Kejutan di Hitam Toga

oleh
Ilustrasi_Wisuda

Oleh : Irama Br Sinaga

Antrian panjang berdesakka dengan cuaca panas. Suara hiruk membuat ruangan bergema. Di setiap sudut ruangan bahkan di tangga para mahasiswa yang sudah mendapat baju toga berkumpul dengan memperlihatkan baju masing-masing.

Kusodorkan slip bukti pembayaran uang wisuda dan mengatakan “Kak, saya ukuran S ya?” Petugas tersebut tak menjawab tetapi membalikkan badan dan mengambil baju sesuai ukuranku. Tanpa sepatah kata aku langsung melangkah meninggalkan antrian yang menyesakkan itu. Seperti mahasiswa lainnya aku juga memeriksa baju dan mencoba memakainya. Tapi perasaanku seperti hampa tidak ada yang membuat hati ini berkesan atau bahagia, tak bisa tergambarkan dan tak ada yang luar biasa.

Wisuda adalah hari bahagia bagi seluruh mahasiswa akhir. Bagaimana Tidak…!!! Selain lega menyelesaikan kuliah, juga lega dari cerita anak perantau. Banyak hal yang dilalui mulai dari makan mi instan diakhir bulan, masuk rumah sakit kerana DBD, hutang kepada kawan, sehari makan satu kali bahkan terkadang tak makan sama sekali. Kuliah jalan kaki meski hujan dan terik matahari mebakar, bergadang mengerjakan tugas, orang tua menjual emas, kebun dan barang berharga untuk bayar uang semester, hilang dompet, skripsi dicoret-coret, disuruh penelitian ulang setelah sidang. Ahhh!

Hari itu keluarga dan saudara hadir menyaksikan wisuda. Mahasiswa perantauan termasuk aku lebih bahagia di hari wisuda itu. Mengapa tidak, orang tua jauh-jauh datang bahkan ada yang sama sekali belum pernah menginjakkan kaki ditempat anaknya belajar. Ya, itu juga aku rasakan. Wisuda bagi mahasiswi bagaikan pesta pernikahan, menyiapkan diri merawat wajah agar terlihat cantik, tidak ada yang ingin terlihat gelap. Ada yang ke salon dan juga disalonin sama kawan sekos agar terlihat cantik.

Lima hari sebelum wisuda Ayah menghubungiku,

“Anakku, jika kita telah berusaha namun Allah belum memberi, apa yang harus kita lakukan?”, tanyanya serius. “Tawaqqal Ayah..kita berserah pada-Nya”, jawabku sedikit lemas karena aku punya firasat mereka tidak bisa hadir dihari wisudaku.

“Nak, kami tidak bisa hadir dihari wisuda mu”, lembut Ayah mengatakan itu melalui hp. Aku terdiam, tak terasa air mata jatuh dengan sendirinya, dibenakku sudah terbayang hari wisuda tanpa orang nomor satu dalam hidupku.

“Ayah, begitu banyak tantangan yang telahku hadapi, berharap aku mendapatkan kebahagian dipenghujung menjadi seorang mahasiswa. Ayah, aku tahu ini adalah cobaan untukku, bila memang Ayah sudah berusaha dan Allah belum memberi, ya tidak apa-apa”, jawabku sambil terisak.

Kuakhri perbincangan itu dengan kesedihan, bagai badai menerpa, hujan lebat beserta petir menyambar seketika. Tangisku pecah, semakin kencang saat membayangkan hari wisuda tanpa kehadiran Ayah.

Sejak itu aku mulai berpikir kepada siapakah undangan akanku berikan. Sur dan Susi siap untuk hadir dan mereka memberikan support. Mereka yakin orang tuaku pasti datang namun keyakinanku tidak sebanding dengan bayangan hari wisuda. Diperantauan ini, aku memiliki beberapa saudara yang sudah menikah namun aku tidak yakin mereka mau menghadiri undangan wisudaku. Mencari pengganti sosok orang tua, jua tak semudah yang aku pikirkan. Bagaimanapun orang tua tetaplah mereka yang nomor satu.

