Demokrasi “asam jing” DPRK Aceh Tengah

oleh

Catatan : Yunadi HR, S.IP*

Yunadi-HRSEJAK dilantik Ahir September 2014; Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah; periode 2014-2019; sampai dengan hari ini belum memiliki Pimpinan DPRK yang defenitif. Dinamika yang terjadi yang berlarut-larut ditenggarai dari terbelenggunya proses penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRK Aceh Tengah. Sebelumnya, kepemimpinan DPRK menurut PP No. 16 Tahun 2010; pasal 38 Ayat 1; dipimpin oleh ketua sementara, Muchsin Hasan dari partai Golkar. Tugas pimpinan sementara dalam pasal tersebut adalah; memimpin rapat DPRD/k, memfasilitasi pembentukan fraksi, memfasilitasi penyusunan peraturan DPRD/K Tentang Tata Tertib dan memproses penetapan pimpinan DPRD/K defenitif.

Terkait dengan dasar hukum untuk pimpinan DPRK Defenitif diatur secara detail dalam pasal sebelumnya; pasal 37 Ayat 2 sampai dengan Ayat 4. Secara gamblang dalam pasal tersebut diutarakan bahwa pimpinan DPRK Defenitif adalah Anggota DPRK yang berasal dari partai Peraih kursi terbanyak. Bila terdapat beberapa partai peraih kursi terbanyak maka selain kursi terbanyak juga peraih suara terbanyak dari partai yang jumlah kursinya sama-sama terbanyak. Sehingga semestinya dinamika perbedaan pendapat terkait pemilihan pimpinan DPRK Aceh Tengah tidak harus berlarut – larut.

Hal diatas makananya adalah pimpinan DPRK Otomatis berdasarkan hasil Pemenang pemilu lagislatif, bukan dipilih dalam musyawarah anggota DPRK.

Polemik Pimpinan DPRK ini jugalah yang telah “memandulkan” dan menjadikan lambatnya penyusunan Peraturan DPRK Tentang Tatib. Hal yang sangat disayangkan; bahwa sebelumnya telah dilakukan upaya konsultasi penyusunan Tatib DPRK pada pemerintahan Provinsi Aceh, bahkan 2 kali. Kegiatan itu tentu menggunakan kuangan daerah,karena memang itu kegiatan resmi. Sekira tanggal 12 November 2014; terbitlah surat dari Sekda Provinsi Aceh Atas nama Gubernur yang pada dasarnya menyatakan bahwa Acuan pemilihan pimpinan DPRK harus tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga secara implisit;bahwa Pimpinan DPRK Aceh Tengah bukanlah dipilih, melainkan secara otomastis, parpol pemenang pemilu 2014 akan memimpin Lembaga yang terhormat tersebut dalam melayani kepentingan dan aspirasi rakyat Aceh Tengah dalam lima tahun kedepan.

Pernak-pernik yang tidak lagi mencerdaskan tempohari terus berlangsung di DPRK; yang berujung walkoutnya 2 (dua) fraksi dari 4 fraksi yang ada di DPRK Aceh Tengah. Fraksi Demokrat dan Fraksi Golkar menggunakan Hak  Politiknya dengan meninggalkan ruang sidang DPRK. Dan berdasarkan kesepakatan Fraksi Nadem dan Fraksi PAN; sidang berlanjut dengan pimpinan sementara yang beralih pada Zulkarnaen dari partai Demokrat.

Kemudian berdasarkan sidang DPRK Aceh Tenah Tanggal 20 November 2014, secara Aklamasi terpilihlah dan ditetapkan pimpinan DPRK kedepan; yang antara lain, ketua; Zulkarnaen (Demokrat), wakil Ketua; Anda Suhada ( Partai Nasdem) serta Syirajuddin (Partai PAN).

Proses ini tentu telah keluar dari jalur PP No. 16 Tahun 2010; pasal 37 ayat 2,3 dan 4. Juga bertentangan dengan UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MD3.

Akankah dari sebuah proses dan mekanisme yang tidak mengacu pada Peraturan perundang – Undangan yang berlaku, serta masukan dari hasil konsultasi pada pemerintahan yang diatasnya tidak digubris; akan menghasilkan produk hukum yang legal kedepan?. Sebuah lembaga yang konstitusional, yang didanai oleh uang negara tentu harus merujuk pada peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Kekhawatiran terbesar kita adalah; bahwa kedepan terkait pembahasan dan pelaksanaan APBK Murni Kabupaten Aceh Tengah kedepan menjadi ilegal, karena dipimpin oleh lembaga legislatif yang tidak memenuhi aturan perundang-undangan dalam penetapannya. Bila itu terjadi, maka rakyat Aceh Tengah akan menjadi korban; dan menurut pandangan kami secara hukum, menjadi hal yang cukup riskan bila pemerintah Aceh melalui biro hukumnya menerima prose ini dan meneruskannya pada gubernur. Dan menjadi pertaruhan yang cukup riskan juga bila gubernur menyetujui dan melegalkan proses sedemikian. Konsekwensi yang lebih rumit lagi kedepan adalah, bila tetap tidak ada titik temu, fraksi Nasdem dan Fraksi PAN bertahan tetap pada hasil penetapan 20 November 2014; dan gubernur menyetujui, maka bukan hal yang tidak mungkin fraksi Golkar dan Fraksi Demokrat menempuh Jalur PTUN. Dan bila itu terjadi, maka episode suram perjalanan DPRK Aceh Tengah 2014 – 2019 akan dimulai, dan lagi – lagi rakyat yang akan jadi korban. Semoga semua pihak, para wakil rakyat yang terhormat dapat mencari solusi yang paling bijak dan bermartabat, demi Aceh Tengah yang lebih baik kedepan.*Pengamat Politik, Dosen FISIPOL UGP Takengon

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.