Politik bukan “Dharurat”

oleh

Muhammad-Nasril_okOleh: Muhammad Nasril, LC. MA*

Pemilihan umum legislatif 2014 yang dilaksanakan pada 09 April lalu, menyisakan berbagai  macam persoalan dalam masyarakat dan sebentar lagi masyarakat akan kembali menghadapi Pemilihan Presiden yang akan dilaksananakan pada 09 Juli 2014.

Adapun berkaitan dengan penilaian terhadap Pemilu 2014, masyarakat memberikan komentar berbeda, ada yang mengatakan Pemilu 2014 sukses, tidak sukses dan ada juga sukses tapi dengan memberikan beberapa catatan yang layak untuk di evaluasi.

Terlepas dari sukses atau tidaknya pemilu 2014, realitas menunjukkan bahwa ada beberapa masalah baru dalam masyarakat yang lahir setelah pemilu, seperti konflik internal partai, konflik lintas partai, tersebarnya permusuhan, dendam, kebencian, saling menghina, fitnah dan menyebarkan aib orang lain yang dilakukan selama proses pemilu berlangsung, sehingga hasilnya dirasakan pasca pemilu. Banyak partai, caleg, timses maupun simpatisan yang menempuh jalan pintas, bahkan jelas-jelas “ilegal” secara undang-undang pemilu itu sendiri, itu semua dilakukan untuk sebuah kursi “Dewan” yang terhormat.

Politik, sejatinya merupakan suatu wasilah untuk mewujudkan kemashlahatan, yang dikenal dalam bahasa Arab dengan siyāsah, yaitu mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara membawa kepada kemaslahatan. Seperti pendapat Ibnu al-Qayyim siyāsah sebagai tindakan yang dengan tindakan itu manusia dapat lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan meskipun tindakan itu tidak ada ketetapannya dari Rasul dan tidak ada tuntunan wahyu yang diturunkan.

Setelah melihat makna politik, bahwa tujuan dari politik yaitu terciptanya kemaslahatan, seperti di ungkapkan oleh imam al-Mawardi yaitu  untuk menjaga kemurnian agama dan melahirkan kemashlahatan duniawi. Suatu yang ironis ketika kontes politik malah melahirkan hal yang sebaliknya, dimana sebelum, disaat dan bahkan pasca pemilu malah menuai berbagai persoalan yang bertentangan dengan tujuan dasar politik itu sendiri.

Tujuan politik yang sangat mulia, sering disalahgunakan oleh politikus maupun simpatisan dalam meraih tujuan politik masing masing kelompok. Padahal Islam telah melarang membunuh, menghina, caci maki, menghujat, adu domba, curang, fitnah, zhalim dan menyebar aib orang lain. Ironisnya dalam proses pemilu yang lalu hampir semua larangan ini didapati.

Dalam Islam tidak ada pembenaran untuk melakukan fitnah, menyebarkan aib orang lain, menciptakan permusuhan, pembunuhan dan memutuskan silaturrahim walaupun untuk alasan politik sekalipun. Perbedaan bukanlah ajang untuk menciptakan permusuhan, apalagi perbedaan hanya pada warna parpol saja, bahkan dalam persoalan ibadah saja masih banyak terjadi perbedaan, dan perbedaan itu menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan manusia.

Para timses/simpatisan partai atau caleg tertentu condong melakukan kampanye kotor seperti fitnah, menyebarkan aib orang, adu domba, intimidasi sebagai salah satu strategi dalam menjatuhkan lawan politik, walaupun sebenarnya ini bukanlah strategi jitu dalam perpolitikan yang sehat dan jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Berpolitik merupakan sebuah pekerjaan yang mulia karena bertujuan untuk membangun kemashlahatan dan kesejahteraan rakyat, namun menjadi hina ketika jalan yang di tempuh tidak sejalan dengan syariat. Perpolitikan di Negara kita sering dimanfaatkan oleh pelakon politik kotor, hanya demi sebuah jabatan sebagian kita kerap menggunakan cara-cara yang dilarang dalam agama, sehingga menyebarkan aib lawan politik dan fitnah sesama di anggap sesuatu yang lazim, sungguh sangat ironis tujuan yang mashlahat yaitu membangun ummat malah diraih dengan cara yang melahirkan kerusakan.