Tiga hari sebelum wisuda, komunikasi dengan orang tua tidak ada lagi. Aku hubungi seorang Murabbi yang mencintaiku karena Illahi. Beliau bersedia menghadiri undangan wisuda. Teman-teman dan adik-adik sepupuku begitu memperhatikan keadaan ku, aku yang wisuda mereka yang sibuk mencari dan bertanya persiapan wisuda.

Waktu berlalu terasa sangat lambat lelah menunggu senja, ingin cepat berakhir hari ini. Aku berjalan seolah tak menginjak bumi, terkadang samar melihat hari. Sedih hati ini tak bisaku pungkiri, sejatinya wisuda adalah hari kebahagian, tetapi? Kuberusaha tegar dihadapan teman-teman.  Dan dua hari sebelum wisuda abang menghubungiku.

“Adikku apa kabar?”
“Adik abang menangis ya?”.

Aku tak ingin banyak ngobrol, karena semakin banyak cerita maka air mata semakin banyak tercurakan, sedangkan persedian air sepertinya sudah menipis sebab setiap hari mengeluarkan air mata.

“Tunggu, jangan matikan dulu, besok kami berangkat dari kampung, kira-kira sampai disana jam berapa?”, tanya abang dengan nada cepat-cepat.
“Abang serius ndak sih, saya banyak urusan ne?”.
“Ya ya serius, rencana besok pagi kami berangkat dari kampung”.
“Hm siapa aja yang ikut bang?”, hati seperti mentari yang hadir di jam enam lewat sedikit memancarkan sinarnya. Obrolan kami berakhir dengan kabar yang membuat hati berdebar tak menentu. Terpancar senyum bahagia yang tiada terhingga seolah penderitaan telah berakhir.

Gladi resik kuikuti dengan hati berbunga-bunga. Malamnya hatiku tidak tenang dan mata tak mau terpejam, bukan karena orang tua yang belum tiba namun ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul sehingga malam itu aku tertidur hanya dua jam dan itupun dikejutkan dengan mimpi yang seperti nyata sehingga jantungku seolah berhenti berdetak.

Acara wisudapun dimulai, ruangan begitu panas dan aku tidak merasa ada hembusan angin sedikitpun. Baju toga yang besar dan tebal serta jilbab yang dililit membuat sesak dada dan menambah suasana menjadi gerah. Matapun tak bersahabat sehingga di pertengahan acara aku sempat tertidur.

Wisuda berakhir dengan waktu yang begitu sempit dan aku tidak bisa menggambarkan bagaimana hatiku dan keadaanku saat itu, seperti terhimpit waktu dan keadaan yang begitu tak bersahabat. Malam, selesai wisuda kami sekeluarga langsung pulang dan kali ini benar-benar sebuah refreshing yang menyenangkan. Keliling Kota Metropolitan adalah impian yang tertunda dan sangat kunikmati.

Baju toga kutitip pada seorang sahabat, dia terkejut begitu cepat aku pulang. Aku katakan padanya bahwa bagaimanapun keadaan kita saat ini, kita harus tetap siap menghadapi kenyataan. Capek sudah pasti namun bila dengan keluarga semua akan terasa ringan karena impianku terwujud bersama orang-orang yang kucintai, yang telah menghantarkan aku menjadi sesuatu dari yang bukan apa-apa. [SY]

Irama Br SinagaIrama Br Sinaga, lahir di  Samardua Singkil pada Tanggal 11 Juli 1991. Salah seorang cerpenis perempuan Aceh yang produktif, alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh. Mottonya  La takhof, Innaka Antal a’la (Jangan takut, sesungguhnya engkau yang paling unggul). Cerpen di atas adalah kisah nyata yang dialaminya pada detik-detik terakhir sebelum wisudanya. Kini sebahagian dari karyanya sedang dalam proses pencetakan dan penerbitan oleh The Gayo Institute (TGI) Takengon.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.