Momentum Bangkitnya Gayo: Arti Kedatangan Mendikbud RI ke Gayo

oleh

*Oleh Kosasih Ali Abubakar

KosasihMenarik untuk diulas apa gunanya ketika pertama kalinya seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengunjungi Gayo, walau sudah ada dua Presiden yang berkunjung ke Gayo, ke daerah Ketol, Aceh Tengah tentunya. Presiden Soeharto ketika meresmikan pabrik gula di Blang Mancung, Ketol, Aceh Tengah (http://lintasgayo.co/2015/01/30/cak-cerun-guru-guel-penyambut-pak-harto) dan Presiden SBY ketika bencana alam di Serempah, Ketol, Aceh Tengah (http://m.acehselatan.com/presiden-sby-kunjungi-korban-gempa-tanoh-gayo/).

Kedatangan seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini seharusnya menjadi cambuk bagi seluruh urang Gayo untuk mulai memperhatikan pendidikan sebagai modal utama dalam meningkatkan daya saing terhadap suku bangsa lain yang ada di Aceh maupun Indonesia pada umumnya.

Perang yang terjadi di Aceh selama ini telah meninggalkan bekas-bekas yang cukup dalam bagi rakyat Aceh dan Gayo khususnya, baik secara fisik maupun psikologis. Salah satu akibatnya adalah ketertinggalan urang Gayo dalam bidang pendidikan, hal ini bisa dilihat belum adanya sebuah universitas negeri yang ada di Gayo, belum lagi berbicara tentang indikator-indikator lain bidang pendidikan.

History of Sofyan Djalil

Ketika memberikan pengarahan di Pendopo Bupati Aceh Tengah, Anies Baswedan menceritakan kisah sukses salah satu Menteri yang berasal dari Aceh di Kabinet Jokowi, Sofyan Djalil. Sebuah kisah yang cukup inspiratif menurut saya, khususnya seorang guru ketika berumur 31 tahun menemukan cara yang benar dalam mempelajari matematika (karena dalam beberapa kali tes selalu mendapatkan nilai yang jelek) dan memperoleh nilai yang tinggi sewaktu mengikuti tes Grade Record Examination (GRE) untuk melanjutkan studi gelar Master hingga Doktor di Amerika Serikat dalam bidang pasar modal (http://rri.co.id/post/berita/146373/nasional/di_aceh_tengah_anies_baswedan_kisahkan_perjuangan_tokoh_aceh_yang_jadi_menteri.html).

Bagi saya, cerita ini sebuah cambuk bagi urang Gayo, bahwa tidak ada kata terlambat untuk mendapatkan rumusan yang benar untuk melakukan percepatan dalam meningkatkan mutu pendidikan di Gayo. Sekaligus dari sisi politik, sebuah tantangan ke depan agar orang Gayo bisa menjadi Menteri di kemudian hari dengan cara meningkatkan mutu pendidikan dari masyarakat Gayo pada umumnya. Tidak ada kata terlambat untuk memajukan pendidikan, karena masalah pendidikan berbicara mengenai masalah pembangunan manusia.

Kisah ini, menurut asumsi saya adalah sebuah nasehat kepada urang Gayo untuk mulai berpikir upaya-upaya meningkatan sumber daya manusia (SDM) yang saat ini menjadi amat penting bagi urang Gayo di tengah kekayaan alam yang berlimpah dan kesuburan tanah yang luar biasa. Bila kita semua terlambat untuk menemukan rumusan yang tepat, maka akan menjadi sebuah kenyataan jika dataran tinggi Gayo secara perekonomian dan pemerintahan akan dikuasai oleh orang non Gayo atau tidak cinta Gayo.

Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantoro

Selain history of Sofyan Djalil, Anies Baswedan juga membicarakan sebuah topik yang cukup menarik tentang Ki Hajar Dewantoro (http://rri.co.id/post/berita/146256/nasional/di_takengon_mendikbud_paparkan_konsep_pendidikan_ala_ki_hadjar_dewantara.html). Seorang tokoh pendidikan di era kemerdekaan yang menggunakan pendidikan sebagai alat perjuangan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu.

Sebagai bentuk perjuangannya, ia rela meninggalkan gelar kebangsawanannya dari Keraton Yogjakarta agar bisa lebih dekat dengan rakyat. Salah satu tulisannya yang terkenal berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker yang mengakibatkan ia dijatuhi hukuman internering (hukuman buang) tanpa proses pengadilan oleh Pemerintah Belanda ke Pulau Bangka.

Tulisannya berisikan kritikan terhadap Pemerintah Belanda karena akan merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari Penjajah Prancis dengan menarik uang dari rakyat. Tulisannya yang menggugah antara lain berbunyi:

”Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu”.

Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.

