Pak Indra, Penjaga Akidah Muslim Tengger

oleh
Mushalla Babussalam (Foto : Win Wan Nur)

Mushalla Babussalam (Foto : Win Wan Nur)
Mushalla Babussalam
(Foto : Win Wan Nur)

Catatan : Win Wan Nur

Tlogosari adalah sebuah desa di pegunungan Tengger yang terletak di ketinggian sekitar 1500 meter di atas permukaan laut. Kira-kira sama seperti ketinggian kampung Kute Panang dan Tapak Moge di Gayo. Suhu udara di tempat ini juga kurang lebih sama dengan suhu udara di Kute Panang atau Tapak Moge. Tapi penduduk di sini tidak mengusahakan kebun Kopi seperti warga di kedua kampung di Gayo ini.

Warga Tlogosari sebagaimana warga di desa-desa pegunungan Tengger lainnya, hampir seluruhnya adalah petani sayuran. Tlogosari, desa yang di huni oleh suku Tengger ini secara administratif masuk kedalam wilayah kecamatan Tosari, Pasuruan, Jawa Timur.Dulunya sama seperti desa-desa Tengger lainnya, seluruh penduduk Tlogisari adalah penganut agama Buddha Tengger (Belakangan kategori agama yang mereka anut ini diubah oleh Pemerintah menjadi Hindu). Tapi tidak seperti Wonokitri, Cetak dan Ngadisari, desa-desa Tengger yang sampai hari ini seluruh penduduknya masih beragama Hindu.

Di Tlogosari, yang letaknya sangat dekat dengan ibukota kecamatan Tosari, karena lebih sering bersentuhan dengan pendatang dari luar desa dan menerima berbagai pengaruh yang di bawa pendatang termasuk keyakinan. Sekarang agama penduduknya sudah tidak lagi seragam.

Dari 120 KK warga yang tinggal di Tlogosari. Saat ini 50 KK diantaranya adalah pemeluk Islam, 48 KK beragama Hindu dan sisanya adalah penganut Kristen Protestan.Kisah masuknya Islam ke Tlogosari, sangat mirip dengan kisah masuknya Islam ke Nusantara. Berbeda dengan agama kristen yang dibawa ke desa ini oleh para misionaris. Islam masuk ke desa ini bukan karena adanya satu gerakan dakwah yang terorganisir, tapi karena diperkenalkan oleh para pedagang dari pesisir, yang oleh warga Tengger disebut sebagai ‘orang bawah’.

Persentuhan yang intens dengan ‘orang bawah’ ini membuat beberapa orang asli Tengger di Tlogosari tertarik pada ajaran Islam dan kemudian menjadi penganutnya. Ketika Kota Tosari makin berkembang dan beberapa pedagang ‘orang bawah’ mulai menetap di Tlogosari, sebagian dari mereka menikah dengan warga setempat dan menarik pasangannya untuk menganut Islam.

Kondisi desa dan masyarakat yang seperti ini membuat penganut Islam di Tlogosari memiliki karakter yang khas. Karena meskipun berbeda agama, mereka umumnya masih memiliki hubungan keluarga. Sehingga dalam relasi sosial dan pergaulan sehari-hari, sama sekali tidak ada jarak psikologis yang memisahkan para warga yang menganut tiga agama yang berbeda ini. Bukan hanya bergaul, bahkan berpacaran antar penganut agama yang berbeda juga merupakan hal yang wajar di desa ini. Akibatnya, perpindahan agama pun menjadi lazim. Sangat umum terjadi di sini, seorang penganut Hindu berpindah agama menjadi Islam atau kristen karena pernikahan dan juga sebaliknya, juga kerap terjadi penganut Islam berpindah menjadi Kristen atau Hindu ketika menikah.

Pak Indra adalah salah seorang suku Tengger yang keluarganya merupakan penganut Islam generasi awal. Ayah Pak Indra yang orang Tengger asli, menikah dengan ibu Pak Indra yang asli Madura, yang mencari nafkah sebagai pedagang di Tosari.

Selaku orang Madura tentu saja Ibu beliau adalah seorang penganut Islam yang taat. Dari ibunya ini, Pak Indra sejak kecil menerima pendidikan agama dengan cara yang berbeda dibandingkan anak-anak muslim Tengger lainnya. Sebagaimana khasnya anak keluarga Muslim Madura, Pak Indra sejak kecil telah dibekali dengan akidah yang kuat. Pulang sekolah harus mengaji, Shalat juga tidak boleh tinggal.

Pak Indra
Pak Indra

Seperti anak-anak Tengger lain seusianya, Pak Indra bersekolah di SD Baithany yang dikelola oleh sebuah yayasan Kristen. Yang pada saat itu adalah satu-satunya sekolah yang ada di desa ini. Dan sebagaimana teman-temannya yang lain, selama enam tahun bersekolah di SD ini.

