Mengenal Gayo melalui buku John Bowen (2) “Hubungan antara Aceh dan Gayo”

oleh
Bowen dan cover bukunya

Mengenal Gayo melalui “Sumatran Politics and Poetics : Gayo History, 1900 – 1989” (Bag 2)

Oleh : Win Wan Nur*

Salah satu bagian paling menarik dalam buku Bowen ini adalah ulasan tentang relasi Aceh dan Gayo yang sangat berbeda secara etnisitas

Menurut Bowen, dilihat dari sisi liguistik, bahasa Gayo memiliki banyak kata yang termasuk dalam rumpun bahasa Mon-Khmer di daratan utama Asia Tenggara. Kata-kata itu tidak ditemukan dalam bahasa Aceh. Bahasa Aceh sebenarnya juga memiliki beberapa kata dari akar bahasa Mon-Khmer, tapi kata-kata itu bukan kata yang sama seperti yang ditemukan dalam bahasa Gayo. Fakta ini menunju kkan bahwa pada suatu masa, Gayo pernah tinggal di daerah pesisir dan mengalami kontak langsung dengan penutur bahasa Mon-Khmer atau penutur bahasa Austronesia yang sudah punah yang dalam bahasanya meminjam beberapa kata dari bahasa Mon-Khmer.

Dalam catatan kaki di halaman 15, Bowen mengutip hipotesis Gerard Diffloth yang menemukan bahwa Bahasa Aceh memiliki hubungan dekat dengan bahasa Austronesia dari rumpun Cham. Terdapatnya beberapa kata Mon-Khmer dalam bahasa Aceh adalah karena alasan sederhana yaitu perlakuan Lexicostatistik (memungut kata-kata yang sering muncul dalam percakapan dengan suku lain, seperti kata ‘Insya Allah’ yang sudah diserap menjadi bahasa Perancis prokem yang berarti ‘semoga’).

Di halaman yang sama, Bowen mengutip “Hikayat Raja-Raja Pasai”, sebuah manuskrip yang ditulis pada abad ke-14 yang menyebutkan tentang sekelompok masyarakat di negara Pasai yang menolak masuk Islam dan kemudian pindah ke hulu sungai Peusangan. Pindahnya sekelompok masyarakat ke hulu Sungai Peusangan sebagai mana dikisahkan di dalam “Hikayat Raja-Raja Pasai” ini. Belakangan oleh orang Aceh kisah ini ditambah-tambahi ke dalam cerita dongeng pengantar tidur, untuk membuat cerita spekulasi tentang asal-usul nama Gayo yang menurut orang Aceh berasal dari kata ‘Kayo’ yang berarti pengecut.  Menurut Bowen,  istilah ini sebenarnya dibuat oleh orang Aceh terkait dengan stereotip yang berkembang di masyarakat Aceh (masa itu) yang memandang Gayo sebagai masyarakat kurang beradab yang baru saja keluar dari kepercayaan animisme.

Kemudian  dalam “Hikayat Aceh” yang ditulis pada abad ke-17 ada satu bagian yang menceritakan tentang suatu daerah yang memiliki laut berair tawar yang sudah masuk dalam wilayah kekuasaan Sultan Iskandar Muda.

Kisah dalam kedua Hikayat di atas menunjukkan dengan jelas posisi Gayo yang berada di wilayah pinggiran dalam konstelasi politik Aceh.

Setelah muncul dalam dua referensi tersebut, kisah tentang Gayo tidak pernah lagi ditemukan dalam literatur apapun, baik sebelum maupun sesudahnya. Baru pada masa perang Aceh – Belanda pada tahun 1870, Gayo menjadi perhatian orang-orang Eropa.

Perbedaan karakter dan posisinya yang berada di pinggiran konstelasi politik Aceh.  Membuat posisi Raja dalam pandangan masyarakat Gayo.  Sangat kontras berbeda dengan posisi Raja dalam pandangan masyarakat  Aceh Pesisir.

Di halaman 32, Bowen memaparkan.  Jika di pesisir, raja adalah orang yang memiliki kedudukan yang sangat kuat dalam masyarakat.  Merupakan pengendali hukum dan aturan. Serta memiliki hak dan kedudukan istimewa.  Tidak demikian halnya dengan di Gayo.

