Bandit Politik, Politik Bandit dan Kesejahteraan Rakyat

oleh

Muhamad Hamka*

BANDIT sudah dikenal luas oleh masyarakat kita sebagai orang jahat. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain (2001), kata bandit diartikan sebagai penjahat besar.

Sehingga bandit politik menurut pendapat saya dapat diartikan sebagai politikus yang memanfatkan kuasa politik yang dimiliknya untuk merampok, menguras, dan menjarah uang negara untuk kepentingan privat (pribadi, kelompok dan partai politik). Kejahatan korupsi yang masif dilakukan oleh para politikus negeri ini; mulai dari jagad politik nasional hingga di tingkat kabupaten/kota kian menegaskan bahwa bandit politik ini sudah berurat akar dalam dunia politik tanah air.

Partai politik (parpol) yang notabene merupakan instrumen penting dalam membangun demokrasi yang berkualitas justru menjadi penyumbang utama dalam melahirkan bandit politik. Keterlibatan kader parpol—bahkan ketua umum parpol—dalam kejahatan korupsi mengandaikan bahwa partai politik belum menunjukan itikad baik dalam memperbaiki bangunan politik negeri ini yang sudah di degradasi para bandit politik.

Para bandit politik ini tidak lagi memikirkan narasi politik seperti apa yang konkrit dalam membangun kemaslahatan rakyat, tapi yang dijadikan sebagai pendulum dalam berpolitik adalah skenario politik culas seperti apa yang dibangun-mainkan, sehingga kursi kekuasaan tetap dalam genggaman bahkan kalau bisa daya cengkramnya bisa lebih besar.

Maka tak heran kalau demi mempertahankan status quo, dibangunlah dinasti politik. Dalam rentang sejarah lanskap tata politik mondial; dinasti politik justru melahirkan tokoh-tokoh politik mainstream dan progresif. Sebutlah keluarga Keneddy di negeri Abang Sam, keluarga Gandi di India, keluarga Aquino di Filipina, dan sebagainya. Namun, politik dinasti yang mereka bangun tidak untuk mengkapling kekuasaan dengan melakukan korupsi dan penyelewengan kekuasaan secara massif sebagaimana yang dipraktikan oleh elit politik Indonesia. Ketiga dinasti di atas justru menjadi garda terdepan dalam membangun tatanan demokrasi yang bermartabat dalam melahirkan kesejahteraan rakyat.

Berbeda dengan ketiga dinasti politik di atas, dinasti politik yang dipraktikkan di Indonesia justru berkecendrungan sebagai alat untuk melanggengkan praktik bandit politik yakni merampok, menguras, menjarah uang negara untuk melanggengkan status quo. Terbongkarnya keborokan dinasti politik Ratu Atut di Banten merupakan fakta yang telanjang bahwa bandit politik sudah menjadi kanker yang mematikan dalam tatanan politik kita.

Contoh yang tak kalah segarnya dalam ingatan kolektif bangsa adalah irasionalisme politik yang di bangun dinasti Cikeas. Demi mengamankan “enclave” kekuasaan, Presiden SBY rela menjadi Ketua Umum Partai Demokrat bersanding dengan Putranya Edy Baskoro Yudoyono di posisi Sekretaris Jenderal. Langkah politik Pak Beye ini tak lain tak bukan, diarahkan untuk mengamankan posisi Partai Demokrat sebagai partai keluarga Cikeas. Alih-alih melahirkan narasi politik yang bermartabat bagi kemaslahatan umum, posisi Presiden Yudoyono sebagai ketua umum Demokrat justru membuat waktu SBY dalam mengurus persoalan bangsa menjadi tersita oleh urusan parpol keluarga tersebut.

Dalam locus Aceh, praktik bandit politik ini malah dipertontonkan secara ekstrim. Untuk menyebut contoh, Lembaga Wali Nanggroe (LWN) yang kehadiranya di kecam secara luas oleh masyarakat Aceh karena tidak aspiratif dan mendiskriminasi etnis-etnis tertentu. Di samping itu, Lembaga Wali Nanggroe banyak menguras anggaran (APBA) bila dibandingkan dengan tugas pokok dan fungsinya yang tak jelas bagi kemaslahatan rakyat Aceh. Sehingga ada indikasi, Lembaga Wali Nanggroe hanya sebagai alat politik untuk memapankan status quo kelompok tertentu.

Yang terbaru adalah data yang di rilis oleh Sekretariat Nasional Nasional Forum Informasi Transparansi Aceh (FITRA) menyebutkan Aceh sebagai provinsi terkorup di Pulau Sumatera. Hal ini sangat masuk akal mengingat korupsi kekuasaan sudah menggurita di segala lini di Aceh. Di Aceh, kekuasaan tidak lagi dimaknai sebagai sarana untuk membangun kemaslahatan umum, tapi diposisikan sebagai alat untuk membangun dinasti politik kelompok. Sehingga segala cara dihalalkan demi keberlansungan status quo.

