Pergeseran Karakter Pendidikan di Gayo

oleh

Oleh : Darmawan Masri

KARAKTER pendidikan di suatu daerah mempunyai ciri khas dan kelebihan tersendiri. Tak terkecuali di Dataran Tinggi Gayo yang meliputi daerahnya Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, sebagian wilayah Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Tamiang.

Dahulu pendidikan masyarakat Gayo diawali dengan pendidikan Islam di Mersah-Mersah (Menasah-red) yang kemudian berkembang dengan munculnya pendidikan formal, “Urang Gayo” dikenal ketat mengawasi pendidikan anak-anak nya, hasilnya setiap anak “Urang Gayo” memiliki kualitas menjanjikan sehingga mampu bersaing di luar Gayo. Pola pendidikan yang diterapkan dikenal dengan istilah “Iserahen ku Tengku Guru” dimana istilah tersebut berarti setiap orang tua yang akan menyekolahkan anaknya betul-betul diserahkan kepada guru untuk mendidik anaknya supaya menjadi pintar dan beraklak mulia.

Sebagai contoh “Urang Gayo” yang sukses dan memiliki karakter dengan pola pendidikan seperti itu diantaranya, Prof. M. Yunus Melala Toa, Mr. Daud, Abdullah Moeda, Tgk. Ilyas Leube, Dr. Baihaki AK dan lain-lain, digenerasi terakhir yang mengenyam pola pendidikan seperti itu adalah Prof. Dr. Al Yasa’ Abu Bakar, Prof. Dr. Abu Bakar Karim dan lain-lain.

Penyerahan secara langsung seorang anak dari orang tua kepada guru dilakukan dengan cara mengucapkan akad (perjanjian), bahwa orang tua sudah menyerahkan setulus hati sang anak kepada guru (pihak sekolah) untuk didik. Akad tersebut dijadikan sebagai perjanjian tersirat bahwa guru akan menjadi orang tua kedua dari si anak pada saat berada di sekolah/madrasah.

Saat itu, keberadaan sekolah memang dianggap oleh orang tua sebagai instansi pencetak generasi yang berilmu dan berahlak, karena minimnya sarana pendidikan (sekolah) pada saat itu serta keseharian masyarakat Gayo yang menumpukan kehidupannya disektor pertanian (kopi dan tanaman hortikultura) sehingga para orang tua percaya kepada pihak sekolah.

Walau sudah menjadi tanggung jawab sekolah dalam mendidik anak urang Gayo yang dititipkan melalui akad, namun peran serta orang tua tak langsung hilang begitu saja. Pihak sekolah bersama orang tua tetap menjalin komunikasi aktif terkait perkembangan anak disekolah. Orang tua pun juga sebaliknya, walau mereka harus mencari penghidupan sebagai petani, tetapi dalam waktu-waktu tertentu mereka juga mengunjungi sekolah menanyakan perkembangan anaknya.

Sehingga dari proses itu terjalin komunikasi tiga serangkai antara orang tua, guru dan murid. Sehingga anak-anak Gayo yang bersekolah pada saat itu menjadi berkarakter.

Proses gotong royong juga terjadi saat itu, karena minimnya sarana pendidikan orang tua di Gayo rela membangun sekolah-sekolah secara sukarela, sedangkan peran pemerintah hanya menyiapkan tenaga pendidik (guru) saja.

Pergeseran Pola Pendidikan di Gayo

Seiring dengan perkembangan cara pendidikan di dunia, sehingga negara Indonesia sedikit banyaknya juga mengadopsi pola pendidikan yang berkembang tersebut. Nilai-nilai pendidikan di Gayo mulai bergeser. Akad (perjanjian) yang dilakukan antara orang tua dan guru perlahan hilang. Yang paling menyedihkan adalah banyak sekolah saat ini kurang mengikutsertakan peran orang tua disekolah, sehingga memunculkan pergeseran pola pendidikan di bumi yang dikenal dengan sebutan “Negeri di Atas Awan” ini.

Akibatnya, saat ini karakter lulusan dari sekolah-sekolah formal milik pemerintah bisa dikatakan tidak lagi berkarakter. Mereka seakan meninggalkan budaya serta pola pendidikan di Gayo yang sudah terbukti secara turun-temurun sukses mencetak generasi-generasi handal yang berkarakter keilmuan serta berahlak mulia.