Di Gayo, raja dipandang tidak lebih dari representasi masyarakat Gayo  di hadapan Sultan Aceh. Pengaruh Raja Gayo dalam urusan ‘dalam negeri’ Gayo sangat sedikit sekali. Di Gayo, seorang Raja hanya bisa melakukan apa yang disetujui oleh mayoritas masyarakatnya. Kurang lebih sama seperti fungsi seorang penyelenggara negara di dalam sistem pemerintahan demokrasi modern.

Jika dalam masyarakat Aceh, rakyat tunduk dan ikut apa kata Raja. Maka dalam masyarakat Gayo, yang terjadi adalah sebaliknya, Rajalah yang harus tunduk dan ikut apa kata rakyatnya.

Orang Aceh tumbuh dalam masyarakat dalam kultur dengan hirarki politik yang jelas yang secara tegas membedakan status  atasan dan bawahan. Sedangkan Gayo sebaliknya. Orang Gayo tidak ‘didesain’ untuk menjadi pribadi yang takut pada atasan. Karena secara sosial Orang Gayo kurang memiliki keterpaksaan untuk tunduk pada hirarki politik. Alhasil orang Gayo secara umum berkembang menjadi pribadi yang disebut oleh para antropolog sebagai “True Republican” yang egaliter, yang memandang semua orang dalam posisi setara.

Tampaknya karakter yang sudah merupakan ‘cetakan alam’ inilah yang menjadi alasan, mengapa sampai hari ini tak ada satu pun pemimpin besar yang lahir di Gayo. Seorang pemimpin yang setiap kata dan perbuatannya diikuti dengan takzim oleh seluruh masyarakat Gayo. Dan ini pula yang membuat, orang Gayo terlihat sangat sulit dipimpin. Sebab, sebagaimana diulas oleh Bowen. Pada dasarnya di Gayo, kekuasaan tertinggi itu ada di tangan rakyat. Bukan pada Raja.

Gayo baru benar-benar mengenal yang namanya hirarki politik, ketika Belanda berkuasa.

Di halaman 51 – 52, Bowen menulis bahwa dalam hubungannya dengan Sultan Aceh.  Meskipun Gayo secara teritori masuk ke dalam wilayah Aceh. Tapi, dalam prakteknya, masyarakat Gayo hanya memandang Sultan sebagai sumber legitimasi yang ada di tempat jauh. Yang meskipun dihormati dan terus diberi upeti dan penghargaan dari waktu ke waktu. Tapi dalam kehidupan keseharian masyarakat Gayo, Sultan tidak banyak berperan. Selama upeti lancar, orang Aceh tidak ikut campur secara langsung urusan orang Gayo.

Aceh memiliki hubungan yang jauh lebih erat dengan Gayo dalam banyak bentuk lain di luar relasi politik.

 Islam merupakan bingkai yang merekatkan  antara Gayo dan Aceh. Banyak orang Gayo yang belajar agama di daerah pesisir. Seperti di Awe Geutah di dekat Bireun.

Masyarakat Gayo dari Isak juga terbiasa berdagang dengan orang Aceh di pesisir. Menukar tembakau, kuda dan bahkan Kerbau dengan garam dan pakaian . Beberapa orang Gayo kemudian menikahi perempuan Aceh. Dan beberapa laki-laki Aceh juga datang ke Isak untuk berdagang atau menghindari kejaran tentara Belanda untuk kemudian menikah dengan perempuan Gayo.

Dari hubungan seperti ini, kemudian banyak orang Gayo mengerti bahasa Aceh.  Berbagai syair bahasa Aceh pun menjadi populer di berbagai wilayah di dataran tinggi Gayo.  Karena banyak orang Aceh yang menikah dengan perempuan Gayo di Isak pada masa pergantian abad (19 ke 20) adalah para pejuang yang terlibat dalam perang melawan Belanda. Mereka membawa ide politik dan syair tentang perang bersama mereka dan menyebarkannya di Gayo.

Masa perang Aceh-Belanda bisa dikatakan adalah masa dimana kekuatan budaya literatur Aceh secara massif dan intensif masuk ke Gayo.  Melalui pembacaan syair-syair bahasa Aceh yang didesain untuk meningkatkan semangat tempur.

*Penulis adalah anggota Dewan Adat Gayo

Link terkait :

(Artikel ini sudah diterbitkan di Tabloid LintasGAYO edisi 12, tanggal 22 uli 2014)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.