Sejarah Islam masuk ke Gayo

oleh
Isutrasi : foto masjid Asal yang diabadikan fotografer penjajah Belanda dipampangkan didepan pintu masjid Asal
Isutrasi : foto masjid Asal yang diabadikan fotografer penjajah Belanda dipampangkan didepan pintu masjid Asal
Isutrasi : foto masjid Asal yang diabadikan fotografer penjajah Belanda dipampangkan didepan pintu masjid Asal

MEMPERHATIKAN keanekaragaman penduduk Gayo yang tinggal di Kabupaten Aceh Tengah itu menunjukkan bahwa daerah Aceh Tengah itu tidak menutup pintu bagi orang-orang yang hendak tinggal disana. Kemungkinan besar bagi pendatang itu mendapat tempat yang layak dikalangan masyarakat, apalagi yang datang itu selalu membawa kebaikan dan keamanan bagi masyarakat. Maka suatu dugaan keras bahwa masuknya Islam ke daerah Gayo adalah dibawa oleh pendatang-pendatang, baik pendatang itu sebagai pedagang maupun sebagai Muballigh. Salah satu data yang dapat dilihat adalah adanya sebuah kuburan Ya’kub, saudara misan dari Al-Malik Al-Kamil. Ya’kub meninggal pada hari Jum’at 15 Muharram 630 H

Sedang pada buku-buku yang ditulis oleh penulis Belanda, yang isinya merupakan laporan dari bawah keatasan menjelaskan bahwa sekitar tahun 1900-an suku Gayo telah memeluk Islam, namun dilain pihak banyak juga melakukan penyimpangan-penyimpangan dari hukum Islam.

Kejurun Bukit adalah salah satu bagian dari pada raja-raja yang didapati di daerah Gayo yang mempunyai hubungan baik dengan kejurun lain, yaitu Kejurun Linge, Kejurun Nosar dan lain sebagainya. Menurut cerita, semua kejurun itu mempunyai hubungan keturunan dengan nenek moyang orang Gayo di zaman dahulu.

Dalam pada itu sebagai bahan di kemukakan sebuah kisah mengenai suku Gayo dan Kerajaan Linge yang ditulis oleh Dada Meuraxa dari catatan perjalanan pengembara Marco Polo, ketika ia singgah di Perlak Aceh Timur, sekembalinya dari Cina dalam perjalanan pulang ke Itali, pada tahun 1292. Dikatakan bahwa ketika Marco Polo singgah di Perlak tahun 1292, didapatinya penduduk perlak telah memeluk agama Islam. Penduduk yang tidak mau masuk Islam telah menyingkir ke pedalaman. Mereka yang menyingkir ke pedalaman ini, menjumpai kerajaan kecil di pedalaman. Rakyat asli pedalaman ini menyebut daerahnya dengan “Lainggow” dan menyebut rajanya dengan Ghayo

ghayo atau “Raja gunung yang suci”. Di daerah Linggow telah berdiri kerajaan kecil yaitu “Kerajaan Linggow”, dan sudah ada hubungan dengan kerajaan Perlak di Aceh Timur yang ditandai dengan kirim mengirim bingkisan.

Besar kemungkinan yang dimaksud dengan “Lainggow” dalam catatan Marco Polo adalah “Linge”, sehingga yang dimaksud dengan “Kerajaan Lainggow” adalah Kerajaan Linge, sedang yang dimaksud “Laut kecil” di pedalaman Perlak adalah “Danau Laut Tawar”, karena satu-satunya danau di pedalaman daerah Aceh adalah Danau Laut Tawar. Dari catatan Marco Polo itu diketahui bahwa di daerah pedalaman sudah didapatipenduduk asli, sebelum masuknya Islam dan orang-orang yang lari dari Kerajaan Perlak. Jika itu benar maka ini dapat dipegang kebenarannya, maka dalam perkembangan sejarah selanjutnya penduduk pedalaman ini disebut sebagai suku Gayo. Sedang pendapat lain beranggapan bahwa suku Gayo berasal dari Perlak, yakni orang-orang yang tidak mau masuk Islam melarikan diri ke pedalaman. Dan kata-kata Gayo sama artinya “sudah takut” sehingga mereka mencari tempat persembunyian di pedalaman.

