Aku, Profesor, Dokter dan Penjual Gorden Keliling

oleh

Ahmad Dardiri*

BERCERITA dengan dokter ini memang menarik. Orangnya ramah dan suka berbagi cerita. Bercerita berbagai hal, tentang kesehatan, ilmu pengetahuan, ilmu agama, pengalaman pribadi dan lain sebaginya. Sore Jumat, 14 Februari 2014 sekitar jam 17.00 WIB saat antar anakku yang kedua Nida Mardhiah yang sakit gigi, aku bertemu dengan dokter ini di tempat praktik dokter gigi yang membuka praktik di kota Takengon. Entah mengapa aku merasa senang dan bahagia bila bertemu dengannya. Mungkin karena sikapnya yang ramah dan suka berbagi itu.

Pernah aku berobat kepadanya saat dokter ini  bertugas di Puskesmas kampungku, ketika  itu aku membayar dengan uang yang lebih besar dari tarif yang ia minta. Ternyata tidak ada uang kembalinya. “Kapan-kapan saja bayarnya, ” ujarnya kepadaku. Karena berbagai kesibukan aku tidak bisa segera membayarnya atau mengantarnya. Tetapi aku selalu ingat, aku berutang.

“Pak dokter, aku mau bayar utang, “ kataku di rumah dinasnya. Ya, aku sempatkan diri untuk mengantar uang, apalagi sakitku sudah sembuh. “Utang apa,” kata dokter. “Tempo hari aku berobat dan belum bayar Dok,” ujarku. “Aku tidak ingat,” tukasnya. Lalu aku pun membayarnya.

Yah, dokter boleh tidak ingat, tapi aku selalu ingat. Apalagi ketika isteriku hamil pertama pada tahun 2002, Aku nikah tahun 2000 bulan Nopember, jadi masih bisa dikatakan penganten baru saat itu. Isteriku pada usia kehamilan antara 2-3 bulan mengalami pendarahan. Aku ceritakan kronologis terjadinya pendarahan itu dengan malu-malu, dokter menyimak dengan serius. Lalu dia bertanya, “Bagaimana kuatnya,” kata dokter padaku. Aku tersipu, sambil melirik isteriku yang juga tersenyum. “Ah, Pak Dokter, “ gumanku dalam hati.

Banyak sekali hal-hal baik yang bisa jadi ingatan saat bertemu dan bercerita dengan dokter yang rajin salat berjamaah ini. Pada suatu saat, usai salat Jumat di Masjid Agung Ruhama Takengon, setelah bercerita berbagai hal, terseliplah cerita tentang makanan. Kita perlu menjaga makanan kita, makanlah makanan yang sehat. Aku diingatkan untuk menjaga makanan baik untuk diriku juga keluargaku. Jangan biasakan anak-anak jajan sembarangan. Termasuk juga makanan yang dimasak di rumah kita, jangan menggunakan penyedap rasa yang dijual bebas. Tidak baik, katanya. Tentang penyedap rasa,  isteriku memang tidak menggunakannya. Lalu ia bercerita, ketika bertugas di rumah sakit ia membawa bekal dari rumahnya. “Saya bawa ubi rebus dari rumah, jika ada kawan yang berminat, boleh makan bersama-sama,” katanya. Wah, bagiku cukup mengagumkan, dia seorang dokter, yang dari sisi ekonomi pasti berkecukupan, kok ya jajanya bukan yang siap saji dari pabrik gitu.

Rajin Mengaji dan Membaca

Sambil menunggu antrean, sore itu kami juga bercerita. Kami saling bertanya tentang kesehatan, keluarga, dan apa maksud kedatangan ke tempat praktik dokter gigi. Ternyata dokter ini akan memeriksakan kesehatan dan kebersihan giginya. Setelah bertanya keadaan ayahku, dia juga menyampaikan salam kepadanya. Lalu kami pun bercerita yang lain.

