[Cerpen] Air Mata Membanjiri Fakultas-Ku

oleh

Irama Br Sinaga

“Jalanilah harimu dengan senyum meski pahit tersenyumlah, sedih tak kan membawamu kemana-mana. Menyerah bukan pilihan, seindah apapun kupu-kupu dulu hanya ulat kepompong. Hidup perlu proses agar kita tahu bahwa hidup adalah perjuangan cita dan juga cinta.”

Pesan itu telah lamaku save di inbox handphone, jika sedang terluka, sedih dan kecewa aku selalu membacanya. Pesan itu dikirim oleh seorang sahabat. Tak pernah kusangka perjalanan ini sebegitu rumit. Begitu banyak air mata dan keringat yang tercurah, tenaga dan waktu tersia-sia. Kecewa terlalu dalam, ingin aku berteriak agar dunia dan isinya tahu bahwa aku tak sanggup menerima kenyataan.

Hari kulalui dengan berbagai skenario, kadang tersenyum dan bercanda ria juga dengan air mata. Entahlah, tak mampu kuungkapkan bagaimana perasaanku sebenarnya. Kucoba mencari titik, mungkin aku buta melihat kesalahanku. Ya, aku temukan celah itu, banyak titik noda disana.  Kucoba perbaiki dan berharap akan ada penghapus, namun keadilan itu tak mampu ditegakkan. Dinding, rumput, angin, sampah, tiang, pintu dan buku-buku di Fakultas menjadi saksi ketidak adilan itu.

Lelah aku menunggu dan mengharap, jawaban apa yang kuberi pada Umak dan Ayah di kampung? Pendaftaran Yudisium tinggal selangkah lagi, aku masih setia menunggu dan berharap keadilan itu datang. Senjapun berlalu, aku pulang dengan air mata, kucoba menahannya namun semakin mengalir.

“Ya Allah, aku tak kuasa menahan ini, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui segalanya, berilah hamba kekuatan menjalaninya, berilah hamba petunjuk Mu”. Aku mengadu pada Allah. Karena Allah Maha Adil, aku berharap Allah segera menjawab pertanyaanku, mengapa keadilan itu begitu sulit ditegakkan?????? Mengapa aku yang mengalaminya, mengapa mereka begitu sulit mengatakannya, mengapa mereka semua diam seolah-olah tidak tahu apa-apa. Hanya tinggal selangkah lagi, mengapa dan kata mengapa membuatku terpuruk, rasanya tak mungkin namun kenyataannya semua diam tak mampu berbicara.

One Day One Juz (satu hari satu Juz) pengobat luka, berusaha tegar dibalik penderitaan. Rumit bila dibayangkan, susah bila direnungkan dan sakit bila kuingat. Al-qur’an adalah kitab suci sebagai pedoman hidup manusia, di dalamnya terjawab semua persoalan dunia. Setiap hari baca Al-qur’an dan membaca terjemahannya, kutemukan di surah Ar-Ra’d ayat 28 yang artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”

Senin itu aku kembali menunggu dan berharap, berusaha juga berdoa. Kuawali dengan Bismillah apapun keputusannya berarti itu adalah yang terbaik, aku sudah siap menerima jawaban. Air mata tak kuhiraukan seberapa banyak tertumpah, kutanamkan dalam hati bahwa apapun keputusannya harus kuterima dengan segenap kebesaran jiwa. Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan apalagi yang ditunggupun belum jelas datangnya.

Kepala pusing dan pening, terik matahari kian panas yang ditunggu tak kunjung datang. Mahasiswa banyak yang bertanya, bang Ammar adalah mahasiswa lettu (leting tua), dia sidang sehari setelah aku.

“Bagaimana Im, udah daftar Yudisium apa belum?”,

Aku menjawab dengan senyuman yang ramah dan mencoba tegar.

 “Belum bang”.

“Lo, kenapa? Apa lagi yang belum siap?”

“Ada satu lagi yang belum siap, belum ada tinta persetujuan dilembaran itu”.

“Oh, sabar ya, abang cuma bisa bantu doa aja”.

“Ya, Makasih atas doanya”.

Banyak teman-teman mahasiswa akhir yang bertanya dan ingin jawaban. Aku hanya menjawab. “Jika aku tahu jawabannya apa, maka tidak mau menunggu dan berharap disini”,  aku menjawabnya dengan kesal, sensitif bila teman-teman bertanya karena aku pikir mereka sudah tahu dan tak perlu dipertanyakan lagi.

