Sejarah munculnya istilah Uken-Toa dan konsekwensinya bagi Gayo*

oleh
Bowen dan cover bukunya

“Sumatran Politics and Poetics : Gayo History 19001989” (Bag II)

Buku-Jhon-dan-JohnOleh : Win Wan Nur**

Keputusan Belanda memilih wilayah Bukit yang terletak di bagian hulu sungai Peusangan sebagai pusat pemerintahan membawa konsekwensi besar dalam pembentukan pola sikap dan karakter urang Gayo.

Keputusan ini membuat terjadinya migrasi besar-besaran ke Takengen. Migrasi terjadi  bukan hanya di kalangan urang Gayo. Etnis Aceh, Minang sampai Cina juga berdatangan ke Takengen.

Di halaman 80 Bowen menulis;  akibat dari situasi ini, urang Bukit menjadi terbiasa bersentuhan dengan budaya dan cara pikir dari luar dan kemudian menyerapnya dan membentuk karakter urang Bukit yang lebih terbuka pada gagasan baru. Institusi pendidikan yang didirikan Belanda di wilayah Bukit, membuat membuat mayoritas  kaum terdidik Gayo pada tahap awal adalah urang bukit.

Sebaliknya dengan warga Ciq, mereka menjauhkan diri mereka dari Kota menuju ke wilayah-wilayah perkebunan di sepanjang aliran sungai Peusangan dan sepanjang jalan ke arah utara.

Kalau institusi pemerintahan dan pendidikan terletak di Uken,  rata-rata perkebunan teh, kopi dan damar terletak di wilayah kekuasaan Ciq. Reje Ciq terakhir dikenal dengan mana panggilan Raja Damar (Reje Uyem).

Pada zaman Belanda, pandangan umum warga Ciq terhadap pendidikan dan isu sosial lainnya, secara umum terbilang konservatif. Meskipun Ciq juga melahirkan sejumlah pemimpin yang merupakan tokoh anti kolonial.

 Urang  Gayo dari wilayah manapun, entah itu deret maupun wilayah Gayo lainnya yang bermigrasi ke wilayah perkebunan kopi di utara, menggabungkan diri mereka dengan Reje Ciq. Sebaliknya urang Gayo yang bermigrasi ke Takengen menggabungkan diri dengan Bukit. Syiah Utama terserap menjadi bagian dari pengaruh Bukit.

Wilayah utara Gayo yang tadinya terbagi dalam empat divisi, Bukit, Ciq, Syiah Utama dan Linge mengerucut menjadi dua kutub yang berada di  hulu dan hilir sungai Peusangan,  yang saling bersaing secara kultural dan ekonomi.

Inilah yang menjadi sejarah awal munculnya istilah Uken – Toa. Yang tetap bertahan dan terus menimbulkan friksi antar penduduk  yang tinggal di wilayah utara Tanoh Gayo sampai hari ini.

Persaingan dan perebutan penguasaan sumber ekonomi, belakangan meluas ke bidang lain di luar pertanian dan perdagangan akibat munculnya profesi baru yang sebelumnya tidak dikenal di Gayo.  Yaitu tenaga adminstrasi dan pegawai pemerintahan.

Ketika Belanda membutuhkan tenaga administrasi dan pegawai negeri. Tentu saja yang memenuhi syarat pendidikan adalah orang-orang Bukit.  Pada masa kolonial ini, reje-reje Bukit memiliki pengaruh yang sangat besar dalam administrasi pemerintahan Belanda.

Di masa pergerakan kemerdekaan, karena akses ke institusi pendidikan tadi. Tokoh-tokoh awal pergerakan yang merupakan kaum terdidik rata-rata berasal dari Uken. Saat Indonesia merdeka, ketika tokoh-tokoh pergerakan ini menjadi penguasa. Uken juga mendominasi. Bupati pertama Aceh Tengah,  yang saat itu meliputi wilayah yang saat ini terbagi dalam empat kabupaten ( Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara) adalah Abdul Wahab, putra sulung dari Reje Gunung (salah satu divisi Bukit) terakhir. Pejabat pemerintahan dan juga pegawai negeri juga didominasi Uken.

Di masa kemerdekaan, anak-anak Toa mulai mendapat akses yang sama ke dunia pendidikan dan di Toa pun muncul generasi terdidik. Tapi dominasi Uken di pemerintahan belum juga terpatahkan.  Para bupati yang memimpin Aceh Tengah, selalu berasal dari Uken.

