Samakilang, Desa-Desa Tua yang Tertinggal (Bag.2)

oleh
Munyaril di Samarkilang. (LGco_Arfiansyah)

Catatan Perjalanan Arfiansyah*

Bahasa Gayo

ArfiansyahEsok harinya, kami melihat beberapa burung langka berterbangan di hutan seberang sungai. Teman-teman saya mereka-reka jenis burung tersebut, yang semua diperbaiki oleh Adha dan Matmaja lengkap dengan ciri mereka masing-masing.demikian juga dengan berbagai jenis pohon. Dalam bercakap-cakap, mereka tidak pernah mengunakan kosakata dari Bahasa Indonesia kecuali yang tidak pernah ada dalam budaya Gayo seperti mesin dan handphone.

Saya sangat takjud dengan perbendaharaan kosa kata Gayo mereka yang masih kaya, yang sebagiannya malah baru pertama sekali saya dengar. Semua jenis binatang dan pohon mereka sebutkan dalam bahasa Gayo, yang bagi anak kota seperti saya apalagi besar diperantauan tidak mengetahui nama-nama binatang dan jenis tumbuh-tumbuhan dalam Bahasa Gayo.

Saya beruntung mereka bijaksana untuk tidak menertawakan saya, selain hanya, barangkali, memaklumi bahwa saya “anak kota yang mulai kehilangan identitas dan bahasa”. Kalau pun mereka benar-benar mengatakan itu bahkan hanya dalam hati, saya hanya akan bisa diam dan tersenyum malu nan miris untuk diri sendiri.

Saya kemudian semakin takjud dengan keinginan Matmaja dan Adha menyusun buku Kamus “Satwa dan Tumbuh-Tumbuhan Gayo”.Keinginan tersebut muncul karena mereka miris melihat banyak anak-anak Gayo di Takengon dan Bener Meriah yang tidak suka lagi mengunakan bahasa Gayo dan lebih memilih bahasa Indonesia.

Bahkan ada beberapa teman mereka yang tidak memgerti banyak kata yang mereka ucapkan dalam bahasa Gayo,“Padahal mereka juga orang gayo” protes mereka. Karena keadaan tersebut, mereka berkeinginan untuk menulis nama-nama hewan dan tumbuhan-tumbuhan dalam bahasa Gayo. Semoga bisa menjadi bahan ajar untuk mata pelajaran biologi atau muatan lokal.“Namun”, lanjutnya, “kami tidak memiliki modal uang untuk menerbitkan kamus tersebut, kalau keahlian, Alhamdulillah kami masih bisa menyebutkan sebagian besar tumbuh-tumbuhan dan hewan dalam bahasa Gayo”.

Kami tidak bisa berkomentar lebih jauh selain hanya bisa memotivasi untuk menjaga semangat mereka. Tekad luar biasa anak-anak desa memang sering berbenturan dengan kemampuan modal yang hanya dimiliki oleh orang-kota kota.

SamarKilang Arfiansyah (6)Warga Samarkilang dan Alam
Setelah berdiskusi tidak menentu topik, kami kemudian dibawa menyusuri  salah satu anak sungai dengan berjalan kaki. Mereka sengaja memilih anak sungai yang alirannya jernih, sehingga kami bisa menikmati petualangan menyusuri sungai tersebut.Kurang lebih 2 jam, kami menyusuri sungai.pemandangannya sangat indah, asri dan masih belum tersentuh tangan-tangan rakus pemegang HPH. Hutan yang berdiri disisi kanan dan kiri masih terlihat angun dan asri.

Padatnya udara bersih yang masih terasa segar dipernapasan dan terlihat hijau oleh mata. kami melihat jejak beberapa binatang seperti jejak mirip kijang, biawak, hingga beruang. Monyet-monyet juga berlompat-lompatan dari dahan ke dahan pohon yang tinggi menjulang.Demikian juga berbagai jenis burung berkicau dan berterbangan.Bagi saya ini adalah rimba, namun tidak bagi Adha dan Matmaja, itu adalah “rumah dan kebun”.Mereka terlihat sangat familiar dengan wilayah tersebut.Rimba bagi mereka adalah belantara liar yang lebih jauh dari wilayah yang sedang kami telusuri.

