SUMANG; Pola Pendidikan yang Hilang

oleh

DaRMAWANOleh: Darmawansyah, S.Pd.I*

Sumang”, sepotong kata yang tidak diketahui makna dan asal katanya, kata yang sepadan pun belum diketahui, apakah ada atau tidak! Sumang adalah kata dari suku bangsa Gayo yang telah lama menjadi ocehan masyarakatnya. H. Mahmud Ibrahim dan AR Hakim dalam bukunya Syari’at dan Adat Istiadat Gayo menyebutkan bahwa sumang adalah perbuatan atau tingkah laku yang melanggar nilai dan norma agama serta adat istiadat Gayo, dalam persepsi lain Syukri dalam Sarakopat: Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah menyebutkan bahwa sumang  itu adalah perbuatan atau tindakan yang menyimpang dari konvensi-konvensi tata krama yang berlaku, selain bertentangan dengan agama, adat, juga dari segi moralitas atau perbuatan itu dianggap tidak terpuji.

Dengan demikian sumang adalah sistem nilai adat Gayo yang masuk dalam sistem pendidikan sosial kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari. Sistem pendidikan ini telah lama berjalan dalam kehidupan bermasyarakat, pun demikian pola pendidikan ini tidak diperoleh melalui materi yang disampaikan dalam ruangan kelas atau pada forum-forum ilmiah, tetapi pola pendidikan ini merupakan pola pendidikan masyarakat dengan bentuk kontrol individu dan kelompok untuk membimbing masyarakat dalam menjalankan kehidupan yang beradab.

Syayid Naquib Al-Atas selalu menyampaikan bahwa pendidikan itu tidak lain dan tidak bukan adalah membentuk manusia yang beradab, beliau juga menyebutkan bahwa Rasulullah SAW juga diutus untuk umat ini dengan tujuan memperbaiki Akhlak (adab), sehingga adab menjadi tujuan tertinggi dalam pendidikan seutuhnya. Tingginya pengetahuan seseorang namun nilai adabnya rendah maka masih tergolong pada orang-orang jahil, rendah pun pendidikan seseorang namun akhlaknya baik maka baiklah orang tersebut.

Masyarakat Gayo dengan sumangnya bertujuan mendidik generasi bangsa ini menjadi manusia yang berakhlak mulia. Empat cabang sumang menjadi kontrol prilaku masyarakat dalam berinteraksi sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan sosial. Sumang Pelangkahen, Sumang Penengonen, Sumang Perceraken dan Sumang Kenunulen.

Empat Sumang tersebutlah menjadi kontrol individu dan masyarakat dalam membentuk manusia beradab, semenjak manusia bangun dari tidurnya hingga tidur kembali. Awalnya prilaku sumang ini menjadi kontrol prilaku dalam keluarga, bagaimana anak berprilaku kepada Orang tuanya, yang besar kepada yang kecil, yang kecil kepada yang besar, kemudian antara keluarga dan keluarga yang lainnya.

Perbuatan sumang adalah perbuatan tercela tidak hanya di mata masyarakat tetapi juga di mata Agama. Oleh karena itu sumang merupakan salah satu jalan amar ma’ruf nahi munkar untuk menjaga lingkungan sosial kemasyarakatan menjadi masyarakat yang beradab dan bernilai islami. Itulah mengapa adat gayo sering di disebut tidak terlepas dari nilai-nilai luhur agama, pepatah Gayo menyebut “Agama urum edet lagu zet urum sifet”.

Dari perkembangan zaman yang semakin maju dewasa ini apakah pola pendidikan Sumang yang berlaku dimasyarakat Gayo saat ini berjalan dengan baik? Ataukah hanya sebatas ocehan masyarakat dengan makna kosong! Sebuah pertanyaan yang perlu kita cermati dan hayati bersama!

Perkembangan teknologi terus semakin maju mengikuti porosnya dengan berbagai wahana dan cerminan hasil pengetahuan manusia dari perkembangan ilmu duniawi yang membahana merambah lekuk-lekuk bumi di setiap penjuru dunia, tidak terbatas kota atau desa. Produk teknologi inilah ditenggarai membawa dan menyebarkan budaya-budaya asing masuk ke ranah kehidupan masyarakat Gayo sehingga kehidupan yang bernuansa syari’at menjadi kehidupan bernuansa ‘modern’ dengan meninggalkan nilai-nilai syari’at.

Pergaulan remaja tidak lagi terkontrol dengan baik oleh orangtua mereka dan bahkan sebagian orang tua melepaskan dan membebaskan kehidupan anaknya sesuai dengan kehendak si anak. “anakmu anakku, anakku anakmu” kalimat kepemilikan akan nilai kontrol prilaku terhadap generasi muda masa lalu kini hanya kalimat usang dan bahkan dirubah menjadi “anakku anakku, anakmu anakmu, urus uwer kendediri” menjadi kalimat ‘super’ dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, sehingga prilaku generasi muda terlepas dari aturan norma yang berlaku di masyarakat Gayo, dan bahkan sumang pun menjadi kalimat usang yang tidak perlu lagi di jalankan.

