Fenomena “Cerai Gugat”

oleh

(“Legalitas”: Pengajuan Gugat Cerai Isteri Yang Terzhalimi)

Oleh: Hasan Basri, S.Ag*

Hasan Basri, Kepala KUA Celala (Muna | LintasGayo.co)
Hasan Basri, Kepala KUA Celala (Muna | LintasGayo.co)

ISLAM tidak membenarkan seorang isteri untuk meminta kepada suaminya untuk dicerai (khulu’) kalau tanpa alasan yang dibenarkan menurut syari’at. Rasulullah SAW bersabda: “Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga” (HR. Abu Dawud, At-Turmudzi) Cerai adalah tindakan yang menjadi legalitas putusnya ikatan hubungan antara suami dengan isteri yang dibangun melalui perkawinan.

Perkawinan adalah “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”. Perkawinan adalah tabi’at dan kecenderungan manusia, serta secuil dari tradisi dan bagian dari budaya manusia, yang telah diwariskan secara turun temurun serta telah dilaksanakan sepanjang sejarah peradaban dan perjalanan manusia itu sendiri. Adam dan Hawa tentu dianggap dan disetujui sebagai manusia pertama yang melaksanakan perkawinan.

Tujuan perkawinan atau pernikahan sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah membentuk rumah tangga yang bahagia. “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. Islam memandang bahwa perkawinan itu merupakan sebagian dari perbuatan ibadah, dan termasuk dalam kategori sunnah Rasulullah SAW. “Nikah itu adalah sunnahku, barang siapa yang tidak mengikuti sunnahku, maka bukan termasuk golonganku” (Al Hadits). Jelaslah bahwa dalam Islam tidak terdapat legalisasi atau “pembenaran” untuk tidak melaksanakan nikah.

Komitmen, visi serta harapan suami dan isteri untuk mewujudkan, menghadirkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang berawal dari sebuah pernikahan, ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan. Banyak persoalan, tantangan, kehidupan yang menjadi “penghambat” harapan tersebut, bahkan ironisnya sebagian dari peroblematika dan persoalan tersebut tidak ditemukan solusinya, sehingga mengantarkan biduk rumah tangga yang telah dibangun dengan susah payah tersebut ke meja hijau dan terkadang berakhir dengan perceraian.

Secara sosiologis, psikologis suami dan isteri serta keluarga akan mengalami “ketidak nyamanan” dalam interaksi sosialnya akibat dari terjadinya perceraian, terlebih lagi bagi perempuan yang berlatar belakang sosial kurang “menguntungkan” atau “marginal”.  Perceraian merupakan moment atau peristiwa yang menyakitkan bagi semua pihak yang terlibat, anak-anak yang lahir dari pernikahan menjadi orang yang “terpaksa”  merasakan “kepedihan” dan “kesedihan” serta penderitaan psikologis akibat dari perceraian orangtua mereka. Walapun terdapat beberapa argument atas legalitas melakukan perceraian namun agama memandangnya sebagai suatu tindakan yang “seharusnya” dihindari oleh setiap muslim.

Meningkatnya persentase perceraian akhir-akhir ini mengindikasikan “beragam persoalan” kehidupan rumah tengga dan keluarga yang masih tidak terselesaikan dan tidak ditemukan solusinya. Untuk ini peran BP4 sebagai suatu lembaga independent yang diberi “ruang” oleh pemerintah untuk melestarikan perkawinan selayaknya ditingkatkan. BP4 Kecamatan serta Kabupaten/Kota perlu lebih aktif dan responsive terhadap fenomena gugat cerai yang semakin hari semakin meningkat persentasenya. Kehadiran sosok dan tokoh BP4 yang kapabilitas dan memiliki kompetensi dibidang konseling keluarga adalah suatu keniscayaan.

Diantara argument “keberatannya” kaum wanita (isteri) untuk mempertahankan ikatan perkawinan yang telah mereka bangun meliputi: terjadinya kekerasan fisik dan psikis, pengabaian terhadap tanggung jawab, (penelantaran)  egoisme, hilangnya kesetiaan dan kegagalan membangun komunikasi serta sederet persoalan lainnya. Persoalan-persoalan ini dipandang sebagai penyebab rapuh dan hancurnya pondasi rumah tangga yang dibangun pasca ijab qabul.

Kegagalan membangun komunikasi dan interaksi dalam kehidupan rumah tangga sering dijadikan alasan untuk mengahiri jalinan kasih antara suami dan isteri sehingga memicu terjadinya perceraian. Proses komunikasi dapat mengalami hambatan atau gagal mencapai hasil yang positif, karena berbagai faktor, seperti kegagalan melakukan penyesuaian diri pasca pernikahan, komunikasi yang selalu berujung konflik, maupun adanya unsur kekerasan yang senantiasa membayang-bayangi pergaulan suami isteri. Kegagalan komunikasi ini selanjutnya memendam persoalan-persoalan yang terjadi dalam rumah tangga. Persoalan-persoalan yang terpendam ini kemudian terakumulasi dan dapat berubah menjadi konflik yang lebih besar, karena tidak adanya kanalisasi terhadap konflik tersebut.(Muhammad Abdul Ghafar, 2007). Fenomena semakin meningkatnya persentase dan kuantitas.

