Demokrasi Rupiah, Mimpi Menjadi Anggota DPRK Pupus (Bagian.2)

oleh

[Cerpen]

 

Irama Br Sinaga

“Esok, saya hanya menerima takdir Allah, saya sudah berusaha  dan berdoa, toh jika saya tidak terpilih maka itu yang terbaik untuk saya Bik”.

“Kamu sudah siap menang atau kalah”.
“Siap lahir dan batin Bik,  perjuangan ini tidak berakhir sampai disini, apapun yang terjadi kami tetap melayani”.
“Mantaplah, itu baru Caleg wanita muda dan berkualitas”.
“Insya Allah Bik, mohon doanya agar saya bisa mewakili wanita-wanita kampung kita ini”

Angin berhembus pelan, suara orang berbincang disana sini terdengar. Malam kian larut suara  mereka semakin terdengar. Aku tidak bisa tidur, coba pejamkan mata hingga aku terlelap dan bangun saat fajar mengintai bumi.

Matahari bersinar menyambut pesta demokrasi, pagi ini lebih santai dan memilih memasak untuk sarapan pagi dari pada cepat-cepat ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ketika terik matahari kian meninggi aku pun beranjak. Layaknya masyarakat lain menunggu antrian panjang, ketika namaku dipanggil, seakan malaikat maut menjemput. Ruangan itu hampa dan aku masuk bilik pencoblosan. Kubuka lembaran hijau, aku tak mau lama-lama. Kusegerakan mencoblos lalu keluar, tak lupa untuk menghitamkan jari kelingking pada tinta.

Aku merasa sedikit kecewa dalam ruangan tadi, melihat sosok laki-laki yang aku kenal dan sangat dekat denganku. Dia malu-malu melihat saat berada dalam ruangan itu. Akupun tak menyangka dia ada dalam ruangan itu. Ia duduk sederatan dengan para saksi partai politik. Awalnya dia mengundurkan diri sebagai saksi partaiku, alasannya tidak faham dengan kerja saksi. Kami punya kerja yang teroganisir dan praktis. Kerja saksi selain untuk menjaga suara partai, juga harus tegas dan menjaga suara partai agar tidak digelembungkan ke partai lain.

Pesta demokrasi adalah pesta yang memang berbeda dengan pesta lain, pesta lain untuk mempererat persaudaraan. Namu dipesta demokrasi ini menghancurkan persaudaraan. Mengapa bisa? Ya karena kejamnya para politisi untuk merebut kekuasaan.

Perhitungan suara pun dimulai dari tingkat DPRI, partai kami mendapatkan suara yang lumayan tinggi. Senyumpun merekah, perjuangan selama ini tak sia-sia. Hampir setiap TPS dapat suara tertinggi.

Perhitungan dilanjutkan tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPD), waktu terus berputar. Di desa kami memang yang aman tentram dan menyenangkan, tidak seperti desa lain ada konflik dan pertengkaran. Perhitungan suara berjalan lancar dan berakhir hingga fajar, waktu perhitungan memang sangat lambat menyita tenaga yang full.

Malam perhitungan mata pun tak bersahabat. Aku terlelap hingga perhitungan selesai. Aku mendapatkan quick pesan singkat via hp dari para saksi. Sungguh tidak sedikitpun rasa kecewa tertanam dalam hati. Suara tingkat DPRK sangat minim dan memprihatinkan, tidak sesuai dengan kinerja kami.

Aku mulai menghitung jumlah total suara yang kudapatkan, ternyata dari sekian prediksi hanya 10% kudapatkan suara. Saat itu aku tetap tersenyum dan merasa ini adalah yang terbaik, dan alhamdulilah ada yang mencoblos dan mempercayai.

“Di Desa Singkohor kamu dapat berapa suara?”, tanya Umak
Ngak banyak Mak, ada 2 TPS yang kosong, tapi untuk partai ada”, jawabku tetap semangat
Ngak ada ?”, tanya Umak heran
“Ya, memang kenapa Mak?”, jawab ku semakin heran

Umak hanya terdiam dan pergi, aku semakin penasaran mengapa Umak heran dan langsung terdiam.

