Lagi, Galau Menyambut Ramadhan 1435 H

oleh

Muhammad-Nasril_okOleh: Muhammad Nasril, Lc. MA *

Sekarang kita berada pada pertengah Sya’ban, artinya sebentar lagi kita akan menyambut tamu agung yaitu bulan Ramdhan. Menjelang datangnya bulan Ramadhan, sudah sering terjadi terjadi perdebatan di kalangan mahasiswa, ormas dan masyakarat umum terhadap permasalahan perbedaan dalam  penetapan awal Ramadhan. Seperti pada Ramadhan tahun 2013 atau 1434 H lalu, terjadi perbedaan awal Ramadhan antara ormas dengan pemerintah, ormas mengumumkan awal Ramadhan pada tanggal 09 Juli 2013, sedangkan pemerintah memutuskan awal Ramadhan 10 juli 2013, keputusan ini diambil melalui sidang itsbat yang dipimpin oleh Kementerian Agama.

Untuk tahun ini, Kemungkinan besar akan terjadi perbedaan seperti biasanya dalam penentuan awal Ramadhan 1435 H, seperti yang diberitakan sebuah media cetak di Aceh ”Organisasi kemasyarakatan islam Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) akan berbeda lagi dalam mengawali Ramadhan 1435 Hijriah. Muhammadiyah sudah menetapkan pada 28 Juni 2014, sedangkan NU memperkirakan pada 29 juni 2014.  (Serambi Indonesia, Senin 2 Juni 2014)

Perbedaan metode dalam penetapan awal Ramadhan, sehingga melahirkan perbedaan hasil penetapan awal Ramadhan. Ormas Muhammadiyah menggunakan sistem metode Hisab dengan kriteria Wujud hilal, yang sering disebut juga dengan konsep “ijtimak qablal ghurub, sedangkan organisasi NU menggunakan metode Rukyah al-Hilal,  adapun  pemerintah dengan menggunakan metode penggabungan Hisab dan rukyat dengan kriteria Imkanu al-Rukyah “Penanggalan Hijriyah Standard Empat Negara Asean, yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) merumuskan kriteria yang disebut “Imkanur Rukyah” dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah” (Alfirdaus putra Sekretaris  Bitlitbang Badan Hisab dan Rukyat Aceh). Metode ini untuk menjembatani perbedaan yang sering terjadi di Indonesia. Namun langkah yang ditempuh oleh pemerintah ini belum memberikan solusi yang tepat untuk  menjawab dan menghilangkan perbedaan penetapan awal ramadhan dalam masyarakat, sehingga meninggalkan kebingungan “galau” bagi masyarakat.

Perbedaan dalam penetapan awal Ramadhan ini tidak hanya terjadi karena beda metode dalam penentuan, tapi lebih identik kepada gengsi dan ego sektoral. Menjadi unik lagi seolah- olah para ormas ini memiliki otoritas dalam menetapkan awal Ramadhan sehingga terjadi perbedaan awal Ramadhan di negara ini. Menjadi fenomena menarik di Indonesia, menjelang bulan puasa, hampir terjadi setiap tahunnya kontroversi penentuan awal bulan Ramāḍhan dan Syawal. Kontroversi ini terjadi di beberapa organisasi keagamaan dan lembaga pemerintahan yang ada di Indonesia yang dapat melahirkan kebingungan kepada masyarakat. Sebuah realita yang patut disayangkan, bagaimana mungkin dalam sebuah negara mempunyai begitu banyak otoritas dalam memberikan rekomendasi masuknya awal bulan Ramādhan maupun Syawwal, sebagai tanda umat Islam memulai kewajiban berpuasa dan berhari raya.