Patut menjadi perhatian kita bersama bahwa fenomena pengajuan gugatan perceraian pada Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah), mengalami peningkatan yang signifikan. Tidak dapat diingkari bahwa realitasnya terkadang masyarakat sering menyematkan “citra negative” terhadap kaum perempaun yang melakukan tindakan gugat cerai. Secara jujur harus kita akui bahwa “ketidak mampuan” seorang suami untuk memenuhi kebutuhan material dan psikologis seorang isteri, ditambah lagi  dengan adanya “keberatan” serta “keengganan” suami untuk mengajukan permohonan perceraiannya pada Pengadilan Agama, tentu menjadi “alasan” terhadap munculnya “keberanian” seorang isteri mengajukan permohonan gugatan cerainya.

Isteri terkadang “terpaksa” mengajukan gugatan perceraiannya pada Pengadilan Agama, karena merasa telah ditelantarkan oleh suaminya. Penelantaran seorang suami terhadap isteri tentu tidak dibenarkan oleh Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya (KHI Pasal 116. Huruf b). Penelantaran seorang isteri yang dilakukan oleh suami tentu menjadi “legalitas” tindakan gugat cerai oleh kaum perempuan.

Realitasnya masih terdapat para suami yang menelantarkan isteri yang secara hukum menjadi tangung jawabnya, akibat dari penelantaran ini sehingga hak-hak sebagai seorang isteri tidak terpenuhi. Seorang isteri yang ditelantarkan, secara terpaksa akan menanggung ketidak jelasan “status” sosial, beban psikologis dalam kehidupan sosialnya. Isteri yang ditelantarkan suaminya dapat “dipastikan” akan menanggung seluruh beban biaya hidupnya sendiri. Seorang isteri yang ditelantarkan dalam waktu relative lama tentu tidak akan “rela”, konsekuensinya dengan “berat hati” serta “terpaksa” akan berupaya menempuh jalur hukum demi kepastian status sosial kaitan dengan hubungannya dengan sang suami.

Isteri “terpaksa” mengajukan gugatan perceraiannya pada Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah), karena dia merasa “tidak pantas” lagi untuk mempertahankan hubungan pernikahan yang telah dibina selama ini. Sebagian isteri lebih memilih untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan suaminya, karena itu merupakan pilihan terbaik baginya. “antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga” (KHI Pasal 116 huruf, f ). Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa terdapat sebagian wanita dengan “senang hati” karena alasan yang tidak “dibenarkan”, mengajukan gugatan perceraiannya.

Isteri “terpaksa” mengajukan gugatan perceraiannya, karena suaminya telah menthalaqnya (menceraikannya) secara “sirri” (thalaq dibawah tangan), dengan kalimat thalaq yang ditulis “hanya” pada selembar kertas. Contoh kalimat thalaq pada selembar kertas yang ditulis oleh seorang suami terhadap isterinya, dapat dilihat di bawah ini

Tgl: 28 November 2013

Kepada yth

Bapak Imem Kampung Mamur

Di Tempat

 

Assalamu’alikum Wr, Wb

Dengan hormat,

Sehubungan dengan surat ini saya beritahukan kepada bapak imem Kampung Makmur, bahwa Saya tidak sanggup lagi mendidik dan menasehati isteri saya yang bernama Melati (Bukan nama sebenarnya). Dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, saya jatuhkan talaq 3 (tiga) kepada isteri saya yang bernama Melati.

Demikian surat talaq 3 (tiga) ini saya buat, tidak ada unsur paksaan dari siapapun.

Wasssalam

Pungkih (Bukan nama sebenarnya)[1]

 


Beberapa alasan yang menjadi sebab seorang suami menceraikan isterinya secara sirri: Pertama, karena kurangnya kesadaran serta “butanya” seorang suami terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan tentang perceraian, “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua belah pihak” (UU No 1 Tahun 1974. Pasal 39 Ayat 1). Kedua, karena “pembiaran” dan strategi suami agar pengajuan permohonan perceraiannya pada Pengadilan Agama dilakukan oleh pihak isteri, sehingga seluruh “biaya” yang diakibatkan karena pengajuan ini, akan dibebankan kepada pihak isteri. Ketiga, karena pernikahannya tidak dicatat berdasarkan peraturan perundangan-undangan pada Kantor Urusan Agama, (nikah sirri).

Konsekuensi dari surat thalaq ini, biasanya seorang suami beranggapan bahwa hubungan pernikahan serta seluruh tanggung jawabnya sebagai suami terhadap isterinya telah putus. Isteri yang telah diceraikan (dithalaq) secara “sirri” oleh suaminya, suatu saat ketika berkehendak melakukan pernikahan berikutnya dengan orang yang berbeda, dipastikan akan kesulitan memperoleh persyaratan yang harus dilengkapi sebagai bahan pendaftaran kehendak pernikahannya pada Kantor Urusan Agama Kecamatan. Kepala Kampung sebagai pihak yang berwenang untuk menerbitkan Surat Keterangan Untuk Nikah (N1), merasa “terbeban” untuk menerangkan status dari yang bersangkutan.

*Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Celala Kabupaten Aceh Tengah


[1]Dikutip dari Arsip KUA/BP4 Kecamatan Celala pada dokumen “Persoalan Rumah Tangga di Kecamatan Celala”

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.