Saat duduk menunggu panggilan aku mendapati dokter ini sedang membuka tabletnya. Yang dibukanya adalah menu Alquran. Tak lama kemudian, ia mematikan dan menutup tabletnya. Kemudian Ia bercerita, bahwa sekarang lebih enak membaca Alquran cetakan Arab Saudi, terang dan lebih mudah membacanya. Membaca Alquran merupakan kegiatan rutin baginya. Di waktu senggang atau sedang menunggu antrean maka dia gunakan kesempatan itu.

Jadwal tetapnya adalah usai salat subuh, targetnya adalah One Day One Juz (ODOJ). Sebelum berangkat ke tempat tugas. Ia mengungkapkan bahwa malam Sabtu dan Minggu dokter spesialis anestesi ini belajar mengaji kepada seorang Qari untuk memperbaiki bacaan Alqurannya bersama sembilan orang teman. Ia  sudah meminta kepada Qari tadi untuk menyimak satu juz bacaan Alqurannya. Dan malam nanti merupakan malam pertama, katanya.

Selain berguru langsung dengan Qari, dokter ini juga rajin mendengarkan MP3 bacaan Alquran Syeikh Abdur Rahman as-Sudais Imam Masjidil Haram, Syaikh Su’ud Asy-Syuraim Imam Masjidil Haram, dan Syeikh Mishary Rasyid Imam Masjid Al Kabir (Grand Masjid) di Kuwait City. Hebat, dalam kesibukannya sebagai dokter, masih ingin selalu belajar dan memperbaiki ilmu yang telah dimiliki agar tahu ilmu-ilmu mana yang sudah benar dan mana yang salah. “Merasalah untuk tidak tahu, terhadap apa yang kita yang telah kita ketahui,” katanya mengutip kata-kata dosennya ketika mengambil spesialisasi di Makasar.

Kata-kata ini juga mengingatkanku akan sosok Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar, MA salah satu guru besar UIN Ar Raniry yang aku kagumi. Saat akan menyelesaikan studi pascasarjana, aku dan beberapa teman kuliah  Pak Mahmud Ibrahim Ketua Baitul Mal Kabupaten Aceh Tengah, Mustafa Kamal, Parihin, Sahmanar, Idesviana Manurung harus mengikuti tes komprehensif. Kami  diberinya lima buku olehnya untuk dibaca, dan bila sudah selesai, kami akan diuji tentang isi buku dan pandangannya terhadap buku tersebut. Ternyata kami harus dua kali tes, karena tes pertama kami tidak lulus dan hanya Pak Mahmud Ibrahim yang lulus sekali tes. Beliau memberi nilaiku di bawah Pak Mahmud Ibrahim dan di atas teman-temanku. Jadilah aku orang pertengahan.

Pesannya usai mengetes kami, “Jangan hanya kali ini saja buku itu dibaca, berulang-ulanglah agar bisa memahami lebih dalam, dan buku-buku itu sudah saya baca lebih dari lima kali, “ ujar Profesor Al Yasa mengingatkan. Untuk membangkitkan kegemaran membaca, bagiku profesor ini sangat mengagumkan disamping beberapa hal yang juga aku kagumi. Aku baca novel “Laskar Pelangi”-nya Andrea Hirata sekali saja sudah merasa cukup, eh… ternyata beliau saat menyampaikan Studium General pada kami di kampus STAI Gajah Putih mengatakan bahwa, sudah 10 kali membaca novel ini. Dengan demikian, kita bisa mengkritisi isi dalam novel itu, ujarnya ketika itu. Pasti beda kan, baca sekali dengan sepuluh kali?