Perbedaan pendapat dalam fiqh memang sesuatu yang lumrah dan wajar terjadi, masing-masing berpegang pada dalil dan mazhab yang diyakini, termasuk perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan. Namun dalam masalah ini sejatinya perbedaan dihilangkan, karena  menyangkut kepentingan orang banyak (umum), untuk itu keputusan pemerintah semestinya ditaati dan dijadikan sebagai solusi untuk menjembatani perbedaan yang membuat kegalauan dalam masyarakat. Hal ini juga sesuai dengan kaidah fiqh: “Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan Perbedaan pendapat”. Adanya sikap Ormas yang meragukan terhadap sidang isbāt yang dilakukan oleh pemerintah bahkan berani menfatwakan berlawanan dari keputusan pemerintah, menunjukkan ada permasalahan dalam penetapan keputusan tersebut. Sehingga melahirkan kelonggaran terhadap ketaatan kepada pemerintah dalam penentuan awal Ramadhan.

 Namun sayangnya, dalam konteks ini tidak ada keharusan bagi masyarakat untuk mengikuti ketetapan pemerintah, karena tidak ada undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut. Mereka boleh berpedoman kepada metode selain yang digunakan pemerintah. Sehingga, terjadi berbagai macam pendapat mengenai masuknya awal bulan. Beragamnya pendapat tersebut, tentu akan melahirkan kegalauan bagi masyarakat, sehingga terjadi perdebatan dimana-mana dan secara otomatis akan berpengaruh kepada ibadah puasa itu sendiri.

Indahnya Puasa bersama
Berbeda dalam penetapan ini tidak ada larangan, terserah kepada individu tersebut yang mana mau diikuti, akan tetapi sebaiknya pemerintah dan ormas duduk bermusyawarah lagi untuk melahirkan satu kesepakatan, sehingga betul-betul mendapat solusi yang arif dan bijak dalam persoalan penetapan awal Ramadhan dan Syawwal. Harus ada yang mengalah dan tidak perlu gengsi dan ego, demi kebersamaan dan persatuan, perbedaan mazhab itu hal yang sangat lumrah tapi persoalan fiqh ijtima’i seperti ini akan mengakibatkan sedikit kepincangan dalam masyarakat. Menjadi tidak indah ketika tetangga yang sedang puasa, ada tetangga yang disampingnya makan-makan.

Pemerintah juga perlu melihat kembali terhadap kriteria yang diajalankan selama ini, melibat semua ormas untuk mencapai titik yang sama dan juga perlu evaluasi kenapa masih ada perbedaan dalam hal ini, apakah pemerintah dalam hal penetapan ini terlalu berpihak kepada sebuah ormas? Sehingga membuat cemburu ormas yang lain, atau hanya persoalan perbedaan keyakinan yang tidak mungkin dipaksakan. Karena menurut Abdul Karim dalam tafsirnya, tidak semua urusan diserahkan kepada pemerintah, seperti masalah ibadah, aqidah itu lebih kepada dalil dan keyakinan masing masing individu.

Galau, Ikut yang mana ?
Sejatinya penetapan Ramadhan kali ini tidaklah beda, masih ada kesempatan untuk mencari solusi. Kalaupun nantinya terjadi perbedaan diharapkan kepada masyarakat untuk tidak menjadikan perbedaan ini sumber perpecahan, belajar bijak dalam menghadapi perbedaan ini. Biarkan mereka yang ikut keputusan ormasnya dengan dalil-dalil yang mereka yakini, dan biarkan orang mengikuti keputusan pemerintah karena keyakinan dan dalil-dalil yang ada. Tidak saling menghujat apa lagi sampai bermusuhan. Mengurangi hasutan-hasutan terhadap kelompok yang berbeda dalam hal ini, karena ini persoalan ijtihadi. Banyak persoalan, urusan yang kita ikuti keputusan pemerintah, seperti Haji, Zakat dan peraturan-peraturan lainnya. Sangat sayang kalau dalam ini masih terjadi perbedaan, seharusnya pemerintah menghilangkan unsur politis dalam penetapan Ramadhan ini dan ormas tidak lagi membangun negara dalam negara. Karena ini menyangkut masalah orang banyak dan sosial kemasyarakatan.

 Marhaban Ya Ramadhan, Ramadhan Karim…..

*Penghulu pada KUA Nisam  Aceh Utara dan pengurus Dayah Insan Qur ani

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.