Menjemput Maqam di Tanah Surga*

oleh

[Cerpen]

Nabila Ulamy Alya’

“Dulu kita tinggal di Takengon  Aceh Tengah Yu!”, tutur Ibu dengan nada lembut.

“Jadi, kenapa kita kini berada di Jawa,bu?”, tanya Ayu. Ibu tersenyum kecil.

“Ceritanya panjang”, beberapa saat Ibu menghela nafas.

“Kau mau mendengarkannya?”, Ayu mengangguk cepat.

“Pada masa penjajahan, Kakek Ibu atau Kakek Buyutmu tinggal di Solo. Kemudian, pindah ke Takengon karena dibawa oleh pasukan Belanda dijadikan sebagai tenaga kerja untuk membuka kebun kopi dan pabrik pengolahan getah pinus merkusi. Kakekmu lahir di Takengon dan menikah dengan orang Gayo.  Ibu lahir di sana juga, dan ketika dewasa Ibu menikah dengan Ayahmu, Benta.

Ketika umurmu masih 5 bulan, Ibu membawamu ke Solo, karena menurut Ibu di Takengon sudah tidak aman lagi. Ibu juga ingin mencari keluarga Kakekmu di sini. Ayahmu hanya mengantar sampai pelabuhan Belawan, Medan. Sesampainya di kota Solo, Ibu tidak menemukan keluarga Kakekmu seorang pun. Kemudian Ibu mencoba untuk menghubungi Ayahmu. Tapi, entah kenapa, Ayahmu tidak bisa dihubungi lagi”, Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tampang sedih.

“Namanya juga nasib”, Ibu tersenyum simpul.

“Dik,  makan dulu!”, seru seseorang yang membuyarkan lamunan Ayu tentang cerita Ibunya tentang diri dan keluarganya. Ia sedang berada di sebuah mobil L300 yang mengantarkan para penumpangnya menuju ke Takengon. Kini, mobil tersebut tengah berhenti di Simpang Balik, Kabupaten Bener Meriah. Para penumpang diizinkan untuk mengisi perut dulu. Didekat sana, ada pemandian air panas. Ya, ibunya pernah bercerita tentang sumber air panas alami di tengah-tengah pegunungan Gayo yang bercuaca sangat dingin. Sumber air panas dan udara sejuk, sungguh pasangan yang amat serasi. Dapur pemanasnya terletak di kaki gunung Geureudong atau Burni Telong, salah satu gunung berapi paling aktif di Aceh.

Ayu adalah gadis kelahiran Kampung Bintang, di tepi Danau Laut Tawar pada tahun 1999. Dia lahir dari pasangan Benta dan Sutinah. Ayahnya adalah seorang nelayan. Ia adalah anak dari Sahali Aman Benta, kepala kampung Bintang tersebut. Ibunya, Sutinah adalah keturunan Jago (Jawa-Gayo).  Ketika terjadi konflik bersenjata di Aceh, Sutinah merasa tidak aman lagi tinggal di Aceh karena sering mendapat gangguan dan ancaman. Ia berangkat ke pulau Jawa mencari keluarga kakeknya. Setelah Benta mengantar Sutinah sampai ke pelabuhan Belawan, Medan, ia kembali ke Kampung Bintang.

Di Jawa Tengah, tepatnya di Solo, Sutinah tidak menemukan satupun keluarga kakeknya. Tidak ada yang mengenal nama kakeknya. Sutinah sangat sedih. Penderitaan makin terasa sejak saat keberangkatan dari Medan, tidak ada lagi komunikasi antara Sutinah dengan Benta. Daripada menjadi pengangguran dan mati sia-sia, Sutinah bekerja sebagai binatu (mencuci dan menyetrika kain) milik langganannya. Salah satu langganannya adalah seorang warga asal Bireuen, Aceh, yang telah lama menetap di Solo. Dari hasil uang yang diperolehnya, Sutinah dapat membesarkan Ayu di rumah kontrakan yang sederhana dan bisa menyekolahkan Ayu di sebuah sekolah dasar di pinggiran kota.

Ketika Ayu berusia 7 tahun dan masih di Sekolah Dasar kelas 2, Ibunya meninggal dunia. Ayu menjadi piatu. Ayu dijadikan anak angkat oleh keluarga asal Bireuen, pelanggan cucian Ibunya. Mereka membiayai sekolah Ayu. Pada tahun 2012, Ayu beranjak remaja dan kini telah menjadi seorang santriwati kelas 2 Tsanawiyah di sebuah pesantren di daerah Solo. Ramadhan tahun 2012 ini, Ayu mencari Ayahnya di Takengon bermodalkan nama Ayahnya dan kakeknya, seperti yang sering diceritakan ibunya. Semoga aku bertemu dengan Ayah!, harap Ayu.