Untuk membaca buku-buku spesialisasi keilmuannya sebagai dokter, aku tidak tahu persis. Karena bila ditanyakannya pun aku tak begitu memahami. “Sekarang saya sedang menyelesaikan bacaan Kitab Al-Ummnya Imam Syafi’i,” katanya.  Al Umm adalah Kitab Induk yang menjelaskan secara terperinci tentang Ilmu Fiqih (hukum Islam) yang ditulis Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i yang terkenal sebagai Imam Mazhab dan terkenal dengan nama Imam Syafi’i. Ia melanjutkan, katanya: “Buku ini merupakan ringkasannya, terdiri dari 3 jilid,” Katanya lagi, bahwa buku ini dipesan langsung ke penerbit. Ada beberapa buku lagi, yang rencana akan ia pesan. “Tunggu ada rezeki,” kata dr. Iftahuddin, Sp. An. pria asal Lhokseumawe yang sekarang bertugas RSUD Datu Beru di dataran Tinggi Gayo Takengon.

Dari perbincangan sore itu, sambil antre aku mendapatkan pencerahan, bahwa apa pun profesinya, membaca itu perlu, kapan dan di mana saja. Dan untuk membaca itu harus ada kemauan dan tekad yang kuat. Bagaimana tidak, bila kita mengikuti kesibukkan tentu tak akan ada habisnya kesibukan itu. Selalu ada saja alasan. Jadi harus pandai-pandai menggunakan waktu.

Dan untuk membaca memang perlu modal, terutama modal kemauan, kemudian buku, majalah, koran, akses internet dan lain-lain. Dan itu bisa didapat dengan membeli atau pun gratis. Seperti Mang Ayi (Kisahnya pernah ditulis di Majalah Tarbawi Edisi 177 Th.9 / April 2008), yang bernama lengkap Ayi Rohaman dari kampung Arjasari Bandung, ia merupakan penjual gorden keliling rela menyisihkan penghasilannya untuk membeli buku guna mengisi perpustakaan pribadinya yang dibuat di teras rumahnya agar anak-anak di kampungnya bisa membaca tanpa membeli. Bukan hanya modal uang, modal kekuatan mental juga diperlukan. Mang Ayi pernah juga diejek karena suka membaca, kata pengejek: “wah tukang gorden kayak orang kaya, pagi-pagi udah baca koran”. Dan Mang Ayi santai saja tidak marah.

Aku sebagai guru, yang akan mencetak manusia dengan berbagai aneka ragam cita-cita para siswa, aku menyadari perlu banyak memahami berbagai keilmuan sehingga bila siswa bertanya tentang sesuatu, sekali pun tidak mendetail kiranya aku mampu memberi gambaran umum sukur bisa lebih khusus dan mendalam, dan untuk mendapatkan pemahaman itu harus melalui proses, yaitu membaca.

Ada lagi, yang patut jadi renungan, bahwa bangga terhadap apa yang telah dimiliki, adalah merupakan hambatan untuk mengevaluasi diri. Kita harus selalu mengevalusi apa yang telah kita dapatkan. Harta yang kita miliki, apakah dari sumber yang halal, makanan yang kita makan, apakah akan menjadikan tubuh kita sehat, ilmu yang kita dapatkan apakah sudah benar dan sudah kita amalkan. Janganlah kita merasa tenang, terhadap apa yang telah kita kerjakan dan dapatkan. Seperti dokter, merasa belum benar baca Alqurannya maka ia mengaji, belum sempurna amalan ibadahnya maka ia membaca kembali buku-buku fiqih. Seperti profesor buku yang sudah kita baca perlu dipahami secara mendalam dan dikritisi, seperti penjual gorden yang memberi contoh dengan gemar membaca untuk membangkitkan anak-anak agar gemar membaca bahkan gelisah melihat anak-anak kampungnya susah tidak ada buku, maka ia ciptakan perpustakaan.

Kembali lagi, untuk mengevaluasi diri kita juga harus membaca, apa yang telah kita lakukan kemarin, apa yang telah kita dapatkan saat ini, apa yang akan kita lakukan ke depan? Ayo membaca… bukankan membaca itu perintah Allah swt yang pertama kali disuruh kepada Nabi Muhammad saw?

*Guru MTsN Jagong Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.