Di Gayo, bandit politik ini bisa kita lihat dari praktik wakil rakyat yang tidak aspiratif dan empatik dengan nestapa yang di alami rakyatnya. Di saat sidang paripurna pengesahan APBK Perubahan tentang anggaran bantuan korban gempa, sebagaian anggota dewan justru pergi menjumpai komprador getah pinus di Medan yang sudah jelas-jelas menjarah kekayaan Aceh Tengah. Belum lagi soal kolaborasi culas dalam rekruitmen komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang hingga hari ini masih disengketakan.

Politik bandit 

Politik bandit adalah politik yang di alas-tumpui oleh muslihat politik jahat; tak peduli rasionalitas dijungkir-balikkan, tidak peduli fatsoen politik dikangkangi yang penting syahwat politiknya bisa terwujud. Dalam locus nasional, mega skandal Century yang ditengarai sebagai skandal keuangan terbesar sepanjang republik ini berdiri dan merugikan keuangan negara 6,7 trilyun bahkan lebih, di duga sebagai skenario politik bandit. Banyak pihak menduga ada transaksi politik simbiosis-mutualis antara Boediono dan presiden SBY di sana. Sehingga banyak masyarakat yang kaget ketika Boediono di pilih oleh SBY menjadi wakil presiden untuk periode ke dua pada pemilu presiden 2009. Padahal Boediono tak masuk dalam bursa cawapres Pak Beye.

Politik bandit ini juga kerap-kali kita lihat dalam politik dagang sapi antar elit politik. Banyak pengamat yang mensinyalir hengkangnya Sri Mulyani dari Menteri Keuangan dengan menjadi Deputy Direktur Bank Dunia adalah hasil consensus politik bandit dua tokoh politik nasional. Begitu pun dengan laku politik wakil kita di Senayan yang di depan publik saling hujat, sementara di belakang mereka membangun lobi-lobi khas politik bandit.

Politik bandit ini dapat kita jumpai secara terang di Aceh. Meningkatnya peristiwa pembunuhan yang bermotif politik di Aceh menegaskan bahwa politik bandit sudah menjadi strategi politik dalam meraih kekuasaan. Menjelang hajatan demokrasi pasti ada pembunuhan yang dilatar-belakangi oleh kepentingan politik. Ini tentunya mencemaskan, karena politik bandit sudah menjadi aktus politik yang wajar.

Menjelang pemilu legislatif yang tinggal 38 hari, politik bandit pun kian menjamur. Janji-janji politik tak waras makin berhamburan mencemari akal sehat masyarakat. Tidak hanya janji-janji yang tak waras, pemberian uang atau barang dalam ‘menjarah’ suara rakyat pun semakin memperlihatkan politik bandit masih menjadi trend setter dalam hajatan pemilu.

Di Gayo bisa kita lihat dan dengar bagaimana politik bandit ini begitu gencar merebut pengaruh para pemilih. Mulai dari memberikan uang, pakaian, lembu, kerbau, baju olahraga, bola, seperangkat alat sholat dan seterusnya. Pemberianya semacam inilah yang disebut sebagai politik bandit. Karena pemberian tersebut bukan cek kosong, tapi para bandit politik ini sedang membeli kemerdekaan kita selama lima tahun. Dengan menerima uang dan barang, maka kita sebagai konstituen tak punya ‘kuasa’ lagi untuk menyampaikan dan menagih aspirasi dari para wakil rakyat ini. “Suara anda sudah saya beli, maka hubungan kita sudah putus, titik”, begitulah wakil rakyat ini berkilah. Lalu untuk apa ada wakil rakyat (DPR) kalau mereka tidak mewakili kehendak dan aspirasi konstituen?

Untuk itu, kita mesti jeli dan harus hati-hati dalam menghadapi politik bandit para bandit politik ini. Sekali anda mengkonversi suara anda dengan barang atau uang, maka tamatlah ‘kemerdekaan politik’ anda selama lima tahun. Anda bukan lagi subyek politik yang harus di dengar suaranya oleh wakil anda di parlemen, tapi anda adalah obyek politik yang sudah terbeli oleh bandit politik.

Kesejahteraan rakyat hanya bisa hadir ketika wakil rakyat yang terpilih berkualitas dan punya integritas yang baik, bukan bandit politik. Dan itu hanya bisa terjadi manakala anda memilih wakil (DPR, DPRA, DPRK) dengan akal sehat dan hati nurani, bukan dengan menjual diri.

*Petani Kopi/berdomisili di Paya Tumpi Baru Takengon

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.