Ayu kembali menaiki L300 yang ditumpanginya. Kini ia sudah mengenakan jaket tebal. Udara memang sudah terasa dingin sampai ke sumsum tulang. Tetapi Ayu benar-benar menikmati perjalanannya. Kembali teringat cerita Ibunya tentang keindahan alam Gayo. Disepanjang jalan di Bener Meriah, berbaris pasukan pohon tusam atau pinus merkusi dengan angkuhnya.  Batangnya lurus menjulang ke angkasa. Tampak jelas sekali daun pinus itu kecil-kecil seperti jarum. Jumlahnya banyak sekali, mungkin milyaran dalam satu pohon. Di bawah pohonnya, daun-daun yang gugur membuat tanah tertutupi dengan warna coklat muda. Orang Gayo menyebutnya uyem. Di Indonesia ia hanya tumbuh di pulau Sumatera sehingga pohon ini juga disebut  The Sumatran Pine. Selain di Aceh, pinus cuma ada di Tapanuli dan Kerinci. Tapi yang di Aceh ini paling luas di Indonesia. Luasnya mencapai  70.000 hektar.

Jejeran pohon kopi juga ikut mendampingi perjalanan Ayu. Tidak tampak batangnya karena tertutup rimbun daun. Dominasi hijau tua daunnya seperti hamparan permadani menutupi tanah. Bunga-bunganya tengah bermekaran indah, dan harumnya terbawa angin. Dari kejauhan, bunga-bunganya terangkai seperti barisan bukit yang diselimuti salju. Itulah bunga kopi. Warnanya putih bersih, sekilas tampak seperti kuntum asoka putih. Bunga-bunganya yang berguguran dibawa angin ke jalan raya, membacakan berita bahwa sebentar lagi akan datang musim panen kopi Gayo. Areal perkebunan kopi di daerah dataran tinggi Gayo, merupakan perkebunan kopi terluas di Indonesia, setelah Timor-Timor. Namun kini perkebunan kopi di Timor-Timor yang hanya 7.000 hektar itu sudah tidak ada lagi.

Jalan berkelok tak henti, naik turun mengikuti irama bumi. Ayu makin tak sabar untuk sampai ke Aceh Tengah. Kata Ibu, di sana ada sebuah danau yang mempesona, dan menjadi wisata andalan bagi siapapun yang menginjak dataran tinggi Gayo. Danau ini sangat luas. Saking luasnya, masyarakat menamakan danau ini Danau Laut Tawar. Jalan mulai menurun di Bukit Menjangan, pintu gerbang Takengon. Dari tempat duduknya, Ayu dengan jelas sudah melihat kota Takengon dan Danau Laut Tawar di bawah sana. Hatinya bergetar, jantungnya berdegup kencang. Perasaan akan bertemu dengan Ayah bercampur dengan rasa kagum pada alam Gayo.

Wah… benar-benar indah! Gunung-gunung yang kokoh menahan air danau dengan kaki-kakinya agar tidak tumpah. Kabut tipis yang menyelimuti puncak-puncak pegunungan menyatu dengan warna hijau deretan pinus membuat mata menjadi segar.

Di terminal Takengon, begitu turun dari L300 yang ditumpanginya,  Ayu bergegas menaiki angkutan kota untuk menuju kampung Bintang. Di sepanjang perjalanan, Ayu benar-benar menikmati pemandangan yang tampil di depan matanya. Jalan berliku persis di pinggir danau. Inilah danau yang sering disebut-sebut oleh Ibunya. Waktu umur Ayu lima tahun, ibunya pernah bercerita bahwa waktu para malaikat membangun surga, serpihan tanahnya jatuh di tengah-tengah Aceh dan menjadi pegunungan Gayo. Air yang memercik dari surga itu kemudian menjadi Danau Laut Tawar. Ayu tersenyum bangga mengenang cerita Ibunya.

Udara yang sejuk dan keindahan danau memang bersatu memanjakan mata. Pemandangan sekitar benar-benar menggoda. Perbukitan hijau yang ditumbuhi pohon pinus, awan bersih dan langit biru dipantulkan air danau yang tenang, membuat permukaan danau seperti kaca. Airnya benar-benar bening. Pemandangan seperti ini membuat Ayu lupa diri! Ia baru sadar ketika angkutan yang ia tumpangi berhenti, tanda sudah tiba. Dia bergegas mencari Ayahnya. Ayu memberanikan diri bertanya kepada orang yang kebetulan sedang menikmati kopi di warung kecil di sudut desa.