Dominasi Uken mulai patah ketika Aceh Tengah dipimpin oleh bupati dari pesisir, kemudian berturut-turut digantikan oleh bupati dari Isak (yang  tidak termasuk dalam wilayah perseteruan Uken- Toa).

Toa mulai mendapat angin, ketika Aceh Tengah dipimpin oleh Bupati Mustafa M. Tamy asal Isak yang memiliki istri asal Toa.  Pada masa inilah, banyak pejabat dari Toa diberi kepercayaan memimpin berbagai institusi. Salah satunya adalah Nasaruddin yang ditarik dari Aceh Tenggara. Yang kemudian  menggantikan Mustafa M. Tamy menjadi bupati sampai hari ini (catatan penulis. red)

Secara kultural, akibat kebijakan Belanda ini. Uken yang terbiasa bergaul dengan pendatang, menyerap nilai-nilai baru dan membentuk karakter uken yang lebih terbuka dan lebih bebas mengatakan pendapat. Penerimaan ide baru di Uken juga kemudian berpengaruh ke wilayah Agama. Uken yang banyak menerima ide-ide baru tentang pemahaman Islam dari guru-guru asal minang kemudian banyak yang mengadopsi gagasan baru dalam praktek keagamaan. Di sini muncul lagi istilah baru Kaum Mude – Kaum Tue untuk membedakan Uken yang mengadopsi gagasan baru dengan Toa yang tetap teguh dengan paham lama yang konservatif.

Ekses dari kebijakan Belanda ini juga telah menciptakan pola yang unik dalam pernikahan antara warga Uken dan Toa.

 Seandainya pernikahan ini terjadi antara Suami Uken dan Istri Toa. Biasanya pernikahan ini akan berlangsung langgeng  dan tenteram. Sebab suami dan keluarganya dari Uken akan sangat nyaman dengan istri/menantu Toa yang menganut nilai-nilai Toa yang konservatif yang tidak banyak protes pada suami dan keluarganya. Kemudian keluarga istri juga akan menjaga jarak dari urusan keluarga anak perempuan yang sudah menikah.

Sebaliknya, kalau suami yang berasal dari Toa yang konservatif dan istri berasal dari Uken yang  lebih kosmopolit.  Tidak jarang si istri menjadi bahan gunjingan saudara dan tetangga Toa, karena si istri dianggap lancang. Dan keluarga si istri juga sering menciptakan rasa tidak nyaman di keluarga suami, karena dianggap lancang mencampuri urusan rumah tangga anak perempuan yang sudah menikah.

Secara umum, stereotip yang berkembang di wilayah utara Tanoh Gayo, Uken menganggap Toa kolot  dan kampungan, sebaliknya Toa menganggap Uken Cikang dan sok jago.

                                                                                     *****
Sekarang, Belanda sudah lama pergi.  Tapi Urang Gayo, tetap terjajah. Sentimen Uken – Toa  warisan sang penjajah, tetap bertahan sampai hari ini.  Para penguasa dan pemimpin Gayo pun tetap melestarikan warisan bangsa kecil di Eropa yang sebenarnya hanya hadir sekilas dalam sejarah panjang Gayo sebagai sebuah peradaban.

Di halaman awal buku ini Bowen  menulis. Oleh urang Gayo, perseteruan Uken – Toa ini dibawa sampai ke tanah rantau. Bahkan Urang Gayo yang ada di Jakarta pun terbelah oleh sentimen Uken – Toa yang diciptakan oleh Belanda ini.

Akhirnya, penulis  menyimpulkan :
Gayo hanya bisa merdeka kalau urang Gayo bisa memiliki kesadaran kolektif untuk melakukan revolusi guna menghapuskan sentiment Uken – Toa, warisan Belanda ini. Lalu mulai berusaha saling memahami dan menganggap perbedaan ini sebagai rahmat. Dan kemudian memilih pemimpin yang bisa menghancurkan warisan penjajah yang membelenggu Gayo selama ini.

Kalau tidak, bisa dipastikan Gayo akan tetap terjajah sampai ke anak cucu nanti.

T A M A T

*Tulisan ini sudah diterbitkan di tabloid LintasGAYO edisi 14, tanggal 7 September 2014
**Penulis adalah anggota Dewan Adat Gayo

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.