Kemudian, benar adanya yang dikatakan oleh Anies Baswedan, bahwa kebanyakan orang saat ini hanya mengetahui Ki Hajar Dewantoro dari slogan yang digunakan pada logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Tutwuri Handayani saja, padahal slogan ini merupakan sebuah kesatuan pedoman pelaksanaan pendidikan dari pemikiran beliau, yaitu: Ing ngarso sung tulodo (jika pendidik berada di muka, maka dia memberi teladan kepada peserta didik), Ing madya mangun karso (jika berada di tengah, maka membangun semangat, berswakarya dan berkreasi kepada peserta didik), dan Tutwuri handayani (jika berada di belakang, maka pendidik mengikuti dan mengarahkan peserta didik agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab).

Sedangkan sistem pendidikan yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantoro melalui Taman Siswanya berdasarkan Sistem Among, sebuah sistem yang menyokong kodrat alamnya anak yang dididik, sehingga dapat mengembangkan hidupnya lahir dan batin menurut kodratnya sendiri-sendiri (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa 1977). Pendidikan dengan sistem among memakai cara pondok asrama, karena dengan cara itu dapatlah ketiga lingkungan pendidikan bekerja bersama-sama (keluarga, perguruan dan perkumpulan pemuda). Persatuan ketiga corak lingkungan tersebut penting sekali untuk sempurnanya pendidikan (sistem tri-pusat pendidikan).

Penting juga untuk diketahui bahwa Ki Hajar Dewantoro juga mengembangkan “Konsep Tringa”, terdiri dari ngerti (mengetahui), ngerasa (memahami), dan ngelakoni (melakukan). Artinya tujuan belajar itu pada dasarnya untuk meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkatkan pemahaman tentang apa yang diketahuinya serta meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajari.

Bila melihat konsep dari Ki Hajar Dewantoro, orientasi pendidikannya adalah pada anak didik atau student center, menjadikan anak sebagai pusat pembelajaran. Hal ini disebabkan pelaksanaan pendidikan didasarkan kepada minat dan potensi anak didik, bukan disesuaikan dengan kemampuan pendidik. Sehingga pendidik harus bersikap sebagai pengasuh yang mendorong, menuntut, dan membimbing peserta didik.

Sebenarnya sebagai bahan perbandingan, terdapat sebuah pemikiran tokoh pendidikan yang juga hidup sezaman dengan Ki Hajar Dewantoro, yaitu tokoh kemerdekaan yang juga menggunakan pendidikan sebagai alat perjuang, Angku Moh. Syafei melalui INS Kayu Tanamnya (http://lintasgayo.co/2014/04/29/falsafah-pendidikan-minang-kabau-gayo-dan-budaya-rantau).

Sekali lagi, sudah saatnya para pemerhati, praktisi dan pemerintah yang bertanggungjawab dengan pendidikan di Gayo menggali kembali nilai-nilai pendidikan yang sesuai dengan karakter dari Gayo itu sendiri, kemudian melakukan sebuah unifikasi atau transformasi dengan falsafah-falsafah pendidikan dari luar dengan tidak melupakan nilai-nilai dari urang Gayo sendiri. Mengapa? Karena urang Gayo pernah menghasilkan orang-orang besar yang hingga saat ini belum tercatat oleh sejarah dengan benar, suku yang tidak pernah bisa dijajah oleh Belanda, dan adanya sebuah pandangan yang mengatakan bahwa suku Gayo merupakan suku yang ada pertama kali di Aceh dengan segala keunggulannya dalam menguasai Aceh di waktu yang lampau.

Momentum Revolusi Pendidikan bagi Urang Gayo

Dengan hadirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, ini merupakan momentum bagi para petinggi Gayo atau pemerintah daerah di Gayo untuk membuat revolusi bidang pendidikan dengan melahirkan sebuah rumusan-rumusan terkait dengan kebijakan pendidikan.

“Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh nagara dapat membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia” (Jokowi, Kompas 2014).

Momentum revolusi ini bisa dirumuskan dengan mengadopsi pikiran-pikiran Soekarno mengenai revolusi (dari kutipan-kutipan dari “Dibawah Bendera Revolusi, hal 572-573) menjadi sebuah kebijakan pendidikan di tanoh Gayo.

Revolusi harus mempunyai kawan dan lawan, dalam merumuskan kebijakan pendidikan maka perlu program-program untuk memperkuat motivasi-motivasi stakeholder pendidikan, salah satunya memposisikan dengan jelas antara lawan dan kawan dalam kebijakan pendidikan. Seperti dengan merumuskan kebijakan pendidikan yang dibangun dengan mengedepankan karakter gayo dan nasionalisme serta menjadikan budaya-budaya luar yang merusak untuk menjadi musuh bersama.

Revolusi yang benar itu adalah revolusi rakyat, rumusan kebijakan atau program bidang pendidikan yang dihasilkan dapat melakukan perubahan-perubahan di kalangan elit atau pemerintah hingga masyarakat itu sendiri, kalangan pemerintah dijadikan sebagai contoh atau tauladan. Seperti menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pelaksanaan kebijakan bidang pendidikan dari tingkat atas sampai bawah, dengan menjadikan kalangan elit atau tingkat atas sebagai contoh atau tauladan.

