Catatan Joe Samalanga: Debat tanpa soal pemekaran daerah

oleh

joe_anakJUDUL Demokrasi yang diusung dalam perdebatan pasangan Calon presiden dan wakil Presiden republik Indonesia, Prabowo-Hatta dan Jokowi-Kalla, sangat diluar substansial kebutuhan daerah, karena yang diusung lebihpada “sistem” sebuah pemerintahan. Tidak ada yang baru menyangkut kesejahteraan rakyat Indonesia yang mendiami negeri dengan beribu-ribu pulau.

Rangkuman dari keseluruhan debat tersebut lebih terkait politik, hukum, dan HAM. membongkar konsep kandidat yang sebenarnya diluar kebiasaan sebuah negara yang mengunakan pendekatan kultur, yakni identitas sebuah bangsa ditangan pemimpin yang paling mengenal Indonesia, santun dan berbudaya. Intinya, porsi debat lebih pada pendekatan “film Spy”, yakni seolah-olah Indonesia negara keras yang menyimpan investasi kesalahan, dekadensi moral, hukum, politik, dan korupsi.

Secara pribadi saya ingin mendengarkan konsep tegas soal Indonesia sebagai negara kaya yang terdiri dari keberagaman etnis dan budaya. Beribu-ribu pulau bukan sebutan semata,  tetapi tanda Indonesia punya beribu-ribu “watak” yang dipimpin oleh seorang presiden, dan presiden dibantu pimpinan daerah gubernur, bupati/walikota yang menyebar pula.

Keberagaman dan perbedaan cara pandang masalah menjadi penting bagi republik ini, dan seharusnya bahan debat kandidat diarahkan kepada  setiap peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan betul-betul menyentuh substansial masyarakat dari berbagai etnis, bukan sekedar melihat ala “teropong” Jakarta, Pulau Jawa, dan kota-kota besar di Indonesia.

Aceh dalam kontek ini termasuk daerah yang harus dilihat berbeda dengan daerah lain di Indonesia, begitupun sebaliknya. Karena Demokrasi yang di sampaikan pasangan Prabowo-Hatta dan pasangan Jokowi-Kala, adalah penguatan sistem peleburan “politik kekuatan” menjadi “politik hemat”, dan ini adalah bahasa lama, sejak Indonesia mengenal politik. Padahal Aceh, negeri yang tidak besar, punya konflik sendiri dalam menjalankan demokrasi lantaran aturan yang berlapis.

Ini artinya, soal pemisahan wilayah di Aceh bukan masalah yang mudah karena ada cara pandang yang berbeda. Sebagian pihak melihat pembentukan provinsi ALA-ABAS sebagai sebuah kesalahan besar karena dapat memperlebar persoalan bagi Aceh bagian pesisir yang pernah mengalami tekanan konflik senjata parah, sementara di pihak ALA-ABAS melihat lahirnya provinsi baru di Aceh penting karena dapat meningkatkan kesejahteraan Rakyat.

Bila kita melihat pemekaran di Sumatera Utara yang sudah disahkan Undang-Undang menjadi tiga provinsi, bahkan terakhir para politisi di Senayan mengusulkan menjadi 5 provinsi, tidak ada bantahan atau konflik pemahaman, bahkan masyarakat melihat pemekaran sebagai strategi untuk menarik anggaran pusat secara besar, dan mereka yakin anggaran besar dari pusat dapat menaikan taraf hidup dan ekonomi masyarakat di Sumatera Utara. Politiknya hanya itu.

Lantas mengapa di Aceh begitu sulit? Ini semua harusnya terjawab dalam debat tersebut, bagaimana memakmurkan rakyat yang menyebar di ribuan pulau ini, agar masyarakat dapat satu niat. Bila hanya mempersoalkan sebatas birokrasi dan demokrasi, saya pikir “politik” selalu memiliki kata indah yang antara kampanye dengan pelaksanaannya berbeda, itulah cara yang belum sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang secara berfikir akademis belum merata, sehingga “bahasa” ringan, ceplas-ceplos, dan  pencitraan menjadi penting sebagai cara menarik “simpati” rakyat. Begitulah menurut Saya.

Joe Samalanga adalah Redaktur Pelaksana Media Online LintasGayo.co dan Tabloid Dwimingguan Lintas Gayo

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.