Mimpi Menjadi Anggota DPRK Pupus, Ukurannya Uang

oleh

[Cerpen] Bagian. 1

Irama Br Sinaga (Custom)Irama Br Sinaga

CUACA tidak bersahabat dalam beberapa hari ini, terkadang hujan non stop 24 jam sehingga masyarakat pun enggan untuk keluar rumah. Bila desaku tidak berada diketinggian mungkin sudah tenggelam seperti desa lain. Setiap hari aku pergi bersilaturahmi dari rumah ke rumah juga tumbuh rasa malas karena hujan yang tiada berhenti.

Beberapa hari ini kegiatanku juga tersendat, hanya duduk dan memberesi rumah terkadang nonton serta tak lupa waktu luang untuk mengaji mentadabburi makna dari terjemahan Al-Qur’an. Aku juga tak mau lama-lama berdiam diri di rumah karena pemilu sudah diambang pintu. Beranjak dari rumah, berusaha menghadapi badai karena aku yakin badai pasti berlalu.

Masyarakat di kabupatenku memang berbeda dengan masyarakat kabupaten lain, bila Caleg tidak ada uang mereka tidak level. Pepatah di dearahku berbunyi “ada uang ada suara”. Aku berusaha untuk menghilangkan pola pikir seperti itu, aku ingin masyarakat cerdas dan kritis terhadap opini yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Orang tua adalah kekuatanku dalam menghadapi pesta demokrasi 9 April, seperti yang kukatakan, bagiku mereka adalah Tim Sukses dunia akhirat. Tak mampu aku melangkah tanpa restu dari mereka. Selain orang tua, aku juga punya banyak saudara yang mendukung serta memberi semangat.

Detik-detik pemilu kian mendekat, aku melihat masyarakat gencar dan banyak yang kehilangan arah. Namun aku tetap optimis bahwa saudaraku tetap berpihak kepadaku. Waktupun tak mau berhenti, pemilu tinggal hitungan hari. Aku tetap optimis dan semangat, terkadang dalam hati aku berkata “Tenang Rama, rezeki takkan kemana”, ya aku juga yakin kalau memang menjadi Anggota Dewan adalah rezekiku maka itu tak kan kemana.

Seperti biasanya, bila sore tiba maka masyarakat banyak ngumpul dan berbicara seputaran politik dan aku menghampiri mereka.

“Assalamu’alaikum”.

“Wa’alaikumusalam Ustadzah”.

Mereka memang memanggil Ustadzah sejak aku mendapat hidayah untuk berhijab beberapa tahun silam. Aku sering mengingatkan mereka bahwa pakaianku saat ini bukan karena menjadi Ustadzah, tapi karena kewajiban sebagai muslimah dan untuk membedakan dengan wanita non Islam. Namun kali ini aku lebih banyak berbicara tentang politik dan bagaimana kinerja Wakil Rakyat.

“Bagaimana perkembangan politik kita sekarang Wak?”, tanyaku untuk membuka pembicaraan.

“Kalau saat ini belum ada yang kasih uang, kalau kamu berapa satu suara?”.

“Hmmmm Wak Wak, seperti yang saya katakan dulu, kalau saya tidak membeli suara”.

“Oh iyalah, kamu gak punya uang kan?”.

“Ya, saya tidak punya uang untuk itu, kalau Wawak percayakan saya menjadi Wakil Rakyat maka coblos saya di 9 April besok. Namun jika tidak, maka saran saya Wawak jangan golput, cobloslah Caleg yang menurut Wawak amanah dan adil serta shalatnya terjaga”.

“Kalau Wawak siapa yang kasih uang itulah yang Wawak coblos”.

“Memangnya ada Caleg yang memberi uang Wak?”, tanyaku sedikit sedih dengan jawabannya.

“Ada dong, saya tunggu dikasih ni, kata orang-orang 200.000 per kepala, kan lumayan”.

“Oooh, banyak ya Wak, pasti Caleg-nya orang kaya ya Wak?”.

“Iyalah, kamutu ibarat orang mau ambil ikan ke sungai tapi gak bawa jala”.

“Maksudnya Wak”.

“Yah payah kamu ni, gitu aja ngak ngerti. Kamu tidak akan dapat suara kalau kamu ngak pakek uang, darimana dapat ikan kalau ngak pakek jala atau pancing”.