Dalam kehidupan sehari-hari kadang kita berhadapan dengan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan tidak dapat di hindari  atau sesuatu yang memaksa, sehingga kesulitan untuk menghindari hal-hal yang dilarang. Ketika dalam keadaan dharurat seperti itu seorang muslim boleh berpegang pada kaedah addharuratu tubihu al mah dhurat (keadaan darurat dapat menghalalkan hal-hal yang dilarang).  Melalui kaidah ini, yang dirumuskan dalam Alquran dan sunnah bahwa dalam keadaan darurat seseorang dapat mengerjakan hal-hal yang  dilarang. Namun bukan berarti kaidah ini dapat dipakai seenaknya tanpa memperhatikan batasan-batasan kemudharatan itu sendiri.

Tidak mudah menentukan suatu keadaan disebut darurat atau tidak, keadaan darurat dalam ajaran Islam senantiasa merujuk pada kondisi kehidupan manusia, yang mejadi ukurannya adalah keselamatan jiwa manusia. Oleh karena itu, limit waktunya juga sangat singkat, yakni sebatas adanya jaminan kelestarian hidup dan keselamatan jiwa dalam suasana keadaan darurat tersebut. Jika jaminan hidup dan kepastian atas keselamatan jiwa itu diperoleh, maka hilanglah apa yang disebut keadaan darurat. Namun secara umum, ukuran Dharurat bukan semata-mata keselamatan jiwa manusia, melainkan juga untuk menyelamatkan lima komponen kehidupan (Daruriyat al-khams) yaitu agama, akal, harta, jiwa dan keturunan ( nasab).

Melihat kaidah fiqh diatas, apakah suasana perpolitikan di negara Indonesia dan juga di Aceh termasuk dalam keadaan dharurat (untuk meraih kursi dewan dan kalau tidak diraih akan mati) sehingga membolehkan melakukan larangan-larangan dalam agama? tentu jawabannya Tidak, politik bukanlah suatu keadaan yang dharurat sehingga membolehkan pembunuhan, menyebarkan aib orang lain, fitnah dan adu domba. Akhir-akhir ini, media sosial salah satu sarana paling besar bagi pelaku kejahatan seperti fitnah, menyebar aib, menghujat dan menghina lawan politik.

Perilaku seperti ini sangat merugikan masyarakat, sehingga melahirkan dendam, permusuhan dan menghilangkan persatuan umat yang sangat bertentangan dengan tujuan dasar politik sendiri, yaitu untuk mewujudkan kemashlahatan, di sisi lain sebagai ummat beragama kita mengetahui bahwa agama telah melarang hal tersebut.

Hal ini seperti kurang atau bahkan tidak diperhatikan sama sekali dalam kehidupan perpolitikan di Negara kita akhir-akhir ini, sehingga tidak menjadi beban bagi para pelaku kejahatan dalam mendukung dan menyukseskan partai/caleg masing-masing, sehingga lupa batasan-batasan syariat. Seharusnya para pihak yang berkecimpung dalam dunia politik haruslah memperhatikan hal-hal yang telah di gariskan agama, sehingga politik termasuk didalamnya pemilu benar-benar menjadi sarana untuk mewujudkan kemashlahatan dan keadilan yang akan membawa kesejahteraan bagi ummat, bukan malah sebaliknya politik dijadikan sebagai ajang perebutan kekuasaan semata yang pada akhirnya malah menimbulkan kerusakan. Kalau berpolitik hanya untuk meraih kekuasaan, baik timses, simpatisan maupun para caleg, penyelenggara dan  pengawas, tidak ada satupun dalil yang menghalalkan larangan-larangan tersebut karena alasan politik.

Untuk itu Politik bukanlah satu hal yang dharurat yang menghalalkan larangan (yang diharamkan dalam syariat), masih banyak alternatif lain untuk mengabdi dan mencari pekerjaan. Apapun tujuan mulia para caleg baik untuk mengabdi kepada bangsa maupun untuk mncari rezeki, tempuhlah dengan cara yang benar, tidak saling menghina, menghujat, menyebarkan aib dan tidak memutuskan persaudaraan.

Kedepan, perlu evaluasi yang menyeluruh terhadap perpolitikan di Negara kita, evaluasi terhadap system, penyelengara pemilu, pengawas, peserta maupun wawasan masyarakat melalui sosialisasi politik sehat. Intinya Sebuah tujuan yang baik semestinya juga diperjuangkan dengan cara yang baik. Sehingga ke depan tidak ada lagi adu domba, fitnah, pembunuhan, intimidasi, menghujat dan penyebaran aib orang lain, semoga sisa luka yang lahir dari pemilu yang barus saja berlalu segera pulih, kembali merajut persaudaraan untuk kemashalahatn rakyat dan kemajuan bangsa!

*Penghulu pada KUA Nisam Aceh Utara dan juga pengurus Dayah Insan Qur ani

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.