Samarkilang, Desa-Desa Tua yang Tertinggal (Bag.5)

oleh
Titi gantung Samarkilang
Titi gantung Samarkilang

Catatan perjalanan Arfiansyah

Potensi Pembangunan Samarkilang
ArfiansyahSetelah selesai makan siang dan bercerita-cerita sejenak kami pun berpamitan. Matmaja dan Adha kemudian mengajak kami ke sawah untuk menikmati buah kelapa.Sepanjang jalan menuju sawah, saya melihat banyak sekali kebun coklat yang tidak diurus dan beberapa rumah reot. Kemudian kami melewati jalan yang sangat menantang, jembatan gantung dengan beberapa ruas papan yang hilang. Adha dan Matmaja melewati jembatan tesebut dengan santainya, kami mengikuti di belakang dengan bantuan kaki untuk menopang keseimbangan. Betapa tidak, pada malam hari kami tidak melihat arus sungai yang deras di bawah, hanya suaranya saja. kini, menjelang sore kami melihat arus sungai keruh yang deras dan berbatu.

Kami kemudian memasuk Gapura Kampong Lane. Terus masuk jauh ke dalam dan masih menyeberangi sungai dengan jembatan yang sama, jembatan gantung. Hingga akhirnya kami sampai ketujuan, area persawahan yang juga ditumbuhi oleh pohon-pohon kelapa-kelapa yang tidak beraturan.

kantor-camat-syiah-utamaPemandangan seperti ini hanya saya saksikan di Aceh pesisir. Ternyata, di Bener Meriah juga ada. Sembari menunggu beberapa pohon kelapa dipetik, Fakhruddin dengan insting pembangunan masyarakatnya berkomentar “Tanah kita (Gayo) ini sangat kaya, bukan?Di tempat kita semuanya bisa tumbuh.Tanaman-tanaman yang tumbuh di pesisir juga bisa tumbuh subur disini. Seperti Kelapa, Pinang, Asam Sunti. Tapi tanaman yang tumbuh disini tidak semuanya bisa tumbuh di Pesisir, seperti kopi dan alvokat. Coba pemerintah mampu membaca potensi alam ini, pasokan kelapa, pinang dan lainnya tidak perlu lagi dari Bireuen. Kecuali ikan laut saja.semuanya bisa didapat dari tanah kita sendiri sehingga ekonomi masyarakat meningkat. Jadi tidak ada alasan bahwa daerah disini tidak memiliki potensi sehingga pembangunan kalah prioritas daripada desa-desa di pusat kota yang hanya diisi oleh kebun kopi saja” jelasnya dengan sikap kritis.

Kami kemudian berlanjut ke diskusi pontensi Samarkilang. “apalagi kalau PLTA dikelola dengan baik. Kalau 1 bulan minimalnya pengelola bisa dapat sekitar 6 juta seperti kata pak Huda tadi, maka setahun pengelola bisa mendapatkan 72 juta. Dikurangi gaji teknisi dan perawatan maka minimalnya mungkin pengelola bisa mengelola uang untuk pemberdayaan masyarakat. Apalagi perawatannya hanya tali karet yang seharga 24 juta dan gemok sebagai minyaknya. Karet itu pun bisa bertahan selama 2 tahun.Terlebih lagi potensi sungai untuk arum jeram dan tamasya alam serta pontensi ikan Gegaring, bila dibudidayakan.Masyarakat disini akan maju dan kaya”.Ujar saya tak mau kalah dengan tokoh pemuda Bener Meriah tersebut.

Makam Bener Merie. (foto  : Fakhruddin)
Makam Bener Merie. (foto : Fakhruddin)

Sambil menikmati kelapa yang sudah dipetik, Fakhruddin menyetujui pandangan saya dan menambahkan “Pemerintah hanya perlu membantu pada tahap awal seperti pengadaan karet listrik yang bisa dimasukan dalam anggaran tahunan. Demikian juga melatih pemuda-pemuda lokal untuk menjadi teknisi PLTA dan manajemen koperasi sehingga tidak bergantung pada satu figur saja.Yang tidak kalah penting adalah membangun akses jalan yang bagus sehinga promosi dan transaksi mudah dilakukan”.

Berdiskusi sambil menikmati kelapa muda di area persawahan yang dikeliling oleh hutan rimba dan padi-padi yang ditemani oleh pohon Kelapa yang tumbuh tidak beraturan, kami tidak menyadari waktu sudah menunjukan pukul 16.30.kami pun kemudian memutuskan untuk kembali ke Simpang Tiga Redelong. Sepanjang jalan, saya benar-benar melihat rimba dan hutan belantara.

Di beberapa wilayah pemukiman dan dipingir jalan, saya melihat pohon kelapa tumbuh liar, perkebunan  pinang, kebun kopi jenis robusta, sawah-sawah kecil, dan kebun cokat. Dengan temperature udaranya lebih panas daripada Pondok Baru, saya merasa seperti melintasi Pesisir Barat Aceh namun dengan rimba yang hijau menawan di kedua sisi jalan. Semoga tidak ada penebang liar dan penguasa pemegang HPH, meski isu sayup-sayup terdengar bahwa rimba seluas 200 Ha di salah satu desa di Samarkilang telah dikuasai oleh seseorang. Semoga itu tidak benar. (Habis)

Bagian 1 : Samakilang, Desa-Desa Tua yang Tertinggal (Bag.1)
Bagian 2 : Samakilang, Desa-Desa Tua yang Tertinggal (Bag.2)
Bagian 3 : Samakilang, Desa-Desa Tua yang Tertinggal (Bag.3)
Bagian 4 : Samakilang, Desa-Desa Tua yang Tertinggal (Bag.4)

*Penulis adalah mahasiswa S3 Bidang Antropologi Hukum di Universitas Leiden, Belanda dan juga Peneliti diInternational Centre for Aceh and India Ocean Studies (ICAIOS) dan terlibat di Redelong Institute, Bener Meriah.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.