Kopi dan Ketahanan Pangan Masyarakat Gayo

oleh

Oleh : Fathan Muhammad Taufiq

Proses paska panen kopi Arabika Gayo. (Khalis)
Proses paska panen kopi Arabika Gayo. (Khalis)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor7 Tahun 1996 tentang Pangan memberikan definisi ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Definisi dan paradigma ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sejak adanya Conference of Food and Agriculture tahum 1943 yang mencanangkan konsep “secure, adequate and suitable supply of food for everyone”. Definisi ketahanan pangan sangat bervariasi, namun umumnya mengacu definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger (1992) yakni “akses semua orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat (secure access at all times to sufficient food for a healthy life). Studi pustaka yang dilakukan oleh IFPRI (1999) diperkirakan terdapat 200 definisi dan 450 indikator tentang ketahanan pangan (Weingärtner, 2000).

Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketahanan pangan memiliki 4 unsur yang harus dipenuhi :

  1. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
  2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama.
  3. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan penyebaran disribusinya merata mencakup semua wilayah yang berpenduduk.
  4. Terpenuhinya akses pangan dengan kondisi terjangkau, artinya produk-produk pangan mudah diperoleh rumah tangga dan masyarakat dengan harga yang wajar.

Dataran tinggi Gayo yang meliputi 2 kabupaten yaitu Aceh Tengah dan Bener Meriah merupakan  daerah pertanian yang selama berpuluh tahun mengandalkan produk pertanian monokultur yaitu komoditi Kopi khususnya jenis Arabika. Dari data statistik terakhir kedua kabupaten ini memiliki luas areal tanaman Kopi Arabika kurang lebih  100.000 hektare, ini berarti hampir 70% lahan pertanian yang ada di kedua kabupaten ini terpakai untuk pengembangan komoditi ini, sementara untuk pengembangan komoditi pangan yang meliputi padi, palawija dan hortikultura kurang dari 10% dari total luas areal pertanian yang ada.

Khusus untuk komoditi padi yang merupakan komoditi pangan utama, luas areal penanamannya di kedua kabupaten ini sangat terbatas. Kabupaten Aceh Tengah hanya memiliki lahan sawah seluas 7.314 ha (Aceh Tengah dalam Angka 2013) sedangkan kabupaten Bener Meriah memiliki lahan sawah 5.115 ha (Bener Meriah dalam Angka, 2013)..

Dengan keterbatasan luas lahan sawah ditambah dengan pengelolaan pertanaman padi yang masih menggunakan cara konvensional, produktivitas padi di kedua kabupaten ini masih sangat minim (rata-rata baru mencapai 4,2 ton/ha). Dengan produktivitas padi yang masih relatif rendah tersebut, produksi padi di kedua kabupaten tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan pangan utama di wilayah tersebut, sehingga untuk pemenuhan kebutuhan pangan utama (beras) masih sangat bergantung pasokan dari daerah lain. Selama ini kekurangan beras di kedua kabupaten ini dipasok dari kabupaten Bireuen, Pidie dan Pidie Jaya. Karena masih bergantung dengan daerah lain, maka harga pangan utama berupa beras dikedua daerah ini sangat fluktuatif, tergantung dengan musim dan perkembangan harga di daerah produsen.

Demikian juga dengan produk pangan lainnya seperti jagung, kacang-kacangan, telur, daging ayam, ikan dan sebagainya, kedua kabupaten di Tanoh Gayo  ini belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan masih bergantung pada pasokan dari daerah lain. Jenis pangan yang bisa dipenuhi oleh wilayah ini baru dari jenis sayur-sayuran seperti kentang, kol, wortel, cabe, tomat dll dan beberapa jenis buah-buahan seperti jeruk, alpukat, nenas dan markisa.

Keterbatasan produksi pangan di dataran tinggi Gayo ini menyebabkan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok sangat bergantung pada daya beli masyarakat terhadap kebutuhan pangan tersebut, sementara daya beli masyarakat di kedua daerah ini sangat tergantung dengan penghasilan utama daerah ini yaitu komoditi kopi.

Sebagaimana komoditi perkebunan lainnya (kelapa sawit, karet, kakao dll), kopi merupakan komoditi bebas dunia, sehingga harga kopi di dataran tinggi Gayo sangat bergantung kepada perkembangan harga kopi di pasaran dunia. Hal ini menyebabkan bargaining position masyarakat Gayo yang notabene petani kopi dalam hal penentuan harga jual komoditi ini menjadi sangat lemah, belum lagi adanya permainan harga oleh para pedagang lokal yang menyebabkan posisi tawar petani terhadap harga komoditi ini menjadi semakin lemah.

Sampai dengan semester kedua tahun 2012 yang lalu harga kopi di wilayah ini masih relatif tinggi sehingga daya beli petani kopi Gayo juga cukup tinggi, termasuk daya beli terhadap produk-produk pangan. Sampai dengan akhir tahun 2012 yang lalu, masalah ketahanan pangan masyarakat sepertinya bukan menjadi masalah serius di daerah ini.

Tapi memasuki awal tahun dan hampir sepanjang 2013, harga kopi dunia mulai tidak menentu yang salah satunya disebabkan produk kopi dari negara-negara penghasil kopi dunia mulai memnuhi pasar kopi global. Hal ini menyebabkan peluang pasar komoditi kopi Gayo menjadi semakin sempit karena harus bersaing dengan produk kopi dari negara lain yang disatu sisi memiliki kualitas dan jaringan pemasaran lebih baik.

