Hilangnya Media Transpormasi Sejarah Gayo

oleh

Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]

Gayo adalah satu suku yang berasal dari Melayu Tua yang memiliki sejarah panjang dan mendiami enam Kahupaten yang ada di Aceh (Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Timur dan Tamiang) pada saat ini. Sejarah panjang tentang keberadaan Gayo dituturkan dari generasi kegenarasi lebih banyak menggunakan metode penuturan secara lisan, sedangkan metode penulisan dalam sejarah dan tentang Gayo sangat sedikit dilakukan.

Tulisan Snouck Hurgronje, HC. Zentgraaff, Jhon R Bowwen menjadi andalan untuk mengenal  sejarah Gayo, kemudian tulisan Ali Hasyimi  yang menulis Gayo sembari menulis sejarah Aceh, namun tulisan Ali Hasymi ini mendapat sanggahan dari masyarakat Gayo karena terjadi kesalahan dalam pengungkapan fakta.  Sedangkan tulisan dari orang Gayo sendiri tentang Gayo ada beberepa buku diantaranya buku yang ditulis oleh Tgk. Mahmud Ibrahim, Aman Pinan dan lain-lainnya. Semua tulusan ini belum menggambarkan Gayo secara konprehensif terlebih data sejarahnya sangat sedikit.

Kini semakin terasa betapa sulitnya menemukan tulisan tentang Gayo, karena buku yang ditulis oleh Snouck Hurgronje, HC. Zentgraaff, Jhon R Bowwen tidak banyak orang Gayo yang memilikinya, sedang buku yang ditulis oleh John R. Bowwen belum diterjemahkan sehingga menambah sulitnya masyarakat Gayo menemukan informasi tentang sejarah Gayo.

Tradisi masyarakat Gayo sebelum tahun 1980-an masih bisa diandalkan untuk mendapatkan informasi tentang sejarah Gayo tempo doulou, karena pada tahun sebelum 1980-an masih ada tradisi masyarakat (kaum laki-laki) tidur di mersah (menasah) pada bulan ramadhan, mereka yang tidur di mersah ini biasanya bertugas menunggu datangnya waktu sahur. Sambil menunggu datangnya waktu sahur biasanya orang tua bercerita (bekekeberen) kepada anak-anak dan anak muda yang ada di mersah.– Perlu digarisbawahi bahwa yang bercerita ini bukanlah ayah (orang tua) langsung kepada anaknya, tetapi yang bercerita ini adalah orang yang dipanggil awan (kakek) oleh kebanyakan anak-anak atau anak muda.—Pada saat inilah awan (kakek) bercerita kepada para kumpu (cucu) tentang cerita apapun yang diketahuinya,  mulai dari cerita kejahilan, cerita lucu, ibu tiri, cerita gergaji (raksasa) sampai kepada cerita sejarah orang Gayo. Inilah sarana atau media transpormasi ilmu dari orang tua kepada anak-anak atau anak muda dalam masyarakat Gayo yang ada di sebelum tahun 1980-an.

Ada satu media lagi yang digunakan dalam masyarakat Gayo untuk mentranspormasikan nilai dan ilmu dalam masyarakat yaitu mungaji (belajar membaca al-Qur’an di rumah Tengku). Transpormasi ilmu sejarah atau pengetahuan tentang Gayo yang menggunakan metode kekeberen (cerita) juga dilakukan ketika mengajar anak-anak mengaji, dimana setiap malamnya setelah anak-anak siap mengaji, Tengku bercerita tentang bagaimana sejarah Gayo dan sejarah prilaku orang Gayo dalam kehidupan sehari-hari. Pengajian di Kampung diawali dengan shalat maghrib berjamaah dan disudahi dengan shalat Isya berjamaah juga dan semua santri menginap di rumah Tengku dan bangun pagi dengan berjamaah subuh. pada tahun 1980-an metode pembelajaran penuturan dengan media mersah dan pengajian di rumah Tengku sudah mulai hilang.

Diantara alasan hilangnya tradisi ini dari masyarakat Gayo diantaranya adalah karena  munculnya media televisi (TV), media ini menjadikan sebagian anak-anak atau anak muda tidak mau lagi tidur di mersah kendati sebagian yang lain ada juga yang tidur di mersah namun mereka ke mersah setelah selesai menonto televisi (TV). Demikian juga dengan orang tua di Kampung mereka tidak merasa betah lagi tidur di mersah mereka lebih memilih tidur di rumah, akibatnya antara anak-anak atau anak muda tidak ada lagi transpormasi ilmu dengan orang-orang tua.

Dalam masyarakat Gayo mempunyai alasan yang kuat kenapa transpormasi ilmu di mersah dan pengajian itu penting, karena pembelajaran tentang sejarah dan prilaku itu tidak ditemukan secara lisan dari orang tua (ayah) sebab antara ayah dan anak di dalam masyarakat Gayo tidak pernah punya waktu untuk berkekeberen (bercerita) tentang hal-hal lain kecuali tentang keadaan di sekolah. Sedang prilaku, budi pekerti dan moral anak lebih banyak mendapatkannya dari orang tua melalu uswah (pencontohan).

Sejak hilangnya dua media pembelajaran dalam masyarakat Gayo, maka sekarang sudah sangat terasa kalau masyarakat Gayo tidak lagi banyak memiliki pengetahuan tentang sejarah Gayo, adat istiadat dan budaya Gayo.



[*] Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Presenter Acara Keberni Gayo di Aceh TV Banda Aceh dan Pemangku Adat Aceh di MAA Provinsi Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.