Kemel, Kini Telah Hilang

oleh

jamhuriOleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA

Kemel, mukemel dan mukemalun. Itulah kata yang berhubungan dengan mertabat dan identitas diri bangsa Gayo, lebih jauh dari situ kata ini berlanjut dengan ungkapan “daripada kemel nguken mate”. Inilah falsafah hidup yang dipegang kuat oleh orang Gayo sejak awal, kata mukemel sampai sekarang masih menjadi falsafah yang selalu disebut-sebut dan diajarkan kepada genearis di Gayo tetapi dalam prakteknya kata ini tidak lagi memberi makna sebagaimana masa dahulu.

Kita bisa melihat banyaknya orang (peminta-minta) datang kekantor-kantor, kerumah-rumah dan ketempat-tempat usaha bahkan dipersimpangan jalan. Pada awalnya kita masih bisa katakan kepada orang lain bahwa para peminta-minta tersebut bukanlah orang/bangsa Gayo tetapi mereka adalah orang-orang yang datang dari daerah lain.

Mereka yang selama ini meminta-minta yang datang kekantor-kantor, rumah-rumah, tempat usaha dan persimpangan jalan tampak tertib dan terorganisir belum ada upaya yang dilakukan utnuk mengenali siapa sebenarnya mereka itu, apakah benar seperti yang disebutkan oleh kebanyakan orang bahwa mereka adalah orang-orang yang datang dari luar daerah atau sebenarnya mereka adalah generasi Gayo yang sudah menggantungkan nasip mereka di garis tangan orang lain.

Kekhawatiran terhadap pergeseran jati diri generasi gayo dari mukemel menjadi gere mukemel mempunyai alasan yang sangat logis, dantaranya contohnya adalah : pernah seorang anak peminta-minta datang kesebuah kantor di Banda Aceh Aceh, ketika ditanya asalnya dari mana dia menjawab kalau dia berasal dari Takengon (Gayo) namun ketika di tanya di Takengon di mana beliau tidak menyebutnya. Contoh ini masih kita ragukan kebenarannya karena kita percaya bahwa prilaku seperti itu bukanlah mental kita sebagai orang Gayo karena ada falsafah kita “daripada kemel nguken mate”.

Satu kejadian yang membuat saya terkejut dan malu (kemel gere terperin) ketika satu waktu dua orang pemuda Gayo  di Gayo mendatangi saya dan meminta uang untuk alasan atau keperluan membongkar panggung/teratak, dengan jengkel dan malu saya menjawab saya tidak punya uang untuk keperluan itu. Di waktu bersamaan ada orang lain dengan keperluan yang lain pula meminta uang kepada orang lain yang bukan orang Gayo dan kebetulan orang tersebut adalah kawan saya, lalu secara sepontan terucap dari saya untuk tidak memberinya.

* Pemerhati adat istiadat dan budaya Gayo, tinggal di Banda Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.