[Features] Nyanyian Kayu Mane di Rumoh Aceh

oleh

Rahmi

 

SAYA berdiri cukup nyaman hanya untuk melihat tetesan hujan yang menangis semenjak pukul delapan pagi. Langit tebal dan awan hitam seakan menghantui niat saya untuk bergegas menuju Peuniti, salah satu daerah di Banda Aceh. Seminggu yang lalu, dosen mata kuliah reporting, editing and writing mengajak kami untuk kuliah praktek ke salah satu tempat bersejarah, Museum Aceh. Terpancar aura bahagia dari mahasiswa unit dua ketika ide tersebut disampaikan oleh seorang dosen muda, di ruangan sempit itu.

Rabu pagi Banda Aceh diguyur hujan. Dari  jendela kamar, saya melihat rinai hujan yang terus saja mengguyur kota. Cuaca memang kurang mendukung, namun tak mengendurkan niat untuk tetap melanjutkan misi perjalanan ke Museum Aceh.

Roda sepeda motor melaju perlahan. Udara dingin dan tetesan hujan menusuk jaket tebal hingga kekulit tipis. Aspal hitam yang biasanya kering, kini mulai tergenang. Setengah jam perjalanan dari rumah hingga sampai ke Museum Aceh. Di gerbang masuk, kendaraan saya nyaris terpeleset. Genangan air membuat jalanan licin. Saat melewati pintu masuk Museum, cuaca seakan berubah menjadi hangat. Padahal rintik hujan masih saja membasahi Museum Aceh. Lonceng Cakra Donya dan Rumoh Aceh bagai menyambut hangat kedatangan saya.

Dari kejauhan, teman-teman terlihat asik berfoto ria. Mereka sedang mengabadikan moment sebuah tempat sejarah yang masih kokoh, meski telah dimakan usia. Pada sebuah sudut tak jauh dari meja petugas, sebuah benda dari kayu menarik perhatian saya. Benda itu adalah Jeungki, sebuah alat yang dipakai pada masa lalu sebagai penumbuk padi.

Selain padi, Jeungki juga digunakan untuk menumbuk tepung, sagu, kopi, bumbu masak serta obat-obatan. Alangkah disayangkan, keberadaan Jeungki sudah sangat langka dikalangan masyarakat Aceh.  Berkembangnya berbagai alat teknologi modern menyisihkan Jeungki. Benda ini semakin terasing.

Mata ini masih saja memperhatikan alat unik tersebut, tanpa sadar saya teringat masa kecil dulu, saat liburan ke rumah nenek. Disana masih kental budaya dan hal-hal tradisional lainnya.  Pada setiap rumah mereka pasti memiliki alat tradisional ini.

Beberapa saat kemudian, nampak sebuah mobil kuning masuk ke pekarangan Museum. Ternyata dosen yang kami tunggu-tunggu telah tiba dan langsung menuju ke meja petugas Museum  Aceh. Kami segera merapat dan mendengarkan arahan beliau dalam proses mata kuliah praktek. Siang itu kami menjelajahi tempat bersejarah tersebut. Mulai dari menaiki Rumoh Aceh yang ditopang oleh 44 kaki yang terbuat dari kayu, masuk ke gedung pameran temporer yang disambut oleh kerbau berkepala dua, Maket Mesjid Raya dari masa ke masa, kepingan emas pada zaman Kerajaan Aceh dan masih banyak koleksi lainnya yang disimpan di sana.

Saya dan teman-teman sangat tertarik menikmati keindahan dan keunikan benda-benda tersebut, namun jam sudah menunjukkan pukul dua belas kurang sepuluh. Pertanda waktunya istirahat dan Museum Aceh akan ditutup sejenak hingga jam dua siang nanti. Akhirnya kami memutuskan untuk berfoto bersama di antara alat-alat tradisional yang berada di bawah Rumoh Aceh.

Saya kembali melirik pada Jeungki yang berukiran unik disetiap sisinya. Seperti yang dituliskan dalam website acehtourismagency, masyarakat Aceh membuat Jeungki dari  pohon kayu mane. Bentuknya diukir bagus dan penuh dengan seni. Panjang Jeungki biasanya lebih dari dua meter. Di ujung  Jeungki dipasangkan sebuah alu, sebagai alat penumbuk padi atau berbagai macam bahan yang ditumbuk dan dimasukkan dalam sebuah lesung yang  juga dibuat dari kayu. Proses penumbukan dengan Jeungki membuat hasil gabah (padi) menjadi lebih  murni.

Selain dijadikan sebagai alat penumbuk gabah kering giling dan tepung, Jeungki bagi masyarakat Aceh terutama bagi ibu rumah tangga dan dara gampong, dapat juga dijadikan sebagai sarana olahraga. “Dengan adanya sitem penumbukan padi  dalam bahasa Aceh disebut  (Rhak Jeungki) dapat menguatkan otot-otot dan gerakan anggota tubuh bagi wanita gampong secara rutin, juga menjadi sebuah penghematan ekonomi dalam rumah tangga. Dalam sebuah Jeungki ada empat sampai lima wanita bekerja secara saling membantu. Bagi para gadis berdiri menginjak di ujung Jeungki, sementara ibu rumah tangga duduk di pinggir lesung menjaga tepung sambil menghaluskan (hayak). Namun, selama langkanya Jeungki bagi wanita desa mulai renggang pula keakraban dan kebersamaan di dalam gampong.” tulis website tersebut.

Hujan telah usai saat kami hendak meninggalkan Museum Aceh. Pengalaman yang tak ternilai harganya bisa berpetualang ketempat yang mengoleksi benda-benda bersejarah tersebut. Memang, sejarah adalah sejarah. Meskipun kita sudah meninggalkannya, tapi harus tetap dikenang dan dilestarikan dalam ingatan dan catatan. Sebuah budaya yang pernah ada di masa lalu, merupakan salah satu fase dari budaya dan sejarah disaat ini. Saat dimana orang Aceh seperti saya mungkin akan begitu merindukan nyanyian kayu mane, Jeungki. [SY]

rahmiRahmi, adalah mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Universitas IslaM Negeri  (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh. Kelahiran Aceh Besar 3 Februari 1991. Memiliki hobi photography dan travelling.Selalu optimis & senyum manis J.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.