Sejarah Reje Poteh Melawan Belanda di Tahun 1907

oleh

(Interprestasi dari laporan kolonial 1908)

Oleh : Zulfikar Ahmad*

Potensi sumber daya alam tanoh Gayo menarik minat VOC untuk melakukan investasi. Berbagai upaya untuk melancarkan bisnisnya dilakukan, mulai dari mendatangkan pasukan militer, pembangunan unit pengolahan terpentin hingga pembangunan sarana-prasarana. Salah satu sarana terpenting adalah pembangunan jalan untuk memudahkan pengangutan hasil bumi tanoh Gayo.

Jalan Bireuen-Takengon mulai dibangun pada tahun 1903 [1]. Untuk membangun jalan ini Belanda memaksa penduduk untuk memecahkan karang dan meratakan tanah dengan menggunakan alat-alat sederhana yang tersedia pada saat itu. Puluhan nyawa urang Gayo gugur dalam pembangunan jalan ini, sementara ratusan lainnya dipaksa bekerja ‘mengaruk’ sumber daya alam Gayo untuk kepentingan VOC.

embangunan Jalan Takengon – Bireuen (1903 – 1913), Batu cadas keras dipahat se-inci demi se-inci untuk memuluskan jalan ; Lokasi Cot Panglima (sumber Rijks museum)
embangunan Jalan Takengon – Bireuen (1903 – 1913), Batu cadas keras dipahat se-inci demi se-inci untuk memuluskan jalan ; Lokasi Cot Panglima (sumber Rijks museum)

Kerja paksa tanpa upah yang memadai tentu saja sangat melukai perasaan urang Gayo, berbagai perlawanan dilakukan oleh para pemimpin, salah satu adalah Rödjöh Poetéh (reje poteh) bersama pasukannya melakukan perlawanan dengan menyerang markas-markas Belanda dan menghalang-halangi upaya ‘perampokan’ SDA oleh Belanda. Kerugian Belanda akibat perlawanan Reje Poteh membuat petinggi militer di Takengon geram. Operasi penaklukan reje Poteh pun dimulai.

Rencana penangkapan disusun, pasukan bergerak dari bivak Takengon menuju Pegasing.

Markas Militer Belanda (Bivak Takengon) ; Lokasi Jl. Malem Dewa, bawah Buntul Kubu Takengon.
Markas Militer Belanda (Bivak Takengon) ; Lokasi Jl. Malem Dewa, bawah Buntul Kubu Takengon. (sumber Rijks museum)

Pengepungan tempat persembunyian reje Putih di Pegasing dilakukan dengan cermat, Meliter Belanda menyusun strategi untuk mencegah lolosnya reje Poteh bersama pasukannya, dari kejauhan aktivitas reje Poteh bersama pasukannya sudah diketahui oleh pasukan Belanda. Saat pengerebekan dilakukan tiba-tiba Reje Poteh bersama pengikutnya lenyap dari pandangan mata, berkali – kali pengerebekan dilakukan namun selalu markas reje Poteh tiba-tiba tak berpenghuni, sampai akhirnya pada bulan Februari 1907 pertempuran tak dapat dielakan, salah seorang prajurit Reje Poteh gugur dengan gagah berani [2]. Dengan perasaan pilu akibat gugurnya salah seorang prajurit, Reje Poteh bersama para panglima dan pengikutnya berpindah – pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya sambil sesekali menyerang pasukan Belanda.

Peristiwa pada bulan Februari 1907 di Pegasing itu menjadi pelajaran penting bagi Reje Poteh, sejak kejadian tersebut Reje Poteh membagi pasukannya dalam beberapa kelompok yang dipimpin oleh para panglimanya seperti Pang Kadam, Pang La’ot dan Pang Ali. Pasukan-pasukan kecil ini berpencar dibeberapa pos untuk melakukan penyerangan-penyerangan kecil, sesekali pasukan-pasukan kecil ini mendatangi bivak Belanda yang dijadikan markas militer untuk membebaskan urang Gayo dari penjara Belanda.

Belanda semakin geram oleh aksi pasukan-pasukan Reje Poteh. Upaya penangkapan selalu dilakukan sampai suatu ketika di bulan Mei 1907, terjadi pertempuran di kawasan Serempah, 7 orang pengikut Reje Poteh gugur. Melihat kondisi yang tidak menguntungkan ini, Reje Poteh memerintahkan anggota pasukannya agar pergi bergabung dengan para panglima yang lain, sementara Reje Poteh membiarkan dirinya di tangkap Belanda.

Belanda yang sudah menderita kerugian cukup besar akibat perlawanan Reje Poteh, tidak dapat membiarkan sisa pasukan Reje Poteh lolos begitu saja. pengejaran sisa anggota pasukan Reje Poteh dilakukan sampai ke Beruksah, 4 orang anggota pasukan Reje Poteh kembali gugur ditembus timah panas dari senapan Belanda [2].

Dalam kamp tahanan di bivak Belanda, Reje Poteh dengan mudah dapat meloloskan diri apabila beliau menghendaki. Beberapa kali hal ini dilakukan oleh Reje Poteh, namun akibatnya masyarakat Reje Poteh yang menanggung akibatnya. Tentu saja Reje Poteh tidak ingin melukai rakyatnya yang sudah menderita yang hidup dalam kemiskinan dan ketakutan. Militer Belanda kewalahan untuk menjaga Reje Poteh dalam penjara. Ahirnya, Militer Belanda menyewa orang khusus yang didatangkan dari pantai Barat Aceh untuk menjaga Reje Poteh. Sejak Agustus 1907, Reje Poteh dijaga oleh orang khusus  yang mampu melihat Reje Poteh sementara para serdadu Belanda lain tidak dapat melihatnya.

Para panglima Reje Poteh yang membangun pos-pos perlawanan dibeberapa kawasan kembali merapat ke Pegasing untuk menyusun strategi mengempur bivak Belanda. Pada bulan November 1907, Belanda ‘dikejutkan’ oleh ulah Pang Kadam dan Pang Ali yang muncul beserta 3 orang pasukannya menghadang Belanda di sebelah Timur Pegasing. Dalam penghadangan ini Pang Kadam dan Pang Ali berhasil ‘merebut’ kembali 3 gerobak pengangkut hasil bumi dan bahan makanan dari kawasan Pegasing [2].

Desember 1907, Pang La’ot gugur namun Reje Poteh tetap tidak mau menyatakan takluk pada Belanda.

Belanda menduga inilah Pang La'ot dan Pang Ali  Sumber foto : http://www.geheugenvannederland.nl /? /nl/items/VKM01:A17-21/&p=1&i=6&t=7&st=pang&sc=%28pang%29/&wst=pang
Belanda menduga inilah Pang La’ot dan Pang Ali
Sumber foto : http://www.geheugenvannederland.nl /? /nl/items/VKM01:A17-21/&p=1&i=6&t=7&st=pang&sc=%28pang%29/&wst=pang

 

Sumber :
1. Van de Kasteele, “A Tour of Gayo Land”, The Singapore Free Press, ed. 12 October 1934, page 8
2. Kolonial Verslag 1908 – I Nederlandsch (oost-)Indie, Hal 30

*Zulfikar Ahmad, Pemerhati sejarah Gayo

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.