Pola pergeseran itu, dipicu melalui kebudayaan-kebudayaan serta pola pendidikan yang diadopsi langsung dari luar dengan tidak memperhatikan pola pendidikan daerah setempat. Alhasil, pergeseran pola pendidikan itu berdampak pada kualitas pendidikan disuatu daerah. Saat ini guru tak lagi berani menghukum siswanya jika melakukan kesalahan dan pelanggaran norma yang seharusnya tak boleh dilakukan oleh seorang siswa.

Hal ini dikarenakan karena ada undang-undang yang mengatur tentang perlindungan anak sehingga guru tak boleh lagi bersentuhan fisik dengan siswa. Jika berani sang guru akan terkena imbasnya, dia bisa dilaporkan kepada pihak Kepolisian dan sang guru pun ditahan dengan tuduhan penganiyaan atau sebagainya.

Tak jarang saat ini orang tua pun menjadikan ajang ini sebagai bisnis, mereka rela melaporkan sang guru karena sudah melanggar undang-undang dan meminta uang ganti rugi kepada sang guru karena sudah menyentuh fisik sang anak.

Tentu hal ini sangat disayangkan, orang tua seakan lupa bahwa guru adalah sebagai fasilitator dalam hal pentrasfer ilmu kepada anak-anaknya. Komunikasi anatara pihak sekolah dan orang tua juga tak terbangun dengan baik lagi. Sehingga karakter pendidikan saat ini sudah jauh menurun. Pola gotong royong juga mulai ditinggalkan seakan-akan orang tua tak lagi bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya mereka hanya menitipkan anak nya disekolah soal pandai atau tidak itu urusan guru yang mengajar, sehingga pola pendidikan tiga serangkai tak lagi terwujud.

MBS mengembalikan Resam yang hilang di Gayo

Beberapa tahun terakhir sebanyak 20 sekolah (SD, SMP/MTs) di Kabupaten Bener Meriah sudah diterapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Pendidikan Masyarakat (PKPM) yang merupakan mitra dari program Kinerja-USAID sebagai lembaga pendonor.

Sebenarnya pola MBS dalam hal partisipasi orang tua (masyarakat) sudah diterapkan di Gayo sejak dulu hanya namanya saja yang berbeda. Sebagai contoh Dalam adat Gayo ada tradisi atau resam kegotongroyongan. Sebagai contoh masyarakat di Gayo dalam membangun sekolah secara sukarela menyediakan lahan dan bahu-membahu membangun sekolah, sedangkan peran pemerintah menyediakan tenaga pendidik.

Hal itu telihat bahwa hubungan antara masyarakat (wali murid), sekolah dan siswa telah terjalin baik. Adanya pengawasan dari masyarakat terhadap sekolah menjadikan kekuatan tersendiri.

Program MBS yang dilaksanakan oleh PKPM Kinerja-USAID tentunya akan mengembalikan “resam”  pendidikan di Gayo yang mulai luntur. Melalui pusat pengkajian yang jelas dan diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Pendidikan sangat jelas mendukung, mengawasi, mediator dan menggalang dana dari pemerintah, swasta (dunia usaha/dunia insdustri) serta masyarakat (wali murid), harus dimaksimalkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang bermutu.

Dari PP tersebut terlihat bahawa peran serta masyarakat (orang tua siswa) juga memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan pendidikan disuatu daerah. Peraturan ini seakan memberi ruang untuk mengembalikan Pola/karakter Pendidikan di Gayo yang selama ini sudah hilang.

Dari ke-20 siswa yang sudah menerapkan pola MBS di Kabupaten Bener Meriah, terlihat ada perubahan. Hal itu dikarenakan, peran serta masyarakat (Komite Sekolah) betul-betul memengang peranan penting dalam mengawasi sekolah dalam menciptakan generasi-generasi yang bermutu. Terlebih, Saat ini otonomi daerah dituntut untuk pengelolaan pendidikan secara otonom dengan model MBS, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pembinaan.

Pembagian peran antara pihak sekolah dan masyarakat jelas dan saling berketerkaitan antar satu dengan yang lain sesuai porsi masing-masing. Sehingga jika seluruh sekolah yang ada dikabupaten Bener Meriah secara maksimal maka mutu, pelayanan dan manajemen sekolah semakin baik.

Melihat dinamika ini perlu trik khusus oleh sekolah/madrasah yang ada di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah untuk upaya menumbuhkan kembali resam atau tradisi (partisipasi/rasa kegotongroyongan) yang sudah pudar. Diharapkan, dengan menerapkan MBS pada sekolah/madrasah maka secara sistematis upaya menumbuhkan peran serta masyarakat/partisipasi akan meningkat dalam pengelolaan pendidikan.

* Sekretaris Redaksi LintasGAYO

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.