Revolusi ini merupakan sebuah simfoni dari destruksi dan kontruksi, perlu adanya rumusan kebijakan pendidikan out of box yang sifatnya mendobrak tatanan yang sudah ada selama ini untuk mencapai tujuan yang lebih besar lagi di masa mendatang, yang diikutsertakan dengan kebijakan-kebijakan pendukung guna memperbaiki akibat-akibat dari perubahan tersebut menjadi sebuah tantangan untuk kemudian menjadi sebuah peluang yang dijadikan kekuatan.

Revolusi selalu mempunyai tahapan yang jelas untuk dicapai, tentunya ini sudah jelas bahwa rumusan kebijakan yang dihasilkan sudah seharusnya jelas tahapan yang dicapai. Sehingga dalam penyusunannya perlu mempunyai gambaran penuh terkait tahapan-tahapan dengan tujuan akhir yang yang akan dicapai.

Revolusi harus mempunyai program yang jelas dan tepat, kejelasan dan ketepatan program juga amat dibutuhkan dalam perumusan kebijakan dengan memanfaat momentum dan peluang yang ada sesuai dengan kondisi yang ada.

Revolusi harus mempunyai soko guru dan mampu melahirkan kader yang tepat pengertiannya dan tinggi semangatnya, ini adalah tahapan terpenting dari revolusi, dengan menghasilkan rumusan-rumusan kebijakan yang bisa melahirkan pemimpin-pemimpin dan penerus yang bisa meneruskan dan memahami kebijakan secara utuh serta mampu menjaga momentum (seperti adanya reward dan punishment yang membangun dan dipertanggungjawabkan).

Bila pemikiran-pemikiran revolusioner ini diimplementasikan dalam program-program ketikan melakukan perumusan kebijakan bidang pendidikan, maka penulis yakin akan terjadi percepatan-percepatan peningkatan mutu pendidikan di dataran tinggi Gayo.

Strategi

Dalam pelaksanaannya rumusan kebijakan pendidikan terdapat dua strategi yang bisa dilaksanakan, pertama, diawali dengan membuat sebuah perencanaan atau workshop terkait perumusan kebijakan pendidikan di dataran tinggi Gayo dengan mengundang para ahli yang ada di Kementerian atau meminta saran dari kementerian terkait dengan ahli yang mumpuni untuk bisa merumuskan kebijakan pendidikan di Gayo, mengikutsertakan universitas-universitas dan praktisi pendidikan terpilih yang ada di dataran tinggi gayo.

Kedua, menghasilkan model-model baru pembelajaran dan ide-ide berpikir yang diangkat dari kekhasan budaya Gayo, hingga bisa disosialisasikan dengan baik bahkan jika memungkinkan bisa dinasionalisasikan. Tentunya ini akan menjadikan dataran tinggi Gayo menjadi perhatian dari Pusat.

Kesalahan selama ini, daerah ketika berhadapan dengan pusat selalu mengharapkan dana APBN yang bisa diturunkan ke daerahnya. Sudah saatnya kita merubah cara berpikir ini, bukan berarti kita tidak membutuhkan dana, akan tetapi saatnya membuat program-program yang bisa menarik perhatian dari Pusat untuk bisa memberikan bantuan dana atau pemikiran. Sebagai contoh, upaya kita mensosialisasikan permasalahan pendidikan di dataran tinggi tanah Gayo sehingga semua pihak bisa ikut memikirkannya atau menarik perhatian Pusat dengan memberikan model dan pemikiran-pemikiran orisinal masalah pendidikan berdasarkan karakter orang Gayo. Saatnya berpikir “Give and Take” bukan “Take and Give”, berikan dulu kemudian menerima hasilnya dengan tetap mempertahankan martabat dan adat urang Gayo.

Bila ini semua bisa dilakukan, maka dataran tinggi Gayo akan lebih dikenal sehingga apapun cita-cita dari masyarakat Gayo akan lebih didengar dan mudah dicapai.

Ayo…..”Bangkitmi Gayo ku” Melalui Pendidikan

Akhirnya, marilah kita mulai membangun Gayo kita dengan memajukan pendidikan, jangan lagi kita terlena dengan kekayaan alam dan tanah yang subur serta terlalu menjadi materialistis.

Kita kembalikan diri kita untuk kembali ke adat Gayo yang menurut saya penuh dengan nilai-nilai tinggi tentang kehidupan yang akan berimplikasi kepada kemajuan urang Gayo secara umum atau mentransformasikan nilai-nilai adat Gayo ke dalam kebijakan pendidikan.

History of Sofyan Djalil tentunya bisa menjadi cambuk kita untuk kita mempersiapkan diri dengan lebih baik di masa mendatang sehingga melahirkan generasi-generasi intelek yang lebih baik lagi, terlebih lagi kita urang Gayo selalu beranggapan kita harus lebih dari yang lain.

Perlu ada Revolusi Pendidikan di Gayo dengan tetap menjunjung karakter budaya Gayo, agar pendidikan di Gayo tetap menjadikan kita sebagai urang Gayo, bukan menjadi urang-urang lain.

Waktunya bangkit….

*Pemerhati Pendidikan tinggal di Jakarta.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.