Kondisi global tahun 2013 tersebut telah menyebabkan harga komoditi kopi dari wilayah Gayo semakin terpuruk, kalau biasanya  harga 1 kaleng (setara 12 kg) kopi gelondong merah hanya berkisar antara Rp 100.000,- sampai dengan Rp 120.000,- masih hampir sebanding dengan harga 1 kaleng (setara 16 kg) beras, maka memasuki semester dua tahun 2013 ini harganya merosot jauh hingga 400% dari harga kopi tahun lalu, harga kopi pada sepanjang tahun 2013 yang lalu hanya berkisar antara Rp 25.000,- sampai dengan Rp 30.000,- per kaleng untuk gelondong merah, hanya setara dengan 2 bambu beras (3,2 Kg) atau hanya setara dengan 10 bungkus mi instan, itupun masih harus dipotong lagi dengan ongkos “ngotep” (memanen buah kopi). Penurunan harga kopi yang sangat tajam menyebabkan nilai tukar produk komoditi kopi dengan produk pangan (beras, gula, minyak, daging, ikan,  telur dan sebagainya) perbandingannya menjadi semakin jauh.

Sebagaimana telah dikekemukakan pada awal tulisan ini, bahwa ketahanan pangan masyarakat Gayo sangat tergantung pada daya beli masyarakat terhadap produk pangan pokok, sementara daya beli masyarakat yang sebagian besar menggantungkan hidupnya dari komoditi kopi sangat terpengaruh dengan fluktuasi harga komoditi ini. Terputuknya harga kopi sampai dengan tingkat terendah (setidaknya selama 15 tahun terakhir) juga berimbas kepada menunurunnya daya beli masyarakat terhadap produk pangan, yang berarti juga menurunnya ketahanan pangan masyarakat.

Dalam kondisi normal, dimana harga pasar kopi relatif tinggi, masalah ketahanan pangan bagi masyarakat Gayo, tidaklah menjadi permasalahan yang berat, karena dengan stabilnya nilai jual produk kopi (arabika) secara otomatis akan membuat daya beli masyarakat Gayo terhadap produk-produk pangan juga ikut stabil.

Namun ketika harga jual produk kopi arabika anjlok secara drastis seperti kejadian tahun 2013 yang lalu, tidak dapat dipungkiri akan menurunkan daya beli masyarakat terhadap produk-produk pangan utama, yang berarti juga sebuah indikasi penurunan ketahanan pangan masyarakat Gayo. Menurunnya tingkat ketahanan pangan masyarakat dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat seperti terjadinya gizi buruk, penurunan daya tahan tubuh, tingkat kecerdasan, kualitas kesehatan dsb. Disamping itu dampak menurunnya tingkat ketahanan pangan masyarakat, kondisi tersebut juga akan menimbulkan dampak sosial seperti meningkatnya kriminalitas akibat faktor ekonomi.

Dari uraian dia atas, jelas dapat ditarik benang merah antara kopi dengan ketahanan pangan masyarakat Gayo, karena hampir 80% penduduk dataran tinggi Gayo menggantungkan hidupnya dari komoditi kopi ini, sementara daya beli masyarakat terhadap produk-produk pangan sangat dipengaruhi oleh stabilitas harga komoditi unggulan dataran tinggi Gayo ini.

Belajar dari pengalaman tahun 2013 yang lalu dimana harga kopi mencapai titik terendah, agaknya kita harus memikirkan alternatif agar ketahanan masyarakat Gayo tetap bisa dipertahankan, sementara komoditi kopi khususnya jenis arabika sebagai komoditi unggulan juga harus tetap dipertahankan, karena secara psikologis, filosofis dan sosio kultural, kehidupan masyarakat Gayo tidak dapat dipisahkan dari keberadaan komoditi Kopi.

Perlu upaya-upaya terobosan untuk mengatasi permasalahan ini seperti diversifikasi tanaman dari monokultur menjadi multikultur, intensifikasi dan diversifikasi produk pangan. Kondisi fisik lahan di dataran tinggi Gayo masih sangat memungkinkan untuk melakukan hal tersebut, lahan pertanaman kopi juga masih dapat dimanfaatkan untuk menanam beberapa jenis buah-buahan seperti Jeruk Keprok, Alpukat, Pisang, Markisa, Terong Belanda dan lain-lainnya yang pada saat ini sudah mulai memiliki nilai ekonomis yang relatif tinggi. Demikian juga lahan-lahan pertanian yang selama ini termarginalkan, bisa dioptimalkan untuk menanam berbagai jenis palawija dan sayur-sayuran seperti Jagung, Kacang Kedelai, Kentang, Wortel, Cabe, Tomat, Kol dan sebagainya.

Jadi ketika harga kopi turun, masyarakat masih tetap mampu mempertahankan daya belinya dari hasil usaha sampingan tersebut. Upaya-upaya ke arah itu saat ini sudah mulai terlihat nyata, di pasar-pasar tradisional di wilayah Gayo ini sudah terlihat banyak petani yang memasarkan produk pertanian non kopi, demikian juga di tingkat pedagang pengumpul juga terlihat berbagai komoditi pertanian masyarakat Gayo siap untuk dipasarkan ke luar daerah. Alhamdulilah, ini tentu merupakan sesuatu yang menggembirakan. dengan upaya penganeka ragaman komoditi ini, sampai dengan saat ini sebagian besar masyarakat Gayo masih mampu mempertahankan ketahanan pangan mereka.

Untuk terus mempertahankan dan meningkatkan upaya tersebut, semua pihak harus terlibat dan saling bersinergi termasuk dengan melibatkan secara aktif para penyuluh pertanian kita di lapangan.[]

*Penulis adalah pemerhati Pertanian dan Perkebunan, tinggal di Takengon

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.