Jangan Golput!

oleh

Mustafa Kamal*

Mustafa (Custom)TULISAN ini hadir karena rasa prihatin yang begitu besar atas isu golongan putih (golput) yang selalu marak menjelang pemilu. Fenomena golput menjadi momok yang terus berulang, mulai dari Pemilu 1999, Pemilu 2004, Pemilu 2009 hingga Pemilu 09 April 2014 saat ini. Katanya golput itu demi kebaikan, tetapi hingga saat ini tidak ada kebaikan yang dihasilkan dengan sikap seperti itu.

Ada tradisi yang tidak boleh dilewatkan ketika menjelang pemilu, yakni kampanye. Walaupun musim kampanye sudah berakhir, sejak diumumkan pada 15 Maret 2014 lalu. Parpol-parpol telah melakukan kampanye di beberapa lokasi sesuai dengan daerah pilihannya. Namun, bagaimana jadinya jika pemilu tanpa ada partisipasi penuh dari masyarakat sebagai pemilih? Dari pesta demokrasi tahun ini, apa kerugian dan kelebihan dari golput? Mari kita simak terlebih dahulu sejarah golput di Indonesia.

Istilah golput pertama kali muncul dari mahasiswa dan pemuda yang menolak pemilu pertama pasca tumbangnya Orde Lama. Pemilu saat itu diikuti 10 parpol, lebih sedikit dibanding Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik—jumlah parpol yang fantastis untuk sebuah negara yang baru saja berganti orde. Di era Orde Baru, tokoh yang terkenal getol dalam memimpin gerakan golput ini adalah Arief Budiman. Menurut Bertens (2009), istilah dan gerakan golput pertama kali muncul di Indonesia  menjelang Pemilu 1971 sebagai wujud protes kalangan kampus. Kala itu, Arief Budiman dan kawan-kawannya merasa tidak puas dengan segala tindakan refresif penguasa.

Menurut data KPU, pengguna suara pada Pemilu 1999 sebesar 92 persen; Pemilu 2004 84 persen; dan Pemilu 2009 71 persen.  KPU menargetkan tingkat partisipasi akan berada di persentase minimal 75%. Ini bukan sesuatu yang muluk-muluk, sebab KPU telah melakukan semua cara dan langkah untuk mendorong partisipasi warga.

Pemilu di era demokrasi sangat berbeda dengan pemilu pada tahun-tahun sebelumnya. Golput pada tahun 2004-2009 tak sama dengan golput pada era 1970-an. Golput tumbuh karena kegagalan parpol dalam memberikan alternatif calon wakil rakyat atau pemimpin yang berbobot. Golput pada tahun 1971 adalah sebentuk protes terhadap UU Pemilu yang tidak demokratis. Bedanya golput dengan sekarang, golput bukan karena wakil rakyat yang tak berbobot, tapi karena sistem demokrasi sudah berubah menjadi demokrasi materialistis.

Sebagai rakyat yang cerdas, sudah seharusnya kita mengambil peran dalam menyukseskan pemilu dengan berpartisipasi. Itu demi negara tercinta ini. Tidak golput merupakan bentuk kesukarelaan rakyat yang telah diberi wewenang untuk memilih siapa jagoan mereka yang akan menduduki jabatan selanjutnya. Kesukarelaan masyarakat akan menjadi momentum luar biasa sebab pilihan masyarakat di balik bilik suara adalah penentu bangsa yang butuh perubahan ini.

Seorang pakar politik dunia Gabriel Almond (1962), terdapat dua budaya politik yang memengaruhi rendahnya partisipasi politik, yakni parochial political culture dan subject political culture. Budaya politik parokial yang dimaksud Almond merupakan budaya politik acuh tak acuh dan tidak mau tahu atau bahkan apatis, karena tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik. Sedangkan subject political culture merupakan bentuk sikap yang sebenarnya dianggap maju tapi masih pasif dalam hal partisipasi politik. Jalan keluar bagi keduanya, masih menurut Almond, adalah ada upaya kuat menumbuhkan identitas nasional, kesadaran kelas, daya gugah mencetak prestasi, keyakinan akan kebebasan, efektifitas politik, dan kepercayaan pada pemerintah.

