[Denting] Ramadhan Effect

oleh

DentingCatatan : Syaiful Hadi JL

Rhoma Irama Effect dan Jokowi Effect menjadi bahan kajian pasca Pemilihan Legislatif lalu. Pertanyannya, kenapa, Jokowi Effect yang diharapkan mampu mendorong raihan suara PDI-P hingga 30 persen, ternyata gagal. Karena PDIP hanya mampu meraih suara 18,95 persen saja.

Bedanya dengan Rhoma Irama Effect. Kehadiran pedangdut hebat itu dipartai PKB, diyakini memberi effect raihan suara, sebesar 9,04  persen suara PKB. Walau banyak pimpinan PKB tak meyakini, Rhoma Irama memberi effect signifikan.

Tapi, apapun ceritanya, Jokowi kemudian menjadi kandidat calon presiden dari koalisi yang dipimpin PDIP bersama partai Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI. Sedangkan Rhoma Irama yang digadang-gadang menjadi capres dari PKB, akhirnya tidak menjadi apa-apa.

Pilpres sudah berlalu dengan segala suka, duka dan carut-marutnya.  Pilpres telah mengantar para caleg menjadi wakil rakyat diberbagai tingkatan.

Kini dimulai tahapan yang lain. Yakni, pemilihan presiden. Seperti sudah kita ketahui bersama, Capres No. 1 adalah pasangan Prabowo Subijanto dan Hatta Rajasa dan Capres/Cawapres No.2 adalah pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Pemilihan presiden dan wakil presiden kali ini terasa berbeda dengan pilpres tahun 2004 dan 2009 lalu. Karena kandidatnya cuma dua maka pertarungan menjadi haed to head sehingga terasa menjadi lebih panas. Kampanye negatif dan kampanye hitam pun bersileweran di berbagai media. Uniknya, tokoh-tokoh nasional terbelah demikian juga dengan media.

Peran serangan udara TV-ONE dan MetroTv, misalnya, terasa demikian gencar. Adakah akan muncul kemudian istilah media effect ? Selanjutnya, partai dan tokoh juga terbelah. Tokoh NU ada yang ke Koalisi Prabowo ada yangke koalisi Jokowi. Demikian juga dengan  tokoh Muhammadiyah.

Memang kedua ormas Islam terbesar itu, sesuai khittahnya bersikap netral. Menyerahkan kepada warganya untuk memilih secara cerdas. Definisi memilih secara cerdas inilah yang kemudian ditafsirkan beragam.

Muhammadiyah melalui Sidang Tanwirnya di Samarinda, akhir Mei lalu, menegaskan sikap netralnya dan kemudian mengeluarkan “Maklumat Kebangsaan“. Inilah maklumat yang kemudian dijadikan panduan bagi warga Muhammadiyah untuk memilih presiden dan wakilnya.

Uniknya, beberapa partai politik ikut terguncang. Golkar berantakan dan terbelah dua. Hanura, ditinggalkan “HT” yang kemudian masuk ke koalisi Prabowo.

Yang lebih kasihan adalah 12 peserta konvensi Demokrat yang tak jelas,  akhirnya menjadikan tokoh-tokoh manis itu “galau” untuk memilih Prabowo atau Jokowi. Dan kemudian, Anies dan Dahlan Iskan, merapat ke Jokowi, sedangkan Marzuki Alie dan Ali Maskur Musa merapat ke Prabowo. Sementara Demokrat  masih gengsi mau ke Prabowo atau Jokowi atau tetap netral.

Pilpres kali ini juga diramaikan dengan konflik purnawirawan TNI. Konflik telah menjadikan Purnawirawan TNI tidak solid. Cerita kesetiaan korps,  akhirnya cuma cerita disebabkan kekuasaan.

Masalah seputar Jokowi Effect,  kali ini akan kembali diuji. Benarkah Jokowi mampu memberi suara signifikan kepada koalisi yang dipimpin PDIP itu ? Dalam satu kegiatan kuliah di Universitas Melbourne, bulan lalu, digelar kuliah yang bertajuk  “The Indonesian Election; What Really Happened”, apa yang disebut sebagai “Jokowi effect”, dibahas dengan rinci oleh Dr Dirk Tomsa, pengajar pada Universitas La Trobe.

Dalam uraiannya, Tomsa menjelaskan mengapa “Jokowi effect” dianggap tidak berhasil memberikan dampak raihan suara yang diharapkan sebelumnya oleh PDI-P.Menurut Tomsa, beberapa faktor dilihatnya sebagai penentu berkurangnya target raihan suara tersebut.”Salah satunya adalah pengumuman pencalonan yang begitu dekat menjelang pemilihan, sistem pemilihan, perilaku pemilih, dan juga faktor media massa di Indonesia,” kata Tomsa.

Walau hasil penghitungan suara sementara lebih rendah dari perkiraan PDI-P dan berbagai pihak lainnya, pembicara dalam kuliah umum di Melbourne ini masih sepakat bahwa Jokowi masih merupakan favorit besar untuk memenangkan pemilihan presiden pada Juli mendatang.

Keyakinan banyak pengamat tetang popularitas Jokowi mampu memenangkan pilpres 2014 tentu saja masih harus kita uji pada 9 Juli  mendatang. Perang bintang telah ditandai dengan pendeklarasian tim sukses dibanyak lokasi. Dua poros memiliki bintang-bintang cemerlang yang diperkirakan mampu memberi daya tarik.

Tapi harap diingat, pelaksanaan pilpres yang berlangsung 9 Juli, atau dua minggu Ramadhan, pastilah akan memberi effect tersendiri. Bulan ibadah itu, bagi mayoritas muslim pastilah tak ingin dicederai. Mereka akan memilih dengan hati yang lebih dingin tanpa peduli dengan semua kampanya hitam yang bersileweran. Kuncinya adalah, kandidat mana yang mampu memenangkan hati ummat Islam di bulan Ramadhan yang penuh barokah itu ? Untuk itu, tim sukses seharusnya menyiapkan stategi bagaimana memenangkan hati ummat Islam dan bukan dengan sebaliknya, menciderai apalagi menyakiti hari mereka. Ya, Ramadhan effect, siapa yang mampu memenangkannya.

(Tulisan ini sudah dimuat di rubrik Denting  Tabloid LintasGAYO edisi 10 tanggal 7 Juni 2014)

*Redaktur Senior media LintasGayo.co dan Tabloid LintasGAYO.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.