Sore harinya Paman sepupuku datang, aku tidak mendengar pembicaraan antara Umak dan Paman. Tak sengaja aku melewati mereka dan melihat Umak meneteskan air mata. Aku duduk dan mendengarkan Umak berbicara

“Tega kamu ya, jika kamu tidak menghargai anakku, hargai kau sebagai kakakmu. Aku tidak meminta semua kalian yang di rumah itu memilih anakku, setidaknya kalian bagi suara pada anakku, ya walaupun kalian memilih belum tentu anakku menang. Tapi dimana kalian letakkan persaudaraan kita, makan uang 200.000 yang diberikan orang itu?. Jangan datang lagi kerumahku, anggap aku bukan kakakmu”

Air matapun bercucuran saat Umak mengungkapakan kata-kata itu pada Paman. Umak sangat kecewa pada Paman dan saudaraku yang ada di desa Singkohor, padahal di desa itu banyak saudara

“Yah janganlah gitu Kak, masak Kakak serius”, Paman kehilangan kata-kata

“Umak ngak boleh gitu, namanya saja permainan pasti ada menang ada kalah, lagian adik pun tidak mengeluarkan uang untuk Caleg. Sekarang ini  mana yang ada uang itulah yang dipilih orang”

Abangku yang nomor tiga berusaha meredakan emosi Umak

“Alah berapalah uang itu, berarti mereka tidak mengingat dan tidak perlu jasa dan kebaikanku selama ini”

Ternyata kekecewaan Umak terlalu dalam sehingga bagaimanapun usaha untuk meredakan, hasilnya nihil.Paman tidak bisa berkata apa-apa lagi dan tidak bisa beranjak, karena malu dan segan. Paman bertahan hingga Umak pergi dan Paman pulang.

Aku mendatangi Umak, karena merasa tindakan Umak itu salah dan tidak boleh berkelanjutan.

“Umak, bila hal seperti ini saja kita tidak mampu untuk menerimanya bagaimana orang yang habis uangnya berjuta-juta, kebun terjual, rumah digadaikan dan ternyata mereka kalah?. Nah akukan ngak pakek uang dan semua ini harus kita terima dengan iklas. Umak sudah lihat dan dengar sendiri bagaimana Caleg lain memberikan uang dan otomatis mereka pilih itu karena mereka butuh uang Mak. Saya harap Umak jangan terlalu bawa ke hati, aku saja yang Caleg kalah tidak mengapa, kok Umak yang sedih”

“Kamu itu tidak tahu apa-apa, sekarang aku tidak punya saudara karena aku orang miskin tidak punya apa-apa, saudarapun tidak mau menolong”

Kekecewaan Umak tak mampu aku tuliskan lewat tinta kehidupanku, tetesan air matanya meluluhkan ulu hatiku. Rasanya aku bersalah, Umak harus meneteskan air mata. Dari perhitungan suara, kami tak mampu merebut satu kursipun. Namun kami tetap semangat, dari hasil ini kami dapat mengukur kemampuan dan kinerja selama ini. Kalah bukan berarti kami mengalah tapi Allah belum memberikan amanah dan mungkin kami belum mampu untuk menjalaninya.

Saat suara dipindahkan dari KPPS ke PPK aku masih semangat dan aku menjadi saksi PPK di Kecamatan Kuta Baharu. Walau suara minim kami sangat kritis dan kami menjaga suara partai tingkat pusat dan provinsi. Saat aku mengikuti perhitungan suara ternyata banyak suara dan penjumlahannya salah, sehingga membuat aku geram dan kritis pada perhitungan itu.

Aku adalah satu-satunya saksi perempuan dari sekian partai, dan hanya aku yang teliti dan kritis sehingga ketua PPK mengatakan “Untung ada kamu kalau habislah, lihatlah mereka (saksi lain), mereka hanya perlu uang saja”.

Perhitungan suara hingga pukul dua malam dan aku tetap semangat, karena disana aku sangat dihargai dan dibanggakan. Kepala Polsek pun menawarkan “Jika kamu pulang ke Singkohor biar kami kawal”. Aku biasa saja dan tidak terlalu melebur karena aku menjaga image.

Aku tidak pernah kecewa dengan pilihan masyarakat, karena ketika mereka memilih berarti mereka sudah siap dengan segala resiko dan itulah pilihan hati mereka. Bila bertemu aku tetap menyapa dan tersenyum sehingga tak sedikitpun mereka melihat rasa kecewa atas kekalahanku.

Setelah PPK selesai, esok harinya aku pergi menghadiri undangan pesta saudara. Umak marah karena selama Pemilu dan setelah Pemilu aku tidak pernah istirahat dan jarang di rumah. Aku menunjukkan pada Umak bahwa persaudaraan tak pernah ku jual dengan uang. Ditempat pesta aku bertemu sepupu.

