Gayo Matahari Kopi

oleh

[Puisi Lirik]

 Salman Yoga S

 

Gayo Matahari Kopi

Inilah negeri yang melahirkan matahari dari perut bumi
Segala penjuru tak mengenal mata angin
Semua bergantung pada yang tak tergantung
Kecuali Allah kuasa segala

Dari puncak bur Telong hingga hulu sungai danau Lut Tawar yang bening
Semua bermandi cahaya
Cahaya cinta, cita dan kehidupan

Dari hulu danau Lut Tawar matahari mengalir
Matahari terbit
Dari jutaan pucuk-pucuk pinus yang mengitari Gayo matahari terbit
Bulan terbit
Bintang terbit

Ooo lingkaran Didong yang syahdu
Ooo lingkaran Didong yang berhasrat
Jiwa yang penuh dinamit
Lahirkan matahari

Matahari akan muncul dari perut bumi
Matahari akan mengalir dari hulu danau Lut Tawar dan Pesangen
Matahari akan bertunas dari pucuk-pucuk pinus
Matahari itu bernama air yang menggerakan besi, terpentyn dan kopi

Ooo Gayo, kesahajaan gunung yang suci
Keabadian cinta-Nya yang membumi

Oooo matahariku
Airku, terpentynku
Kopi
Kopi
Kopi

Ooo Gayo matahariku yang lugu
Lama ditunggu kuasa anak negeri

                                                            Takengon, Jan 2013

*Penggalan puisi ini dibacakan dalam pentas Didong Massal 2000 seniman, tiga belas Ceh, dua penyair dan seorang anak Gayo berusia 4,8 tahun bernama Batang Gelingang Raya SY, seorang pesuling (Zikri Win Gayo), dua penari Guel (Dian dan Uswanul) serta tujuh pemusik tradisional. Mencatat Rekor MURI pemetasan Didong terbanyak, sekaligus memecah Rekor MURI minum kopi terbanyak di Lapangan Sengeda Bener Meriah pada tanggal 13 Januari 2013.

 

Berguru Kepada Waktu
: 63 Tahun Abah Arsyad Indradi

Berguru kepada waktu, segala hidup memanjakan rindu
Partitur kehidupan yang tak pernah selesai terbaca
Tinggi rendah dan perulangan seperti sejarah
Bernyala khusuk menyusui masa

Berguru kepada waktu disana segala anak tangga berjejer pasti
Menerima dan memberi dengan atau tanpa diminta
Ia  segala yang dipuja dan ditakuti
Puncak kesadaran sebelum mati
Ladang segala kebaikan dan keburukan tertanam dan tersembuyi
Kitab suci yang dibaca oleh segala agama dan peradaban

Berguru kepada waktu
Siklus bundaran yang tak pernah kita tau
Berguru kepada waktu
Yang memberi dan merangkum perjalanan sebagai yang tak pernah kembali

Takengon Aceh Tengah, 2013

 Salman Yoga** Kedua judul Puisi di atas telah dimuat di harian Umum Analisa Medan edisi 1 Juni 2014.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.