Pola Pikir NU dan Muhammadiyah

oleh
ilustrasi : ahlulbaitindonesia.org

Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]

jamhuriDua organisasi keagamaan yang sangat popular di Indonesia Nahdatul Ulama (NU) atau sering disebut dengan Kaum Tua dan Muhammadiyah atau juga sering disebut dengan Kaum Muda yang berkembang pesat dan memiliki pengikut yang sangat banyak, kedua organisasi ini tidak hanya memfokuskan diri kepada kajian keagamaan dalam bidang ibadah tetapi juga dalam bidang soasial keagamaan bahkan merambah kepada bidang politik.

Banyak generasi muda dari kalangan Kaum Tua (NU) dan generasi muda dari kalangan Kaum Muda (Muhammadiyah) tidak mengenal lagi apa sebenarnya NU dan Muhammadiyah tersebut, mereka hanya mengatakan kalau mereka adalah pengikut NU atau Muhammadiyah. Pada tahun sebelum tahun 80-an para tokoh NU sangat tahu apa yang menjadi dasar dari organisasi yang mereka amalkan atau ikuti, demikian juga dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah sangat paham tentang dasar yang dijadikan tempat berpijak mereka, sehingga ketika terjadi perbedaan pengamalan di kalangan masyarakat sering terjadi perpecahan, karena pola yang di anut oleh tokoh-tokoh pada saat itu adalah pola benar-salah, artinya kelompok NU mengatakan pola pikir merekalah yang benar dan kelompok Muhammadiyah juga mengatakan amal merekalah yang paling baik.

Berbeda dengan generasi sekarang, dimana para pengikut kedua organisasi tersebut tidak lagi mengenal pola dasar masing-masing organisasi mereka dan kalaupun ada yang mengenal mereka itu hanya kelompok kecil dalam organisasi tersebut. Ada hal menarik dari kedua organisasi ini bila kita lihat dari pola pikir yang mereka gunakan dimana selama ini hampir tidak ada orang yang mengkajinya, dan kebanyakan kajian orang selama ini ditujukan pada hasil dari pemikiran kedua organisasi ini sehingga akhirnya benturan dan saling menyalahkan  sangat sering terjadi, seperti mereka berbicara tentang qunut dan tidak qunut, bacaan basmallah zahar atau sir dalam shalat, bacaan iftitah yang berbeda, kenduri dan tidak kenduri pada saat kematian, dan masih banyak contoh lainnya.

Sekali lagi kami sebutkan bahwa tulisan ini tidak berbicara tentang hasil dari sebuah pola yang dikembangkan tetapi lebih kepada perbandingan pola yang digunakan sehingga diharapkan pembaca lebih mengetahui karena apa hasilnya berbeda. Di dalam organisasi NU kita mengenal adanya Bahtsul Masail dan dalam organisasi Muhammadiyah kita mengenal adanya Majelis Tarjih, kedua istilah ini lahir didasari oleh sebuah kesadaran dan pengetahuan akan lemahnya pola pikir dasar masing-masing yang digunakan. Untuk lebih jelasnya kita bisa melihat truktur pemikiran berikut ini :

NU_Muhammadiyah

Ketika kita memperhatikan pola pikir yang dikembangkan oleh NU maka kita melihatnya tanda panah (yang bermakna pencarian) terputus dari satu tingkat bawah ketingkat di atasnya, artinya apa bila seorang ulama NU memerlukan satu hukum atau dasar dan dalil dari satu perbuatan maka ia mencari dari buku yang ada dan ditulis oleh ulama sebelumnya dan kalau ditemukan dalam kitab tersebut maka memadai dengan apa yang ditemukan tanpa melihat lagi kepada yang lebih tinggi atau mengamalkan apa yang menjadi pendapat dari guru dengan tidak perlu lagi merujuk kepada orang atau ulama generasi sebelumnya. Tapi apabila mereka tidak menemukan pada tingkat tersebut barulah mereka melihat kepada tingkat yang leih tinggi dan berhenti pada tingkat itu bila mereka menemukan jawabannya dan bila tidak mereka melanjutkan kepada tingkat selanjutnya sampai akhirnya sampai kepada Rasul. Ini artinya mereka mengkaji apa yang ada pada masa Rasul setelah tidak  menemukan pada tingkat dibawah Rasul.

Berbeda dengan pola Muhammadiyah dimana mereka mempunyai semboyan “kembali kepada al-Qur’an dan hadis”, pola ini member arti bahwa segala hokum tentang perbuatan digali/di istinbath langsung dari al-Qur’an dan hadis. Mereka tidak melihat bagaimana pendapat ulama sebelumnya atau tidak membaca kitab-kitab yang ditulis oleh ulama pengikut mazhab ataupun imam mazhab.

Kedua pola pikir NU dan Muhammadiyah ini mempunyai kelemahan dalam penetapan hukum. NU mengandalkan pendapat ulama dan kitab-kitab yang dikarang ulama walaupun itu jauh sesudah mazhab dengan tidak melihat lagi kepada al-Qur’an dan hadis, sedangkan Muhammaddiyah mengabaikan apa yang pernah ada sejak dari zaman tabi’in sampai masa jumud dengan anggapan bahwa selama ini pemahaman mereka tidak ada yang benar. NU menyadari kelemahan pola pikir yang mereka gunakan sehingga mereka membuat lembaga atau bagian yang disebut dengan bahtsul masailyang berarti kajian atau pembahasan tentang permasalahan kontemporer yang merujuk langsung kepada al-Qur’an dan hadis dengan tidak melihat kepada kitab/pendapat ulama. Demikian juga dengan Muhammadiyah menyadari bahwa mereka mempunyai kelemahan dalam penetapan hukum yaitu dengan mengabaikan semua pendapat ulama sebelumnya, padahal tidak semua pendapat itu salah dan tidak benar berdasar al-Qur’an dan hadis, karena itu mereka membuat satu bagian dalam pola Muhammadiyah yang disebut dengan majelis tarjih. Majelis tarjih berarti adalah satu majelis yang berfungsi untuk melihat pendapat-pendapat ulama tentang masalah yang dibutuhkan untuk selanjutnya memilih pendapat mana yang paling kuat dan sesui dengan al-Qur’an dan hadis.

Dari pembahasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa pada dasarnya pola yang digunakan oleh NU dan Muhammadiyah mempunya kelemahan secara metodelogi, namun dengan terbentuknya bahtsul masail dan majelis tarjih kelemahan itu sudah dapat tertutupi, namun perbedaan secara metodelogi tetap terjadi dan akan terjadi juga perbedaan dalam hukum dan perbuatan.


[*]Dosen Ushul Fiqh Perbandingan pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.