Pak Indra terus dicekoki dengan doktrin-doktrin kepercayaan Kristen. Sehingga dia menjadi sangat paham tentang ajaran Kristen. Gurunya adalah seorang mantan penganut Islam yang berpindah agama menjadi Kristen. Belakangan, ketika sudah tua sang guru kembali menganut Islam.

Tapi karena sudah dibekali akidah yang kuat, meskipun mendapat doktrin yang massif seperti itu, sampai dewasa Pak Indra tidak pernah mengubah keyakinannya.

Hanya saja, melihat situasi seperti ini terjadi di desanya Pak Indra merasa prihatin juga. Sebab muslim Tlogosari yang lain, rata-rata tidak mendapat bekal akidah sebaik yang didapatkan Pak Indra dari ibunya.

Situasi ini diperparah dengan kenyataan bahwa di Tlogosari, sama sekali tidak ada rumah ibadah untuk umat Islam. Sebab tidak seperti Hindu yang memang sudah mengakar atau penganut Kristen yang disokong dana yang kuat dari luar, sehingga dengan mudah dapat mendirikan tempat ibadah. Umat Islam di Tlogosari tidak memiliki sumber dana yang memadai, yang memungkinkan mereka untuk mendirikan tempat ibadah.

Atas dasar keprihatinan inilah, pada tahun 2003 dengan modal tekad dan uang 500 ribu rupiah. Pak Indra memberanikan diri untuk mendirikan sebuah Mushalla kecil di desa ini. Tentu saja uang yang dimiliki Pak Indra jauh dari kata memadai. Tapi Pak Indra tidak menyerah, beliau menghubungi seorang Haji yang terbilang cukup kaya di Tosari, yang langsung menyambut ide ini dengan tangan terbuka. Beliau mewakafkan sebidang tanah miliknya di Tlogosari dan memberikan sejumlah uang.

Dengan uang ala kadarnya itu, Pak Indra mendirikan Mushalla kecil impiannya. Demi menghemat pengeluaran, Pak Indra tidak membayar tukang, pembangunan Mushalla ini dilakukan secara gotong royong antar warga. Bukan kebetulan Pak Indra adalah ketua Pemuda desa Tlogosari, sehingga ketika beliau mengajak bergotong royong. Bukan hanya umat islam, warga penganut Hindu dan Kristen juga ikut bahu membantu membangun mushalla ini.

Ketika mushalla sudah kelihatan bentuknya, sumbangan mulai mengalir dari mana-mana. Sehingga dalam waktu kurang dari satu tahun, Mushalla yang diberi nama Babussalam ini pun berdiri dengan sempurna. Dengan biaya total sebesar Rp. 38 juta.

Hanya sampai sekarang satu hal yang menjadi ganjalan bagi Pak Indra. Aktivitas shalat berjamaah 5 waktu belum menggembirakan di mushalla ini. Umat Islam di Tlogosari belum menjadikan shalat 5 waktu berjamaah sebagai kebiasaan. Dan ini memang sangat terasa. Contohnya sore itu, ketika menjelang Maghrib saya mendatangi mushalla, pagar mushalla masih tutup begitu juga pintu ruangannya.

Tenger2
Desa Tlogosari menjelang maghrib
(Foto : Win Wan Nur)

Ketika saya sudah agak lama di dalam, barulah ada orang yang datang, dan orang itu adalah Pak Indra yang kemudian langsung azan, iqamah dan memaksa saya menjadi imam. Dan kamipun shalat hanya berdua saja. Baru di tengah-tengah shalat datang dua orang jama’ah tambahan, dua anak SD yang usianya saya perkirakan antara 7 sampai 8 tahun.

Menurut pak Indra, memang begitulah keadaan sehari-hari mushalla ini. Tapi meskipun aktivitas shalat berjamaah 5 waktu belum begitu menggembirakan.

Kata Pak Indra, dengan adanya Mushalla ini, beliau sudah mulai bisa mengaktifkan beberapa kegiatan keislaman. Mulai merangkul pemuda-pemuda Islam di desa ini untuk memakmurkan Mushalla. Setidaknya setiap bulan Ramadhan selalu ada pengajian di sini. Dan kepada para pemuda ini Pak Indra selalu mengajarkan perlunya menguatkan akidah. Mengingatkan, kalau berpacaran sebaiknya sesama muslim saja. Kalaupun berpacaran dengan penganut agama lain, usahakanlah pasangannya yang mengikuti keyakinan kita, jangan sebaliknya.

Dan Alhamdulillah, menurut Pak Indra, sejak adanya Mushalla ini sudah tidak ada lagi muslim Tlogosari yang berpindah agama.

*Urang Gayo diperantauan

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.