“Wah Wawak ni, segitunyakah. Sebenarnya hal inilah yang menjadi tanggungjawab kita untuk merubah menjadi lebih baik, saya menjadi Caleg ini bukan untuk mengejar kekuasaan. Teapi bagaimana caranya dapat merubah sistem yang ada menjadi lebih baik dengan kekuasaan. Jika saya kalah Wak, bukan berarti saya mundur dalam perjuangan ini, tapi saya tetap berjuang di-Pemilu selanjutnya dan ketika negara bertanya “Apa yang engkau berikan untuk kampungmu atau bangsamu?’ Saya sudah punya jawaban. “Saya sudah berusaha, toh masyarakat belum mempercayai saya”.

“Sebenarnya kamu pinter dan berkelas tapi sayang tempat dan keadaan tidak cocok dengan mu”

“Maksudnya Wak?”.

“Di kabupaten kita ini, kalau ngak ada uang ngak ada harapan, orang bodoh tapi banyak uang itu laku karena masyarakat butuh uang”.

“Sebenarnya saya sangat sedih Wak melihat keadaan kita ini, saya akan berusaha Wak untuk melakukan perubahan. Kita hanya butuh waktu dan beberapa orang cerdas untuk merubah keadaan ini”.

“Ya ya semoga cita-citamu tercapai”.

“Bagaimana, Wawak mau pilih saya atau pilih uang ha ha”, saya bercanda

“Ha ha kamu ini bisa aja”.

Senja pun tiba, kami pulang ke rumah masing-masing. Dalam shalat aku berdoa “Ya Allah bila menjadi Anggota Dewan adalah pilihan maka berikan aku yang terbaik”.

Malam ini kami membuat acara menyantuni anak yatim, saat siraman rohani dari Kepala Kantor Urusan Agama sebagai penceramah, aku menetaskan air mata teringat Bibik yang sudah lama meninggal dunia. Bila beliau masih hidup pasti ia selalu memberikan semangat untukku.

Malam ini juga banyak para Caleg menabur uang dan masyarakat sudah menunggu di rumah masing-masing. Terkadang aku heran juga, politik uang sudah di depan mata namun PANWASLU diam dan membisu. Saat kami salah meletakkan bendera saja sudah ditegur namun saat kampanye akbar partai lain yang melibatkan para PNS itu tidak ditegur dan bahkan terang-terangan. Apa yang yang terjadi pada kampung ku ini?????

Tantangan ku memang sangat berat, sungguh aku sedikit pesimis melihat keadaan ini. Darimana aku memulainya??

“Bagaimana perasaanmu Ma?”, tanya Bibik adik Umak.

“Biasa aja Bik, belum ada rasa yang lain he”, jawab sambil senyum

“Oh baguslah, kata orang kamu Caleg ini hanya untuk mengambil suara aja, untuk membantu Caleg No 1”.

“Ih Bibik ini, darimana juga lah info itu. Sekarang ini Bik, kalau suara satu orang tidak mencukupi untuk satu kursi maka suara para Caleg dan pasti digabung, nah siapa suara terbanyak dialah yang naik. Kalau Pemilu yang lalu memang yang diutamakan Caleg No. 1”.

“Oh gitu, baguslah itu semoga aja banyak yang coblos kamu”.

“Kalau saudara dari Umak dan dari Ayah coblos Rama semua, sudah pasti suara Rama banyak Bik dan harapan dapat kursi”.

“Wah, susahtu Ma, orang pakek uang, kamu? unjuk gigi aja”.

“Ah Bibik, masak saudara ngak mau coblos Rama, ambil  aja uangnya, coblos Rama”.

“Ih ngak bolehlah, entar berdosa?”.

“Kok dosa Bik”, tanyaku heran

“Ya iyalah, kita sudah ambil uangnya harus dia dong kita coblos, kalau ngak kita berdosa”.

“Wualah Bik Bik, kalau tiga orang Caleg yang kasi uang berarti Bibik coblos tiga-tiganya?? Begini Bik, saya tidak mengatakan dengan mengambil uangnya dan tidak mencoblos orangnya itu tidak berdosa, jika kita berbicara dosa saya pernah mendengarkan dari ceramah Ustadz kalau orang yang menerima suap dan pemberi suap itu sudah jelas berdosa. Nah, untuk menghukum orang yang memberikan uang itu, ya seperti yang saya katakan tadi karena kalau kita bawa ke proses hukum kita tidak punya uang untuk bayar pengacara tapi kita bisa menghukumnya dengan tidak mencoblos Caleg yang memberikan uang, cobloslah Caleg yang tidak memberikan uang dan amanah, terjaga shalatnya, sering baca Al-Qur’an, bersosialisasi dan yang paling penting orangnya takut pada Allah SWT, Insya Allah kami mampu memberikan yang terbaik untuk kampung kita ini”. [SY]

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.