Pelaku Usaha Giok di Gayo Berpotensi di Pidana 10 tahun dan Denda Rp.10 M

oleh
Mencari giok, ayah dan anak di sungai Gerpa (LGco_Khalis)

Oleh : Win Wan Nur*

Mencari giok, ayah dan anak di sungai Gerpa (LGco_Khalis)
Mencari giok, ayah dan anak di sungai Gerpa (LGco_Khalis)

Pada tanggal 10 Desember 2014, seorang warga bernama Reza Pahlevi yang berencana hendak membawa dua bongkah batu giok yang dia beli dari warga Nagan Raya ke Medan.  Namun pada saat melintasi Kabupaten Pakpak Bharat, Reza ditangkap dan digiring ke kantor Polres Pakpak Bharat. Reza Pahlevi dituduh telah melanggar UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Karena dianggap tidak memiliki hak dan kewenangan membawa batu Giok, sebab menurut pengakuannya, penyidik mendakwa Reza tidak memiliki ijin usaha pertambangan (IUP) dan juga tidak bisa menunjukkan bukti bahwa batu Giok yang dia bawa diperoleh dari penambang yang memiliki izin.

Saat berita ini menyebar di dunia maya, banyak pihak yang mempertanyakan wewenang polisi dalam mengenakan pasal UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara tersebut kepada warga. Banyak pula ungkapan kekesalan yang ditujukan kepada polisi yang bertugas di wilayah Sumatera Utara yang kerap menjadikan warga asal Aceh yang melintas sebagai korban pemerasan.

Untuk mengetahui duduk perkara dengan jelas, pada tanggal 17 Desember 2014, penulis menghubungi Mahdinur, Kepala Bidang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Aceh. Dan jawaban dari Mahdinur cukup mengagetkan dan layak membuat cemas para pelaku usaha Giok yang sekarang sedang marak di Gayo.

Menurut Mahdinur, Polisi memang dapat menggunakan UU Nomor 4 tahun 2009 tersebut untuk menahan warga yang melakukan penambangan mineral tanpa izin maupun warga yang memperdagangkan hasil tambang mineral yang diperoleh dari proses penambangan tanpa izin.

Dalam UU tersebut, jelas Mahdinur, memang disebutkan bahwa ada sangsi bagi warga yang tidak memiliki izin usaha pertambangan (IUP). “Sanksinya bisa pidana ataupun perdata,” tukasnya.

Mengacu pada pasal 161 UU Nomor 4 tahun 2009 ini sebagaimana yang disangkakan oleh Kasat Serse Polres Pakpak Bharat AKP Mr kepada Reza Pahlevi. Ancaman hukuman bagi pelanggar Undang-undang ini adalah hukuman penjara 10 tahun dan denda 10 milyar Rupiah.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara “Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK, atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 104 ayat (3), atau Pasal 105 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”

Berdasarkan penjelasan Mahdinur, untuk mengetahui apa saja mineral non logam yang pertambangan dan pengusahaannya diatur oleh UU Nomor 4 tahun 2009 ini. Penulis kemudian menelusuri website resmi ESDM  http://psdg.bgl.esdm.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=624&Itemid=531  . Dan melalui penelusuran ini, penulis menemukan, bahwa jangankan Giok, bahkan Lempung alias tanah liat pun termasuk kategori mineral non logam, yang jika ditambang tanpa izin dan memanfaatkannya, pelakunya bisa di pidana selama 10 tahun dan membayar denda sebesar Rp.10 milyar.

Pasal-yang-disangkakan

Yang paling mengkhawatirkan dari Undang-Undang ini adalah, sebagaimana dikatakan oleh Mahdinur. Sama sekali tidak ada aturan tentang batasan volume yang ditoleransi. Artinya bahkan orang yang hanya menampung, memanfaatkan melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral sebanyak satu mata cincin pun sudah bisa dikategorikan melanggar pasal ini dan bisa diancam dengan pidana 10 tahun dan denda Rp.10 Milyar.

Karena tidak ada aturan apapun yang mengatur tata kelola pertambangan mineral selain Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang pasal-pasal hukumnya hanya berisi penjelasan yang sangat umum.

Ini berarti semua pelaku usaha batu Giok yang sekarang menjamur di Gayo bisa dikatakan hampir semuanya adalah pelanggar Hukum dan beresiko menghadapi hukuman pidana. Hanya nasib baik saja kalau selama ini mereka masih dibiarkan bebas oleh para penegak hukum.

Adalah sah-sah saja jika di kemudian hari ada polisi yang mendatangi tempat usaha batu Giok milik warga lalu menyita semua batu yang dimiliki warga dan menjebloskan mereka ke dalam tahanan.  Atau ketika warga tertangkap dalam razia di perbatasan Sumut melihat seorang warga memanfaatkan giok sebagai cincin lalu menyitanya untuk negara.  Karena warga yang sedang sial ini tidak bisa menunjukkan bukti bahwa batu mineral yang mereka miliki dan manfaatkan didapat dari usaha pertambangan yang memiliki izin.

Dan lebih menghkawatirkan lagi, siapapun pelaku usaha Giok berpotensi menjadi korban pemerasan oleh Oknum Aparat nakal. Sebagaimana dialami oleh Reza Pahlevi yang mengaku ditahan lebih dari 24 jam di kantor Polres Pakpak Bharat, dan baru dilepas usai membayar Rp.10 juta kepada penyidiknya, Kasat Serse AKP Mr.

Menurut Mahdinur, sebenarnya situasi ini bisa dihindari kalau Pemda tempat di mana penambangan giok ini sedang marak, bisa membuat Qanun yang mengatur tentang tata usaha pertambangan mineral .

Melihat maraknya usaha penambangan dan pemuliaan Batu Giok di Gayo saat ini. Agaknya, pemerintah dan DPRK di Gayo harus segera memikirkan untuk secepatnya mengeluarkan Qanun yang mengatur tentang usaha ini. Sehingga dengan demikian, warga yang sudah terlanjur masuk dalam usaha ini dapat terlindungi dari ancaman pidana dan potensi menjadi korban pemerasan oleh aparat nakal.

*Penulis adalah anggota Dewan Adat Gayo

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.