“Di sana rumahnya !”, laki-laki tersebut mengantarkan Ayu ke depan pagar sebuah rumah panggung yang berwarna coklat. Lelaki itu tidak menjawab satupun pertanyaan Ayu tentang Ayahnya. Ia diam saja. Aneh. Ia hanya mengantarkan Ayu sampai ke rumah neneknya, Inen Benta.

“Terima kasih !”, Ayu berterimakasih kepada lelaki paruh baya itu. Ayu benar-benar senang. Ayu membuka pintu pagar bambu, dan mengetuk pintu rumah sederhana itu. Tak lama, tampak seorang wanita tua berwajah lonjong dan mulai keriput. Matanya dilapisi kaca mata. Postur tubuhnya tidak terlalu bungkuk, membukakan pintu. Wanita tersebut menjawab salam dan agak kebingungan ketika melihat Ayu.

“Saya Ayu, Nek… anak Pak Benta”, ujar Ayu memperkenalkan diri. Nenek  kaget lalu matanya bercahaya,  tersenyum dan kemudian memeluk Ayu. Ayu merasakan kehangatan tubuh senja itu.

“Masuk…masuk”, ujar Nenek sambil mempersilahkan Ayu masuk ke dalam rumahnya.

`“Kamu pasti lapar, kan?, Nenek masakkan makan siang untukmu, ya!” Nenek bergegas pergi ke dapur. Ayu hanya tersenyum. Dia mengikuti Nenek ke dapur. Cuaca dingin memang membuat selera makan bertambah. Nenek memasak dengan kayu bakar. Inti batang pinus tua yang sudah tumbang dijadikan sebagai penyulut apinya, bukan minyak tanah. Jadi sangat ramah lingkungan dan sedikit hemat. Nenek memasak ikan Depik (Rosbora tawarensis). Ikan ini adalah ikan endemik yang hanya terdapat di Danau Laut Tawar, warnanya putih mengkilap. Tampaknya baru saja diambil dari danau mengagumkan itu.

Nenek terus dengan urusan ikan Depik-nya.  Sama seperti laki-laki penolong Ayu tadi, Nenek juga selalu mengalihkan pembicaraan kalau Ayu bertanya soal Ayahnya. Ayu semakin penasaran. Setelah nenek selesai memasak, mereka pun makan siang berdua. Obrolan dimulai dari Ayu yang menanyakan keberadaan Ayahnya.

“Nek, Ayah mana? Kok tidak ikut makan?”, tanya Ayu. Nenek terkejut mendengar Ayu bertanya seperti itu.

“Apakah kamu benar-benar belum tahu?”, tanya Nenek. Ayu kebingungan. “Apanya, Nek?”

“Ayahmu… sudah meninggal pada tahun 2000 Ayu, karena penyakit kanker yang menyerang tubuhnya”, jelas Nenek. Ayu terhenyak. Ia benar-benar sedih. Air matanya tak terbendung. Ternyata ia anak yatim piatu. Neneknya juga bercerita bahwa  Kakeknya (Sahali Aman Benta) sudah meninggal dunia tahun 1999 begitu Ayu berangkat ke Jawa, sehingga Neneknya tinggal seorang diri.

“Ibumu mana? Kenapa tidak ikut ke Takengon bersamamu?”, tanya Nenek. Ayu menunduk sedih.

“Ibu juga sudah meninggal, karena kecelakaan, pada saat umurku 7 tahun, Nek”, Ayu tambah sedih. Nenek memeluk Ayu.

“Sudah, jangan bersedih hati. Masih ada Nenek di sini”, Nenek menghibur Ayu sambil tersenyum. Ayu masih sesenggukan. Nenek mengusap pipinya.

“Anak cantik tak boleh menangis…”

Ayu melepaskan diri dari pelukan Nenek. Betul, Ayu tidak boleh menangis! Mengingat perutnya yang mulai berbunyi tak jelas, ia kembali melahap makan siangnya. Wah, Depik-nya enak.

“Depiknya enak, Nek!”, seru Ayu. Nenek tersenyum.

“Ikan Depik ini merupakan anugerah bagi masyarakat sekitar Danau Laut Tawar ini. Karena, ikan ini menjadi sumber protein yang utama. Depik yang siap untuk dinikmati, warna dan aromanya memang memancing selera makan. Dan apakah kamu tahu, Depik goreng paling enak dijadikan cemilan bersama secangkir kopi arabika Gayo?”, Nenek menjelaskan ikan Depik kepada Ayu panjang lebar.

