Pi’i, Lelaki Tua di Teluk Singkil

oleh

[Esai] 

Irama Br Sinaga

Pi'i Lelaki Tua (Custom)TELUK adalah sebuah kampung yang didiami ratusan kepala keluarga, Kampung Teluk jauh dari perkotaan, butuh tiga jam naik Robin (perahu boat) dan dua jam lewat darat baru sampai ke kota. Kehidupan masyarakat seperti desa-desa lain, mereka bertani, mengambil ikan dan usaha kayu. Kampung Teluk dikelilingi sungai yang lebar dan dalam. Selain jauh dari kota listrik pun tidak ada. Mereka hidup dengan adat dan persaudaraan yang kental. kampungnya juga memiliki aparatur dan aturan-aturan.

Pada zaman dahulu Kampung Teluk ini sangat ramai dan damai. Namun Teluk akan mengalami banjir ketika hujan turun hingga tiga hari berturut-turut. Pada tahun 1995 penduduk Teluk berpindah ke dataran yang lebih tinggi dan mereka mencari kehidupan baru. Sedikit demi sedikit penduduknya pun tinggal beberapa lagi sehingga pada tahun 2004 saat tsunami di Aceh mereka semua pindah ke gunung karena tanah Teluk retak dan sungai semakin lebar.

19 tahun telah ditinggalkan Kampung Teluk Samardua Kabupaten Aceh Singkil, ternyata masih ada penduduk yang bertahan. Lelaki tua yang dulu sering disapa Pi’i lebih memilih tinggal di Teluk dari pada pindah ke gunung. Lelaki tua ini tinggal sebatang kara, dia hidup di tengah-tengah hutan belantara. Tak sedikitpun rasa takut dan ngeri dengan keadaan. Jauh dari perkotaan dan hidup sendirian bersama seekor anjing putih bersih dan berbulu tebal. Anjing ini yang menjadi sahabat dan membuat dia bertahan. Istrinya telah meninggal dunia dan memiliki dua orang anak. Sementara anak-anaknya lebih memilih hidup di gunung dari pada dengan ayahnya. Meski demikian sekali-kali anak-anaknya menjenguk dengan membawa makanan.

Lelaki tua itu tidak punya skil dan pekerjaan lain selain menangkap ikan, sehingga dia lebih memilih hidup di Teluk dari pada di gunung. Rumahya kecil dan tidak memiliki atap yang kuat, jika petani maka itu dinamakan gubuk tempat persinggahan ketika lelah. Lelaki tua itu hidup dan bertahan dengan keadaan rumahnya yang sangat memperhatinkan. Saya dan keluarga saat itu berziarah ke kuburan nenek sempat bersilaturahim dan melihat kondisi sang kakek. Saya sangat kaget dan terkejut, ternyata dia bisa hidup di hutan belantara ini.

Lelaki tua ini memiliki perahu kecil tanpa mesin, ketika punya ikan, ia pergi ke kota untuk menjualnya. Pekerjaan inilah yang membuat ia tetap bertahan dan saat kami mampir kerumahnya, kami melihat di pekarangannya ada beberapa pohon sawit. Saat itu ayah menyapa;

Kune Kabakh mu senina (Bagaimana kabar mu saudaraku)?”, kakek ini adalah teman Ayah dulu saat kami tinggal di Teluk.

Sehat mang en, dike nai ke (sehat juga ne, darimana kalian)?”

Kami jakhah dai, lot mang ikan (Kami ziarah tadi, ada juga ikan)?”

Oh, mula sekel ke ikan, tulusi ke wak jakhing ade, makden ku amet waren (Oh, kalau kalian mau ikan, cari dijaring itu, hari ini belum aku ambil)”.

Kakek itu menyuruh kami mengambil ikan yang masih terjerat di jaring, karena cuaca tidak mendukung maka kami pamitan pulang, dan tak lupa kami mengabadikan pertemuan di gubuknya. [SY]

Irama Br SinagaIrama Br Sinaga, lahir di  Samardua Singkil pada Tanggal 11 Juli 1991. Alumnus salahsatu Perguruan Tinggi Islam terrnama di Banda Aceh. Mottonya  La takhof, Innaka Antal a’la (Jangan takut, sesungguhnya engkau yang paling unggul)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.