Pagi dan siangpun berlalu, terasa bagai setahun aku menunggu. Setelah ashar aku kembali menunggu dan berharap di ujung lobi Fakultas. Berharap keadilan itu datang menjemput, namun takdir berkata lain. Senja hampir pupus, aku dan kawan-kawan mendatangi keadilan itu, dengan harapan sangat dalam dan ternyata aku harus pulang air mata.

Sungguh tidak tahu lagi bagaimana caranya meminta keadilan itu, kuangkat wajah ke atas agar air mata ini tidak jatuh. Lelah mengejar keadilan, aku lebih memilih diam dan mengatur kata-kata agar Umak dan Ayah tidak kecewa. Aku belum mampu menghubungi mereka, belum siap untuk mengatakannya.

Sehari sebelum Yudisium, aku dan kawan pergi merefresh pikiran, kami beli minyak kereta (sepeda motor) full tank, kami berhenti ketika minyak itu sudah habis. Kami terus berjalan hingga dipenghujung kota. Diperjalanan Ata menangis terisak-isak, aku geram melihatnya.

“Kalau kamu menangis lagi, aku tinggalkan kamu disini, mau..!”. Intonasikupun meninggi.

“Gak mau”. Jawabnya terisak

“Ya udah, kalau gak mau jangan nangisi. Orang hidup ditangisi”. Jawabku kesal dan membawa kereta kecepatan 100/km, kami hampir terserempet mobil.

“Hati-hatilah bawanya”. Ternyata kawan Ata takut mati juga.

“Ya beh, makanya jangan nangis”. Aku tak mau dia terus bersedih, tak ada menit yang dilewati tanpa air mata.

Tak terasa minyak kami tinggal setitik lagi, kami sudah keliling kota dan kampung. Kami berhenti di tempat makan, seperti biasanya jika sedang bersedih maka makanan apapun tidak selera. Berbeda dengan aku, jika sedang sedih makan apa saja dan bahkan aku mencari tempat yang lebih mahal dan enak.

“Makanlah, jangan gara-gara itu kamu sakit pula”. Aku melihatnya sedih karena badanya kurus dan lemas.

“Ya, aku lagi gak selera” jawabnya lemas

“Kalau kamu gak makan, kamu bayarin semua apa yang ku makan dan ku ambil, mau..!” sengaja ku gertak dia, biyar dia mau makan pasti dia gak mau bayarin. Aku pesan apa yang aku suka.

”Yee, enak aja, kamu yang makan aku yang bayarin”. Jawabnya kesal

“Nah, kalau gak mau, makanya makan”

“Ya beh, aku makan ne”.

“Yang banyak makannya, kalau gak,…”

“Apalagi..” dia langsung potong

“Aku makan punya mu ha ha..”.

Saat itu aku melihat senyumannya, air mata sedikit mengering. Sedang asyik makan abang memanggil…

Hmmm aku tarik nafas dalam-dalam,Ya Allah apa yang harus aku katakan pada ayah dan umak.

“Assalamu’alaikum ayah”

“Wa’alaikumsalam, bagaimana kabar mu nak”

“Alhamdulillah sehat yah, Ayah dan umak bagaimana, sehatkan?”

“Alhamdulillah kami semua sehat, bagaimana wisudanya, tanggal berapa?”

“Ayah…. (sejenak berhenti), wisudanya ditunda”.

“Kenapa bisa, kemarin dibilang bulan ini”

“Ya ayah, tapi karena satu sarat lagi belum ada makanya ditunda”.

“Oh, berarti wisudanya gak ditunda tapi ima yang gak bisa wisuda kan?”.

“He he iya yah..keadilan itu tak mampu ditegakkan ya, seribu pasir tak mampu mengalahkan satu batu, semua terdiam, maafkan aku Ayah”, aku menahan air mata.

“Hemm sudahlah, jangan menangis, kalau bisa pulang aja dulu, semua keluarga merindukanmu”

“Ayah,aku tidak bisa pulang sebelum urusan selesai”

“Anakku, kemarin kamu hanya diuji oleh empat orang penguji. Belum seberapa. Setelah kamu wisuda dan pulang, saat itu pula kamu akan diuji oleh dunia. Oleh masyarakat. Lebih kejam dan penuh tantangan, selesaikan dulu urusanmu nak, jangan tangisi tapi lakukanlah yang bermanfaat. Pesan Ayah, janganlah jadi orang berhasil tapi jadilah orang yang berguna sekalipun kelak kamu jadi profesor jika tak mampu menolong orang lain itu sama saja bohong, jika hari ini kamu mampu melawan deritamu berarti kamu sudah sukses”.

