[cerpen] Paradoks Dua Negeri yang dilanda Gempa Bumi

oleh

Himmah Tirmikoara, M.Pd

SEJAK kedua negeri tersebut tercipta, merekapun sudah lama diam mengamati setiap sudut tempat mereka ditugaskan oleh Sang Penguasa. Negeri yang  indah, makmur dan kaya akan hasil bumi. Terletak  di pengunungan yang subur dan berhawa sejuk. Kekayaan alam yang berlimpah berupa sayuran, buah dan tanaman kopi sebagai idola yang aromanya telah mendunia membuat para penghuninya sejahtera. Rumah mewah bermunculan dan mobil-mobil keluaran terbaru berseliweran di sepanjang jalan.

Sang Penguasa benar-benar mencintai negeri itu beserta para penghuninya. Belum pernah ada petaka besar menimpa kedua negeri itu. Malah, saat krisis moneter mendera yang membuat kesulitan bagi Indonesia tahun 1998, justru saat itu penghuni kedua negeri itu mendapatkan kekayaan melimpah dengan naiknya harga kopi. Bencana besar yang kirim Sang Penguasa pada 24 Desember 2006 yang meluluhlantakkan daerah pesisir tidak berimbas pada kedua negeri itu. Mereka tetap aman dan sejahtera.

Namun kecintaan Sang Penguasa pada kedua negeri itu membuat penghuninya mulai lupa diri. Maksiat merajalela. Sebagian orang-orang kaya mulai lupa membayar zakat penghasilan. Mereka menghabiskan rupiah ke luar daerah yang menawarkan berbagai fasilitas. Menginap di hotel-hotel dan berkaraoke di tempat-tempat hiburan ditemani perempuan cantik. Alasannya refeshing sejenak, setelah lelah bekerja mengurusi berton-ton biji kopi, lelah mengurusi  rakyat atau lelah mencari uang di negerinya.  Masjid dan menasah yang besar dan indah tak pernah dipenuhi. Entah kemana para bapak-bapak, pemuda dan anak-anak di kala muazin mengumandangkan azan. Hanya orang-orang tua yang terpanggil dan meluruskan shaf.

Setelah lama terdiam menyaksikan kedua negeri itu, salah satu di antara mereka mulai bersuara, “Aku benar-benar heran melihat penduduk  negeri itu,” katanya dengan gusar.  “Mereka kian menjadi-jadi.

Orang-orang kaya masih melakukan korupsi. Perselingkuhan merajalela. Yang  memuakkan, para pelaku zina yang muda- muda itu tidak malu lagi menunjukkan aibnya. Dengan senyum sumringahnya mereka duduk di pelaminan megah berbalut pakaian adat, padahal perut pengantin perempuannya telah membuncit sebelum keduanya menikah. Malah dengan riangnya mereka menari “tarin-tarin kope aman mayak gelah likak, i serlo oya ...”

“Benar,” timpal yang lain. “Acara pacuan kuda tradisional yang mulanya  berfungsi sebagai hiburan rakyat dan mendongkrak pariwisata kini telah menciptakan penjudi-penjudi amatir dan penjudi eksklusif, arena pacuan mereka istilahkan sebagai bursa saham”.

“Sebentar.., sebentar,” sela salah satu di antara mereka dengan penasaran.

“Penjudi eksklusif katamu? Bukankah eksklusif itu artinya dilakukan oleh orang-orang kaya dan berduit seperti pengusaha, toke, kontraktor atau malah pejabat?”

“Entahlah, tidak bisa dibuktikan dengan nyata. Tapi mereka pastinya orang-orang berduit. Dengan mudahnya mereka mempertaruhkan uang jutaan,  malahan puluhan juta melalui kuda-kuda pacu yang mereka jagokan. Tidak ada bandar dan uang. Mereka melakukan melalui sms dan transaksi dilakukan melalui rekening. Ekslusif bukan?”

“Yah, begitulah manusia yang sudah lupa pada Sang Penguasa. Seruan pemimpin negerinya untuk menyemarakkan Gerakan Masyarakat Belajar pada waktu Magrib sampai Isya dengan mengaji dan belajar toh tidak diperdulikan, kecuali hanya segelintir keluarga. Pada waktu Magrib mereka malah  asyik menonton televisi  sementara anak-anaknya bermain game atau berface book-an di laptop masing-masing.”

 Mereka kembali diam dan terpekur.

 “Sang Penguasa pernah menugaskanku untuk menegur mereka, “ ucap salah satu dari mereka.

“Tapi banjir bandang dan hujan lebat serta longsor di beberapa tempat tidak membuat mereka berpikir bahwa itu adalah teguran dari Sang Penguasa agar mereka sabar dan ingat itu adalah cobaan. Mereka malah berdalih itu disebabkan ulah manusia. Mereka menyalahkan para penebang liar dan naiknya air danau yang menyebabkan banjir di sekitarnya adalah karena pembuatan proyek besar listrik tenaga air”.

“Aku juga pernah bekerja,” kata yang lain.

“Tapi jatuhnya harga kopi tidak membuat mereka sadar. Mereka malah menyalahkan sistem atau karena  ulah sebagaian toke.”

Kembali para peneror itu diam termangu sambil menggeleng-geleng kepala sampai akhirnya salah satu berucap, “Mengapa ya, Sang Penguasa masih mencintai negeri itu beserta penghuninya? Sementara aku sudah ingin memberi pelajaran agar mereka  insyaf, tapi Sang Penguasa belum mengijinkan.”