Anggapan tersebut di atas mungkin bersumber dari Hikayat Raja-raja Pasai yang pernah dikutip oleh Snouck dalam bukunya menyebutkan “Ada satu kaum dalam negeri itu tidak mau masuk agama Islam maka ia lari ke hulu sungai Peusangan maka karena itulah dinamai negeri Gayo hingga sekarang.”

Memperhatikan sumber diatas bukanlah tidak mungkin bahwa agama Islam itumasuk ke Daerah Gayo melalui Perlak atau Pase. Bahkan kalau dilihat dari segi pemerintahan, bahwa sistem pemerintahan di daerah Gayo mempunyai pola yang sama dengan kerajaan Aceh, namun ada ciri-ciri tersendiri bagi pemerintahan di tanah Gayo.

Faktor-faktor yang mempercepat Islam berkembang di daerah Gayo antara lain:

Adanya para pedagang Islam yang membawa barang dagangannya, sambil mengajarkan ajaran Islam. Ada pula Muballigh yang sengaja datang ke Takengon untuk mengajak masyarakat memeluk Islam. Bahwa seorang panglima yang bernama Ya’kub datang ke Gayo untuk mengislamkan orang-orang Gayo.

Kalau seseorang telah dapat mengetahui ajaran Islam, tentu lambat laun akan berkembang sehingga meluas di kalangan masyarakat. Hanya saja meluasnya itu kemungkinan dapat melalui jalur pemerintah atau melalui rakyat jelata. Sebagian besar Islam berkembang melalui rakyat jelata. Hal ini dapat dilihat bahwa agama Hindu datang ke Indonesia untuk kepentingan istana, seperti teknik pembuatan candi yang merupakan aktifitas kraton, upacara istana dan lain sebagainya. Karena itu agama tersebut hanya berpengaruh pada kalangan atas itu saja sedangkan rakyat bawahan tidak begitu merasakannya Agama Islam yang datang kemudiannya menyusup kebagian bawah. Dengan kata lain Islam itu masuk melalui masyarakat awam. Dengan demikian Islam itu memasuki sesuatu yang belum terisi, oleh sebab itu ajaran tersebut mendapat kekuatan massal.

Ditambah pula kehidupan orang Gayo bergantung kepada pertanian. Dalam kehidupan agraris tersebut jiwa kolektifismenya sangat laus sekali. Yang demikian ini mendapat penyaluran yang sempurna dalam Islam dengan konsepsi hidup perdamaian dan suasana Muslim laksana satu tumbuh yang apabila satu sakit yang lain ikut merasakannya serta berusaha mengobati sakit tersebut. Hal ini menjadikan Islam mudah berkembang di kalangan mayarakat.

Perkembangan Islam di daerah Gayo mungkin pula dapat melalui Muballigh seperti yang telah disinggung di atas. Pekerjaannya khusus untuk mengajarkan agama. Turut sertanya Muballigh atau guru-guru agama dalam islamisasi akan lebih memperdalam pengertian-pengertian yang tercakup oleh orang Islam itu. Di samping itu guru-guru agama atau muballigh-muballigh dengan menyelenggarakan pesantren-pesantren yang akan membentuk kader-kader yang kelak menjadi ulama-ulama.

Dikalangan masyarakat Gayo ada beberapa orang yang pergi menuntut ilmu ke daerah lain, seperti pesantren-pesantren yang dikenal masyarakat Gayo yaitu peasntren Pulo Kitun atau pesantren Teupin Raya. Mereka belajar tentang agama Islam. Bila mereka telah menganggap memiliki bekal yang cukup tentang ajaran Islam, mereka kembali ke Gayo dan disana mereka membuka pendidikan Islam yang dimulai dari keluarga, lalu tetangga, kemudian berkembang pada masyarakat. Maka tidak mustahillah di daerah Aceh umumnya dan Takengon khususnya banyak didapati sekolah-sekolah agama (Madrasah). Bahkan lebih dari tu orang-orang yang sudah lanjut usianyapun dididik kembali untuk belajar tentang agama Islam.