Aku mendengarkan dengan seksama.

“Mengapa Allah memilihmu? Karena Allah tahu kamu mampu melewatinya, jika kawan-kawanmu yang lain merasakan apa yang kamu rasakan saat ini mungkin tah apa yang terjadi, mungkin saja dia stres, sakit, bahkan bunuh diri tapi kamu tidak, kamu berbeda dengan yang lain, kamu mampu menghadapinya. Ayah selalu mendoakanmu nak, jangan pikirkan kami nak, ingatlah yang terbaik itu bukanlah selalu yang terindah”. Ayah mengakhiri nasehatnya.

“Iya yah..” aku tak mampu menahan air mata, jika oranga tua ku saja ikhlas kenapa aku yang tidak ikhlas. Semua yang ku lakukan diperantauan ini atas ijin orang tuaku, aku tidak akan pergi jika belum ada izin orang tuaku, aku tak akan masuk organisasi jika belum orang tua tahu.

“Oea, kemarin kakak ipar mu minta tolong, jika kamu pulang, dia minta tolong kamu jagain keponakanmu, cuma satu bulan”. Ayah mengalihkan pembicaraan.

“Ya yah, ada dihubungi kemarin”. Hemmm ternyata setelah sidang aku jadi babysister, tapi tak apalah, satu bulan di Medan lebih baik daripada satu hari diperantauan ini.

“Yaudah, kalau pulang nanti hubungi Ayah ya?”

“Iya yah”. Jawab ku singkat.

Aku menatap kawan sedang makan, ternyata dia takut bayarin pesananku, sehingga dia berusaha menghabiskan makanannya. Aku tersenyum melihatnya dan senang kalau dia makan, aku takut dia jatuh sakit. Haripun kian senja, aku antar dia hingga di kos dan aku memperbaiki skripsi di kamar.

Pagi ini matahari membungkukkan diri. Detik-detik yudisiumpun mulai tercium, aku memilih menyuci baju, menyetrika dan membersihkan kamar dan setelah itu aku hadiri undangan kawan-kawan yang yudisiumi. Awalnya mau pulang kampung karena aku merasa tidak sanggup melihat kawan-kawan menggenakan kebaya, aku paksakan menangis saat sedang menyuci agar ketika jumpa dengan mereka air mata telah habis tumpah bersama cucian.

Rasanya tak utuh kebahagiaan enam sekawan apabila masih ada rekan seperjuangan yang tak sama-sama merekahkan senyum. Terrasa hambar binar mata mereka karena  beradu dengan air mata teman sendiri. Aku yang berusaha dan telah mengeringkan air mata ternyata tak mampu jua menahan. Dari bawah aku lihat mereka, mataku mulai berkaca-kaca setelah mereka menghampiri, aku menyambut dengan senyuman dan berpelukkan serta mengucapkan selamat. Tak kuasa air mata ini mengalir deras, para mahasiswa menyaksikan adegan kesedihan kami. Mereka semua tahu bagaimana perjuangan kami hanya karena goresan tinta menunda yudisium kami semester ini.

Seperti kebiasaan, setiap momen harus diabadikan, kawan-kawanpun mengajak berpose-pose, karena aku terlanjur menangis maka air mata  itupun tak berhenti. Rasanya sakit sekali, aku tak melihat keadilan disana. Para dosen tak sanggup menatap wajah ketika kami bertanya dan berbicara, mereka sangat terpukul juga, geram rasanya. Hanya karena goresan tinta kami harus meratapi hidup diperantauan ini.

Aku coba berhenti menangis dan aku tak mau dihari bahagia kawan-kawanku mengeluarkan air mata karena hari ini mereka terlihat cantik.

“Yang sabar ya sob, semua pasti ada hikmahnya”. Kawan-kawan mencoba menghibur

Aku tak menjawab, semakin dibilang sabar maka air mata ini semakin mengalir. Hari itu semua orang merasa iba melihat kami, rasa tak mungkin dan geram namun nasi sudah menjadi bubur kami hanya bisa menerima kenyataan.

Enam sekawan berkumpul dan kami diajak makan bersama di bawah pohon halaman Fakultas. Tak ada canda tawa tercipta dalam lingkaran itu. Ata adalah kawan senasib denganku, awalnyaku pikir kami mampu melewati hari. Air mata membanjiri Fakultas.[SY]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.