 “Itu karena Sang Penguasa sangat menyayangi para orang-orang tua yang khusyuk shalat dan berdoa di masjid dan  anak-anak yang meramaikan pengajian serta  doa-doa penghuni negeri yang masih ingat akan Sang Penguasa,” Jawab salah satunya.

“Ya, mudah-mudahan para penghuni negeri itu cepat sadar sebelum murka Sang Penguasa datang menimpa mereka…”.

Itulah akhir percakapan para peneror itu sampai akhirnya salah satu di antara mereka mengabarkan telah mendapat perintah dari Sang Penguasa untuk bekerja. Entah itu sebagai peringatan ataukah itu sebagai cobaan bagi penghuni yang telah mencapai tingkat keimanan yang tinggi, atau apakah itu sebagai azab bagi mereka yang sombong dan lupa akan Sang Penguasa.

 Sang Penguasa telah menentukan waktu dan cara kerjanya. Tepat tanggal 2 Juli 20013 berpusat di 4,70 LU, 96,61 BT sedalam 10 km dengan kekuatan 6,2 SR.

 Sang Peneror yang ditugaskan itu masih sempat berfikir, ternyata Sang Penguasa masih menyayangi penghuni negeri itu. Waktu yang ditentukan pun bukanlah pada malam hari, di mana para penghuni negeri itu sedang terlelap tidur dalam buaian mimpi. Tetapi sore hari, pukul 14. 37 WIB, di mana  ia bekerja ketika para penghuni sedang bekerja di kebun, di kantor,  menikmati hidangan di pesta, dan anak-anak bermain di luar dengan bebasnya, yang memungkinkan mereka lebih mudah menyelamatkan diri.

Waktu yang diberikanpun tidak lama, hanya beberapa detik, yang kelak akan membuat kehancuran yang tak terperikan. Maka hai penduduk negeri, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Dan, terjadilah. Ia datang menghentak tanah, menghujam dan meratakan bangunan, menjebloskan tanah ke bawah, meruntuhkan tebing serta membelah jalan-jalan. Penduduk negeri tersentak, menjerit, beristigfar, menggeleng- geleng kepala serta menangis, panik. Inilah saatnya bencana besar untuk mereka.

   Atas nama kajian ilmiah, Sang Peneror  ini disebut manusia terjadi sebagai akibat pergeseran segmen patahan Sumatra atau Semangko. Taktik dan strateginya telah dapat dipelajari manusia . Setelah sukses serangan pertama yang ganas dengan kekuatan 6.2 SR ia  pergi dan  kembali meneror dengan serangan-serangan kecil tak berarti, namun itulah yang membuat manusia siaga dicekam ketakutan yang sangat mendalam karena mereka akan tahu akan datang serangan susulan yang bisa jadi lebih dahsyat lagi. Benar, Sang Peneror datang lagi dengan serangan yang cukup besar, 5,5 SR pada malam harinya.

Para penghuni dicekam ketakutan. Siaga dalam menghadapi serangan yang datang tiba-tiba. Tiada lagi ketenangan saat siang dan malam. Teror ini benar-benar mencekam.

Itulah takdir. Pada kesempatan itu juga Sang Penguasa telah menetapkan waktunya memanggil puluhan jiwa menghadap-Nya, terutama jiwa-jiwa suci milik anak-anak yang tertimpa reruntuhan masjid. Ratusan penghuni terluka dan ribuan bangunan hancur.

Saat usai sudah, Sang Peneror itu menjumpai salah satu temannya yang tengah duduk penuh kharisma di singgasananya yang megah, tinggi dan kokoh. Setahunya, temannya itu terakhir kali diberi perintah oleh Sang penguasa pada berabad-abad yang lalu.

“Sobat..,” katanya menyapa. “Sementara ini tugasku telah selesai. Kau tahu kan, kau sempat diisukan penduduk akan turut berperan dalam bencana ini? Penghuni negeri sangat panik dan beramai-ramai menjauhimu.”

Temannya tadi mengangguk dengan anggun. “Tetapi saatku belum tiba,” katanya. Sang Peneror yang baru menyelesaikan tugasnya itu masih terlihat bimbang.

“Entahlah nanti, apakah Sang Penguasa memberiku tugas lagi. Tapi..,” ia terhenti sejenak.

“Siapa tahu suatu saat nanti Sang Penguasa mengutus kita berdua sekalian…,”

“Ya, “ sela temannya itu dengan suara dalam dan bergemuruh. “ Siapa tahu. Sang Penguasa menitahkan kita berdua bekerja di negeri itu.”

Sang Peneror yang berwibawa itu, gunung berapi Burni Telong, menatap jauh sampai ke ujung negeri.  Ia bergumam lirih, “Hanya keimanan dan kesiagaanlah yang membuat mereka siap menghadapi ketentuan Sang Penguasa itu…,” [SY]

Takengon, 5 Juli 20013

Himmah Tirmikoara adalah putri Gayo yang lahir di Asir Asir Bawah dari ayah pensiunan PNS (Alm) dan ibu Nur Aini (mantan guru pada PGAN Takengon). Himmah Tirmikoara mulai aktif menulis sejak masih sebagai mahasiswa disalah satu perguruan tinggi di Banda Aceh, saat yang bersamaan ia bergabung dengan komunitas penulis dibawah bimbingan Helvitiana Rossa, beberapa karyanya telah dimuat dalam sejumlah buku. Meski sempat vakum beberapa tahun dalam dunia kepenulisan, Himmah Tirmikoara kembali bangkit menggeluti dunia kepenulisan di samping tetap konsen sebagai seorang tenaga pendidik di salah satu Sekolah Menengah Umum di Kota Takengon.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.