Ke Gayo, Forum SSM XII telusuri jejak Amani Erang, Aman Soaloon dan Ama Lenteng

oleh
Stempel Sisingamangaraja XII
Stempel Sisingamangaraja XII

SALAHSATU daerah lintasan Napak tilas peringatan ke-107 tahun wafatnya pahlawan nasional Sisingamangaraja XII yang digelar 5-15 Juni 2014 ini adalah dataran tinggi Gayo. Tentu saja ada alasan kuat kenapa mesti ke Gayo.

“Di Gayo telah terjadi peperangan terhebat dibandingkan peperangan-peperangan yang pernah terjadi di daratan Eropa kala itu yang dipimpin Amani Erang, Aman Soaloon dan Ama Lenteng. Dan itu serangkaian dengan pertempuran-pertempuran yang dipimpin SSM XII,” kata Wilson Silaen, aktivis di Forum tersebut kepada LintasGayo.co, Minggu 13 April 2014.

Pernyataan ini, terang Wilson, didasari bukti tertulis dalam tulisan, B. Hagen, di majalah “Rijnsche Zending” dengan judul “Der Krieg en Noord Sumatera” yang mengatakan jika dibandingkan, peperangan yang pernah terjadi di daratan Eropa dengan peperangan rakyat di Noord Sumatera – Sumatera bagian Utara – maka tampaklah nilai-nilai kepahlawanan yang jarang tandingannya-dibanding kepahlawanan rakyat Indonesia, di Sumatera bagian Utara.

Mengapa demikian?, lanjut Wilson Silaen, di tahun 1903 ketika Overste Van Daalen mengepalai dua divisi marechaussee-marsuse-yang bergerak dari Aceh Utara, dibantu pasukan-pasukan infantrie dari Medan, dikepalai Kapten De Graaf, yang bergerak melalui Kuala Simpang dan pasukan infantrie dari Tarutung, dikepalai Mayor Bryan, yang datang melalui Sidikalang; maka tampaklah Sisingamangaraja XII bersama rakyatnya yang setia melakukan perlawanan mati-matian mempertahankan kedaulatan tanah tumpah darahnya. Meskipun rumah, kampung, ternak, sawah, ladang, bahkan anak-anak dan istri mereka dimusnahkan pasukan Van Daalen yang terkenal bengis, namun perlawanan tidak pernah berhenti.

“Sedangkan versi Militer Belanda, yang ditulis oleh “Letnan J.C.J Kempees”, dengan judul, “De tocht van Overste van Daalen door Gayo, Alas en Bataklanden”, menceritakan perlawanan rakyat yang terhebat pada masa itu adalah, di Gayo-Luas, Tanah Alas dan Pakpak Dairi,” kata Wilson. Catatan akhir buku tersebut menceritakan bahwa Sisingamangaraja XII belum wafat, sehingga Van Daalen segera memerintahkan Kapten Colijn berangkat dari Medan, melalui Tanah Karo, ke Pakpak Dairi, menyerbu markas besar Sisingamangaraja XII.

Selanjutnya seorang geolog Belanda, Prof. Dr. Wilhelm Volz, dalam bukunya Noord Sumatera, jilid II menuliskan tentang Keperwiraan Rakyat, di Aceh Tengah – Gayo.

Tahun 1901 Van Daalen memasuki Takengon, sekitar danau Lauttawar, dimana kala itu pertempuran hebat sedang berkecamuk antara Belanda dengan rakyat Gayo pimpinan Aman Soaloon beserta putranya.

Sekalipun pada akhirnya Aman Soaloon gugur bersama putranya namun perlawanan tidak otomatis berhenti, karena setahun kemudian, 1902, Kapten Colijn, memimpin pasukannya ke pedalaman Aceh, yang kemudian terjadi pertempuran besar-besaran di sana, di Bur ni Intem-intem.

Tokoh Gayo yang memimpin perjuangan kala itu adalah Amani Erang dan Ama Lentenng. Dalam pertempuran tersebut hanya sedikit pasukan Colijn yang selamat, selebihnya binasa.

Ternyata perang di Bur ni Intem-intem itu telah menciutkan nyali militer Van Daalen. Itu terlihat ketika kunjungannya ke Aceh, 1904, Van Daalen benar-benar menghindar dari Bur ni Intem-Intem, memilih jalan lain meski  lebih jauh karena harus memutar.

“Atas dasar sejarah inilah yang memunculkan gagasan kami dari Forum SSM XII ingin sekali ke Gayo. Belanda saja mengakui perang di Gayo adalah salah satu perang terhebat kala itu, kenapa kita justru melupakannya,” tukas Wilson Silaen. (Khalisuddin)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.