Partisipasi masyarakat dalam pemberian suara pada Pemilu 2014 sangat penting dalam memengaruhi keputusan politik dan proses pembuatan kebijakan publik. Mungkin satu suara tidak berperan besar dalam mempengaruhi keseluruhan proses di atas, namun ikut andilnya masyarakat dalam pemilu berarti telah ikut untuk tidak memberi kesempatan kepada politisi yang buruk.

Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), terjadi kemerosotan partisipasi masyarakat terhadap pemilihan umum. KPU selaku penyelenggara negara harus bekerja lebih keras untuk mengajak dan meyakinkan masyarakat untuk terus aktif berpartisipasi. Walaupun KPU tidak memiliki kepentingan langsung, atau tidak langsung pada siapa pun yang terpilih, penyelenggara pemilu tetap berkewajiban agar prosedur dan substansi pemilu terjaga secara jujur dan adil.

Kekeliruan golput

Dalam kehidupan sehari-hari tentunya kita mengenal istilah baik dan buruk. Tiada abu-abu. Jadi selaku orang yang merindukan kebaikan dan kemaslahatan terhadap masyarakat banyak, tentu golput bukan pilihan tepat. Dengan kata lain jangan biarkan keburukan mengambil hak kita. Mungkin kita termasuk orang yang tidak mengerti dengan politik. Ada yang mengatakan politik itu kotor, tempat berkumpulnya serigala yang suka saling tikung. Namun di sini kita harus berpandangan lain: “karena kotor, harusnya kita bersihkan, bukan malah bersikap tidak acuh dan apatis”.

Rata-rata usia kita selaku pemilih tentunya sudah 17 tahun ke atas. Usia yang cukup matang untuk menjadi pemilih, dalam hal ibadah pun sudah mampu mengamalkan kebaikan bukan sebatas tahu membedakan mana yang baik dan buruk. Jadi tidak ada alasan untuk golput. Meskipun yang ditangkap mata menipu, tetapi tidak mungkin teko berisi susu mengeluarkan kopi. Pergunakan hak pilih kita pada 9 April mendatang demi suatu perubahan kearah yang lebih baik sesuai dengan pengharapan masayarakat banyak.

Ada beberapa kerugian yang diakibatkan oleh golput: Pertama, sah tidaknya pemilu tidak ditentukan seberapa banyaknya jumlah besaran golput. Misalnya, jumlah pemilih di suatu daerah pemilihan ada tiga juta jiwa, tetapi realitasnya yang memilih hanya satu juta orang, sedangkan yang golput sebanyak dua juta orang. Maka pemilu tetap berlangsung dan sah. Jadi golput tidak punya kekuatan. Kedua, jumlah orang yang golput itu sama sekali tidak diperhitungkan keberadaannya. Dengan kata lain,  jumlah suara golput sebanyak 1000 orang,  dianggap dikalahkan dengan jumlah 500 orang yang memilih.

Ketiga, suara golput itu realitasnya tidak dapat menjadi solusi dan tidak mempunyai pengaruh apa pun untuk kebaikan negeri ini. Hingga kini golput tidak ada legalitasnya yang mampu menuntut sah atau tidaknya hasil pemilu. Keempat, golput itu umumnya bukan dari pemikiran rasional tapi emosional. Biasanya mereka yang golput itu akibat rasa kecewaan, pesimis, putus asa dan apatis terhadap keadaan negeri ini. Bahkan, apatis (tidak peduli) bila negara dan bangsa ini dikuasai/dijarah oleh para penjahat.

Kelima, dengan sistem dan peraturan UU Pemilu yang ada, salah satu yang diinginkan oleh para koruptor itu adalah semakin banyak anggota masyarakat yang memutuskan untuk golput agar mereka lebih mudah menjadi anggota dewan. Akan makin berbahaya jika yang golput adalah orang-orang shalih dan baik. Sebab ketidaksertaan mereka dalam pemilu akan mengurangi dukungan untuk orang baik-baik. Jika orang-orang baik itu semakin sedikit, maka peluang para koruptor akan semakin besar.

Kita seharusnya tidak golput. Pilih pemimpin yang mampu memimpin bangsa ini dengan dasar amanah dari kita sebagai pemilihnya. Amin.

Mustafa Kamal, Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara Angkatan 4 (2014).

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.