Di sepanjang sungai yang kami lalui, kami dengan jelas bisa melihat anak-anak ikan berenang bebas di sebagian sudut sungai yang tenang, dan juga tentunya beberapa perangkap ikan. Selain jaring biasa, doran, yang terpasang di beberap sudut sungai, kami menemukan satu jenis perangkap ikan yang disebut dengan sarilen.

Perangkap tersebut berbentuk parit buatan dari bebatuan sungai. Sehingga arus desar sungai diarahkan kesana dan di ujungnya dibuat seperti lantai dari bambu sekitar 1,5 meter panjang dan lebarnya. Lantai tersebut berada beberapa centimeter di atas permukaan air. Bentuknya persis seperti gelas loncong yang mulutnya besar dan mengecil ke bawah, dimana lantai tersebutdiletakan.Sehingga ketika ikan masuk dalam arus parit tersebut dan terus mengikuti arus air, maka ikan akanterlempar ke lantai tanpa bisa keluar lagi, karena tidak bersentuhan dengan air. Ikan-ikan kecil akan mampu lolos karena lantainya disusun tidak rapat.

Ketika saya tanya, apakah mereka mengunakan cara lain untuk menangkap ikan seperti racun atau aliran listrik agar lebih cepat menghasilkan? Matmaja menjawab “kami hanya mengambil apa yang kami butuhkan, kalau butuh 6 ekor ikan untuk satu hari, maka kami hanya akan menangkap segitu. Mengunakan racun dan listrik hanya akan membunuh banyak ikan dalam jumlah yang lebih besar daripada kebutuhan kami. Anak-anak ikan juga bisa ikut mati, sehingga yang rugi kami juga nantinya”.

Saya berpikir, mereka mungkin jauh dari kemegahan dan kerumitan berpikir orang-orang di daerah-daerah maju, namun cara berpikir dan apa yang mereka kerjakan barangkali tidak terpikirkan oleh orang dengan gelar pendidikan tertinggi sekalipun. Alam mengajarkan mereka cara hidup dan berpikir yang berbeda. Demikian juga orang yang hidup di perkotaan, menjadi orang-orang yang berbeda.Namun mereka, yang diperkotaan dan pedalaman, sama-sama ingin mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing sehingga memanfaatkan segala sesuatu yang tersedia disekitar mereka. Apabila mereka saling berhubungan, saling mengisi dan melengkapi, maka kehidupan orang perkotaan dan pedalaman akan semakin baik. Orang pedalaman butuh informasi dan kemajuan orang-orang kota. Orang kota butuh kearifan dan kesederhanaan hidup orang-orang pedalaman.

Di pertengahan jalan menjelajahi sungai dan sampai di lokasi yang cocok sekali untuk pemandian, salah seorang dari pemuda yang membawa kami mengatakan “kalau kita terus berjalan, kita akan lalai dan terus dibawa ke hutan yang gelap, sebaiknya kita sudahi sampai disini saja dan kembali melewati jalan hutan”.Sebelum kembali, kami mandi-mandi dulu menikmati aliran sungai yang sangat sejuk.Kemudian kembali ke Rumah Kebun dengan menyusuri hutan yang jarang dilalui.Bahkan Matmaja harus membuat jalur jalan baru untuk kami lintasi. (Bersambung)

Bagian 1 : [highlight]Samakilang, Desa-Desa Tua yang Tertinggal (Bag.1)[/highlight]

*Penulis adalah mahasiswa S3 Bidang Antropologi Hukum di Universitas Leiden, Belanda dan juga Peneliti di International Centre for Aceh and India Ocean Studies (ICAIOS) dan terlibat di Redelong Institute, Bener Meriah.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.