“Iya Nek, aku pernah membaca artikel seperti itu di internet”, Nenek tersenyum lagi.  Ayu menghirup kopi buatan Neneknya. Mmm… nikmat…,  aroma wanginya khas. Inilah rupanya kopi Gayo yang tersohor ke mancanegara itu, pikir Ayu.

“Oh iya, Nenek sampai lupa. Ada pesan untukmu yang pernah ditinggalkan Ayahmu, sebelum ia meninggal dunia”, Nenek meninggalkan Ayu dan masuk ke dalam kamarnya. Ketika kembali, Nenek membawakan sepucuk surat yang tertulis nama Ayu di sana.

“Bacalah!”, perintah Nenek.

Ayu membuka amplop surat tersebut. Itu surat dari Ayahnya. Warna putih amlop itu sudah mulai pudar, bercampur dengan asap dapur rumah Nenek. Ya, surat itu sudah ada sejak tahun 2000. Sudah dua belas tahun lalu! Ternyata, Ayahnya yakin, suatu saat Ayu akan kembali ke Takengon. Oleh karena itu, Ayah telah mewasiatkan sebidang tanah kepada Ayu. Ayu benar-benar terharu. Ayu memutuskan untuk berziarah ke makam Ayahnya nanti sore.

Jarum jam menunjukkan pukul setengah empat sore. Ayu sudah mandi dengan air hangat rebusan Nenek. Sekaranglah saatnya, ia berziarah ke makam Ayahnya. Ia pamit kepada Nenek, dan segera pergi ke bukit kecil di pinggir danau. Setelah berdoa dan membersihkan pusara Ayahnya,  Ayu menaiki sebuah perahu papan.  Danau Laut Tawar benar-benar indah. Serombongan ikan kecil melintas dalam akuarium raksasa itu. Lebih indah dari cerita Ibunya. Ayu menikmati semilir angin yang bertiup melewati tubuhnya. Dua barisan gunung yang mengapit danau ini semakin memperlihatkan keindahan danau. Di salah satu sisinya masih ada orang yang bercocok tanam dan memancing. Gayo sudah berubah, tak seperti yang dikatakan oleh Ibunya. Tanah Gayo adalah tanah yang aman, nyaman, dan damai.

Setelah selesai berziarah ke makam Ayahnya, Ayu tidak langsung kembali ke rumah Nenek. Dia menghabiskan waktunya untuk menikmati keindahan Danau Laut Tawar. Ayu menunggu matahari tenggelam di bungalow yang ada di sekitar danau. Ibu pernah bilang, bahwa saat itulah, Danau Laut Tawar sangat enak dipandang.

“Ayu!”, sebuah tangan terulur di atas pundak Ayu. Ayu terkejut dan melihat Nenek datang menghampirinya. Nenek pun duduk di sampingnya.

“Oh, Nenek. Kok Nenek ke sini, sih?” tanya Ayu.

“Nenek khawatir sama kamu. Kamu kok enggak pulang-pulang ke rumah?”, tanya Nenek.

“Ayu pengen liat pemandangan danau ini pas matahari tenggelam Nek! Kata Ibu, pemandangannya sangat bagus! Benarkah begitu, Nek?”,    Nenek mengangguk sambil tersenyum lebar.

“Jadi kamu akan kembali lagi ke Jawa?”, tanya Nenek dengan nada sedih.             Ayu menatap Nenek sambil memeluk tubuh yang mulai renta itu.

“Enggak Nek! Ayu akan di sini temanin Nenek. Gayo benar-benar aman dan nyaman”, ujar Ayu mantap. Nenek memeluk Ayu dengan erat.

Matahari berangkat keperaduannya. Langit perlahan meredup, warnanya mulai berubah, dari biru menjadi kuning dan jingga. Angin pegunungan yang dingin bertiup sepoi-sepoi, seakan menutup kisah Ayu, si gadis yatim piatu yang akhirnya memilih tinggal bersama Neneknya di  pinggir Danau Laut Tawar.

Ternyata kedua orangtuanya meninggalkan harta tak ternilai harganya, yaitu serpihan tanah surga. [SY]

Aceh Besar, 31 Oktober 2012

Nabila Ulamy Alya* Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Cerpen Pariwisata dalam Rangka Aceh Visit 2013 yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh dengan judul semula “Serpihan Tanah Surga”, tetapi belum terpilih menjadi nominator pemenang.

Penulis adalah novelis remaja Aceh, siswa kelas 1 SMAN 10 Fajar  Harapan Banda Aceh, alumnus Dayah Modern Tgk. Chiek Oemar Diyan Indrapuri-Aceh Besar, tinggal di Banda Aceh.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.