Kaum wanita yang sudah berusia lanjut ditampung pada sebuah rumah yang disebut “Joyah” untuk diajarkan kembali ajaran-ajaran Islam, sehingga dengan jalan demikian mereka akan lebih mendekatkan diri kepada Allah S.W.T.

Joyah sebagai sebuah bangunan samping yang kecil dekat masjid yang antara lain dipakai untuk memberi pelajaran Agama Islam. Sebuah Joyah dapat di samakan dengan surau, adalah gedung kecil yang dipakai sebagai tempat sembahyang untuk kaum wanita. ya yang berperan sebagai pengembangan agama Islam terdapat di berbagai desa atau kampung. Namun yang sangat menjadi perhatian masyarakat adalah Joyah Toa dan Joyah Uken. Joyah Toa terletak pada bagian Timur kampung Bebesen, sedangkan Joyah Uken terletak pada bagian Barat kampung itu.

Masing-masing Joyah dikepalai oleh seorang Tengku wanita. Tetapi dalam sejarah Joyah pernah juga Tengku pria menjadi ketua, seperti Tengku Lah. Namun Tengku Lah itu tidak bertahan lama karena Hulubalang (kepala distrik) di Bebesen menganggap hal itu tidak pantas dan kemudian digantikan dengan Tengku wanita. Salah satu kriteria terpenting bagi Tengku adalah harus memiliki pengetahuan tentang hukum Islam dan Agama. Karena dalam bidang itulah Tengku harus melebihi pengetahuannya dari anggota lainnya.

Tengku tidak hanya bertindak sebagai pemimpin Joyah sehari-hari, tetapi juga memimpin dalam do’a dan menjadi juru bicara bagi penghuni Joyah. Jadi pemegang prestie yang tertinggi dalam Joyah adalah Tengku Guru. Dua kali seminggu Tengku Guru mengunjungi kedua Joyah secara bergilir untuk memberikan pelajaran Agama dan untuk memimpin dalam Shalat. Ia dianggap sebagai ahli besar dalam urusankeagaman dan apabila ada di kalangan anggota timbul pertentangan atau kesangsian dalam soal-soal agama, Tengku guru bertindak sebagai penasehat yang memberikan keterangan yang menentukan. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa pola-polam kebudayaan masyarakat Gayo.

Jalur pengembangan Islam yang lebih pesat lagi adalah melalui mesjid. Dalam kota Takengon didapati beberapa mesjid. Jarak antara Mesjid dan Mesjid lain kurang lebih 300m. Sebagaimana halnya di mesjid lain, Mesjid-mesjid di Takengon dipergunakan selain untuk tempat sembahyang Jum’at dan dijadikan benteng pertahanan, juga sebagai tempat pengadilan. Dalam Mesjid para ahli fiqh mempelajari dan membahas fiqh dan Hadist. Tiap kampung yang ada di daerah Gayo ditemukan satu atau dua mesjid. Apabila akan melaksanakan sembahyang Jum’at, sekitar jam 09.00 mereka telah turun dari rumah menuju mesjid. Mereka akan segera masuk Mesjid dan melaksanakan zikir sambil menunggu waktu Jum’atan, sebagian ada yang keluar dengan segera untuk melaksanakan keperluannya masing-masing. Dan sebagian lagi ada yang masih duduk-duduk dalam Mesjid sambil berbincang bertukar pikiran tentang kehidupan sehari-hari maupun yang berhubungan dengan agama. Dengan demikian Mesjid mempunyai peranan penting dalam pengembangan agama Islam.

Tulisan ini dikutip dari skripsi yang disusun oleh Mantik, dari Jurusan Sejarah dan Peradapan Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009. Skripsi berjudul PERANAN ULAMA TANAH GAYO ACEH TENGAH DALAM PENGEMBANGAN ISLAM dengan STUDI KASUS: TENGKU IBRAHIM MANTIQ dan hanya dikutip dari halaman 13 urutan C. Proses Kedatangan Islam di Tanah Gayo

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.