“Bagaimana Rama, berapa dapat suara?”.
“Belum rezeki Din, mungkin belum saatnya menjadi Wakil Rakyat”
“Oh, yang sabar ya, berapa juga uangmu habis dan dukun mana juga kau datangi?”
“Hah, apa??????????”, aku sangat terkejut saat dia mengatakan uang dan dukun.
“Kenapa? Salah?”
“Sangat”.
“Sangat apa?”.
“Aku sangat lapar ne,he”.

“Ah kamu ini kebiasaan, asal jumpa pasti lapar. Bilang aja mau makan apa, gak sah pakek kode-kode segala”, jawabnya kesal karena setiap kami berjumpa aku pasti minta makan.

“Tah kenapa melihat wajahmu bawaannya lapar aja?”.
“Yaudahlah kita makan dulu, oya mengenai pertanyaan ku tadi bagaimana?”
“Yang mana ya?”.

“Ya ya ngak sah lah tunjukkan jeruk purut, biasa aja. Tak mungkinlah gara-gara Caleg aku gadaikan aqidah, memang waktu itu aku disuruh ke dukun. Aku tolak terus dan banyak saudara yang kecewa gara-gara tidak mau. Itu kan perbuatan syirik dan kalau masalah uang memang aku ngak pakek uang. Masyarakat tidak boleh kita bodohi, karena mayarakat umumnya buta pada uang. Aku tidak mau menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ku inginkan. Kalah pun aku kalah tidak mengapa, biasa aja. Kamu lihat sendiri aku masih semangat. Aku ingin menunjukkan pada masyarakat bahwa cara bersaing lebih transparan dan terjaga, kalau mereka tidak memilih ya sudah”.

“Yalah kamu kalah, sekarang ini kalau ngak ada uang, dukun, dekeng pun ngak ada”.
“Kamu ni ya, sama juga dengan yang lain. Kita itu harus berada di jalan yang benar dan jangan sampai Allah murka pada kita”.

“Memang sih, tapi kan yang aku katakan tadi apa yang aku lihat dan dengar dan semua yang pakek itu menang, makanya kutanya kamu mana tahu kamu juga pakek itu. Oya tau ngak di tempat kami banyak dukun-dukun yang datang dan mereka berdiri dekat TPS dan kata masyarakat saat mau nyoblos mata kita buram gitu”.

“He santailah, kita ini adalah aktor, sutradara kita Allah, jadi apapun kata sutradara kita harus menjalani, kalau kita ingin menjadi aktor yang terkenal maka kita harus peka, semangat dan mematuhi apa yang sutradara katakan dan aku punya prinsip ketika aku mendapat teguran dari sutradara berarti aku punya kesalahan, dan bila sutradara memberikan aku hadiah itu karena menjalankan skenerio dengan baik. Semua atas izin dan perintah-Nya dan hadiah itu juga adalah ujian untuk kita”.

“Hemm ya ya kamu memang sepupuku yang baik dan pinter, semoga segala urusan mu dipermudah”.
“Amin, kamu juga seperti itu ya”

Obrolan selesai dan makanan pun ludes, kami pulang dan istirahat. Pulang dan istirahat karena beberapa hari kurang tidur, badan pun terasa lemas. Ayah yang selalu tegar dengan segala kondisi, berbeda jauh dengan Umak yang jika aku jarang di rumah direpeti dan selalu di rumah juga direpeti.

Kekecewaan Umak pada saudaraku masih berbuih, dia tidak mau berbicara dan menyapa. Tak terasa seminggu telah berlalu Pemilu, aku mulai menyadari sikapku terhadap saudara-saudaraku. Jarang datang ke rumah dan menyapa mereka, ternyata aku juga kecewa pada saudaraku. Tanpaku sadari mereka memang sengaja tidak memilihku, karena aku tidak memberikan uang dan mereka memilih Caleg yang memberikan uang. Ketika persaudaraan harus dibeli, maka aku buka mata dan hatiku dan berkata dalam hati:

“Aku harus punya banyak uang”

Aku sangat sedih saat saudara-saudaraku sendiri memilih uang dari pada persaudaraan. Hatiku sedikit tergores ketika melihat mereka, aku sangat terpukul, mengapa bisa terjadi? Bukan kekalahan yang aku tangisi tapi persaudaraan yang aku ratapi. [SY]

Bagian 1 : Mimpi Menjadi Anggota DPRK Pupus, Ukurannya Uang

Irama Br SinagaIrama Br Sinaga, lahir di  Samardua Singkil pada Tanggal 11 Juli 1991. Alumnus salahsatu Perguruan Tinggi Islam terrnama di Banda Aceh. Mottonya  La takhof, Innaka Antal a’la (Jangan takut, sesungguhnya engkau yang paling unggul).

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.