Sumang penengonen yang diterjemahkan dengan pandangan yang tidak baik terhadap antar sesama terutama kepada orang yang lebih tua menjadi perbuatan biasa  dikalangan masyarakat, mujoreng antar anak kepada orang tuanya, anak muda kepada orang tua menjadi prilaku biasa. Hanya kerana tidak terima atas nasehat atau arahan yang diberikan kepada yang bersalah, maka prilaku demikianlah yang ditunjukkan oleh orang yang dinasehati kepada yang memberi nasehat. Tidak ada lagi kata bersalah atau merasa bersalah dan semua merasa ia yang terbaik, tidak terima disalahkan atas perbuatan yang dilakukan.

Pergi berduaan, duduk berduaan di depan umum atau ditempat sunyi dalam islam disebut dengan khalwat merupakan perbuatan tidak terpuji apalagi dilakukan dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Sumang pelangkahen tidak lagi menjadi momok memalukan pada generasi bangsa ini bahkan perbuatan tersebut adalah perbuatan biasa dan bahkan ‘didukung’ oleh kalangan yang lebih tua, ta’aruf menjadi alasan untuk melakukan perbuatan demikian yang jelas-jelas merupakan perbuatan memalukan di mata Agama dan adat istiadat Gayo. Tidak ada nilai-nilai budaya asing (pergaulan bebas)  yang dapat diterima oleh nilai-nilai Agama yang dianut masyarakat Gayo, namun perilaku ini menjadi perbuatan biasa dan telah terbiasa dilakukan, tidak hanya oleh orang ‘dewasa’ namun anak-anak pun ikut melakukan perbuatan tersebut.

Dalam perhelatan kehidupan sehari-hari, berkumpul bersama dengan masyarakat merupakan jiwa kemanusiaan yang wajar dan merupakan insting kemanusiaan yang terpatri jauh semenjak manusia diciptakan. Namun duduk-duduk di tempat umum atau di rumah dengan posisi yang tidak menyenangkan orang lain merupakan perbuatan tercela, seperti misalnya duduk di tempat yang biasa orang tua tempati, duduk dengan melipatkan kaki di hadapan orang tua (berlagak sombong) atau seolah menunjukkan kedudukan derajat sosial di depan orang lain yang lebih tua darinya, apalagi sampai mengangkat sebelah kaki (duduk seperti jongkok). Sumang Kenunulen bukan lagi perbuatan yang perlu di perhatikan saat bersama orang lain apalagi kepada yang lebih tua, namun itu hanya ocehan yang tidak lagi diperhatikan dewasa ini.

Perbuatan tercela lainnya adalah pembicaraan dalam berkomunikasi antar sesama manusia, namun pembicaraan juga harus memiliki aturan sehingga kalimat yang diucapkan tidak merupakan kalimat yang tidak bermanfaat dan bahkan ‘berbau’ kemaksiatan. Dalam Islam berbicara yang baik dan bermanfaat merupakan sesuatu yang harus dilakukan dalam berkomunikasi antar sesama manusia. Nabi Muhammad SAW bersabda “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka berbicaralah yang baik atau diam saja”, inilah dasar sehingga masyarakat Gayo menetapkan Sumang Perceraken menjadi salah satu nilai adat yang harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Berbicara yang baik merupakan perbuatan yang terpuji begitu juga sebaliknya berbicara yang kotor merupakan perbuatan tercela. Kalimat yang keluar dari rongga tenggorokan inilah menjadi salah satu penanda baik buruknya prilaku seseorang.

Dewasa ini alat komunikasi dalam bentuk kata dan kalimat sering keluar dari jalur tata krama yang baik, kalimat ‘kotor’ dan bermakna maksiat telah menjadi bahasa yang ‘indah’ di dengar sehari-hari tidak hanya di lingkungan masyarakat namun sering juga terdengar di lingkungan keluarga. Cacian, makian, dan ajakan untuk melakukan perbuatan buruk sering terdengar sehingga kalimat dan budaya komunikasi demikian inilah seolah menjadi budaya yang melekat di kalangan masyarakat Gayo dewasa ini.

Perbuatan dan tingkah laku yang hari ini menjadi ‘karakter’ generasi bangsa  merupakan sebuah kekhawatiran yang perlu di pikirkan bersama, siapakah yang bertanggung jawab terhadap kondisi demikian? Semua kita memiliki peran dan tanggung jawab dalam melindungi generasi bangsa ini menjadi lebih baik, keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan lingkungan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan budaya ‘asing’ yang kini menjadi ‘karakter’ generasi bangsa ini.

Keluarga merupakan lini kehidupan dan pendidikan awal yang memiliki peran penting dalam mengembangkan kondisi sosial yang baik kemudian, karena manusia lahir dalam keluarga, di besarkan di keluarga dan dari keluarga inilah setiap manusia akan masuk dalam lingkungan sosial di kemudian hari. Kontrol keluarga menjadi wahana untuk membina generasi muda menjadi generasi yang berakhlak mulia.

Para tokoh pendidikan menyebutkan bahwa the golden age (masa keemasan) seorang anak adalah bersama keluarganya saat keluarganya mampu membina anak dengan baik pada masa awal kehidupannya maka akan menjadi anak yang berkualitas di kemudian hari nantinya, sedangkan pendidikan formal dan lingkungan merupakan apa yang dihasilkan oleh keluarga tersebut. Wallahu ‘a’lam bishshawab.

*Penulis adalah Guru pada MTs Negeri Jagong Kab. Aceh Tengah 

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.