulama yang dikenal oleh masyarakat di dalam dan di luar Gayo, kebanyakan falsafah hidup masyarakat Gayo bersendikan Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Hampir secara keseluruhan hukuman terhadap pelanggaran dilandasi oleh hukum Agama.

Seperti adanya hukuman cengkek sebagai realisasi pelaksanaan hukum qashash, kerusung bagi pimpinan masyarakat yang melakukan kesalahan dan dedok bagi mereka yang dihormati apabila melakukan pelangaran serta masih banyak lagi hukuman-hukuman bagi masyarakat biasa yang melakukan pelanggaran.

Demikian juga dengan pelaksanaan adat dalam masyarakat Gayo, pelaksanaan adat sangat kuat dan tidak ada yang bertentangan dengan agama, karena menganut prinsip sebagaimana disebutkan di atas yaitu edet kin peger ni agama.

Adat yang berupaya menjaga agama seperti dalam perkawinan yang melarang pernikahan satu kland atau disebut sara urang. Pernikahan ini nampak sepintas bertentangan dengan hukum agama karena membatasi apa yang dibolehkan oleh agama, sehingga banyak orang yang tidak paham mengatakan bahwa adat ini bertentangan, pada hal bila kita kaji secara dalam bahwa agama sendiri tidak pernah memerintahkan perkawinan harus dilaksanakan satu klan atau sara urang.

Tujuan dari pelarangan pernikahan sara urang ini adalah untuk memelihara dan menjaga supaya tidak terjadi perbuatan yang melanggar agama, seperti khalwat dan zina yang berakhir dengan terpaksanya dinikahkan, pelaksanaan adat ini menimbulkan hukum lain yaitu antara sesama anggota masyarakat menganggap sesama mereka adalah satu keluarga yang saling menjaga dan saling menghargai.

Karena juga dalam masyarakat Gayo bila sudah dianggap satu keluarga maka satu sama lainnya pasti saling menjaga dan tidak akan terjadi pelanggaran susila dan apabila juga terjadi maka ada hukuman yang harus diterima yaitu “jeret naru” atau faraq (diusir) dari kempung, dipisahkan dari keluarga dan tidak boleh membawa harta yang dimiliki.

Pengaruh modernisasi dan kemajuan teknologi membuat masyarakat meninggalkan keduanya (agama dan adat) yang menjadi bidê dan denê, sehingga ketika terjadi pelanggaran agama dan adat maka tidak lagi tau kemana harus kembali, karena pengetahuan tentang agama dan adat telah dangkal dalam masyarakat.

Sebagaimana yang penulis bahas pada tulisan “[highlight]hidup di persimpangan jalan[/highlight]” bahwa perbuatan dosa yang dilakukan tidak lagi dianggap sebagai dosa tetapi lebih dianggap sebagai kesilapan bahkan sesuatu yang dimaklumi dan seolah menjadi tradisi.

Demikan juga dengan pembunuhan terhadap janin yang masih dalam kandungan dan setelah melahirkan dianggap biasa sama halnya dengan membuang air kecil dan air besar yang cukup dicuci dengan air dan setelah itu dianggap bersih, bunuh diri, membunuh karena kecemburuan, karena hutang atau karena alasan lain dianggap sebagai suatu perbuatan yang mengakhiri hidup yang penuh beban dan persaingan dan untuk menghindari itu semua jalan yang diambil adalah mengakhiri hidup.

*Dosen mata kulian Ushul Fiqh dan Hukum Islam dan Masyarakat pa UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.