Perbedaan Jurnalisme Damai dengan Jurnalisme Perang

oleh

oleh : Rahmi Fitriyah*

Rahmi Fitriyah
*Rahmi Fitriyah lahir pada tanggal 9 April 1992. Alumni MAN Model Banda Aceh. Saat ini sedang studi di jurusan KPI-Jurnalistik, UIN Ar-Raniry Banda Aceh (No. Mhs. 411005982). Tulisan ini adalah tugas akhir semester dalam Mata Kuliah Jurnalisme Damai.

JURNALISME merupakan sebuah aliran yang berkaitan dengan aktivitas mencari, mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi kepada khalayak. Sementara damai berarti aman dan tenteram. Dari kedua kata itu dapat ditarik sebuah pengertian bahwa jurnalisme damai adalah paham dalam jurnalistik yang menerapkan konsep perdamaian dalam setiap pemberitaannya.

Jurnalisme damai merupakan kritik terhadap jurnalisme perang yang lebih memfokuskan pada konflik dan kejadian kekerasan. Jurnalisme perang merupakan aliran jurnalistik yang dapat memunculkan konflik baru dan kerugian bagi pihak tertentu akibat pemberitaan yang disiarkan.

Henny Puspawati dalam tulisannya yang bertema “Jurnalisme Damai dan Jurnalisme Perang di Media” menyebutkan, media memiliki kekuatan untuk mempengaruhi publik melalui proses pembingkaian berita (framing), pengemasan dan penggambaran fakta, pemilihan sudut pandang, serta penempatan foto ataupun gambar. Di sinilah media dihadapkan pada dua realitas, yaitu sebagai peruncing konflik atau sebagai mediator untuk mengakhiri konflik. Media bisa menjadi alat propaganda dan alat perdamaian. Semua itu tergantung pada lembaga pers yang memberitakan.

Untuk melihat bagaimana perbedaan antarkedua paham tersebut, kita harus melihat karakteristik dari masing-masing jurnalisme. Jurnalisme damai memandang pertikaian maupun konflik sebagai sebuah masalah yang harus segera diatasi. Sementara dalam kacamata jurnalisme perang, perang maupun pertikaian merupakan hal yang menarik untuk diekspos.

Seperti yang disebutkan oleh Suko Widodo dalam artikel “Prinsip Kerja Jurnalisme Damai”,  pemberitaan jurnalisme damai didasarkan pada pendekatan menang-menang, tidak memandang siapa yang kalah dan siapa yang menang. Berbeda halnya dengan jurnalisme perang yang mendasarkan kerja jurnalistiknya pada pendekatan kalah-menang.

Dalam hal objek pemberitaan, jurnalisme perang tertarik pada konflik, kekerasan, korban yang tewas, dan kerusakan material. Pada jurnalisme damai, hal yang menarik untuk diangkat sebagai berita adalah kerusakan dan kerugian psikologis, budaya, dan penderitaan korban konflik. Jurnalisme ini mengarah pada pemberitaan yang memiliki nilai human interest (Salman Yoga S, kuliah bulan Desember 2013).

Penganut jurnalisme damai selalu mencari tahu asal-usul konflik dan alternatif penyelesaian. Sedangkan pada jurnalisme perang, pers enggan menggali asal usul konflik dan mengabaikan alternatif penyelesaian. Hal itu disebabkan karena persoalan konflik merupakan hal yang mengundang perhatian publik. Seperti pada kasus konflik Aceh, media menampilkan berita kekerasan sebagai menu utama pemberitaan.

Dengan adanya pemberitaan yang menganut konsep perdamaian, media berpeluang untuk mendekatkan kedua belah pihak untuk berdamai. Tidak seperti jurnalisme perang yang justru memperjauh peluang kedua belah pihak untuk menghentikan pertikaian. Dari sudut pandang publik, secara tidak langsung media sebenarnya sedang menggiring audien untuk memihak salah satu dari pihak yang bertikai.

Suko Widodo menyebutkan bahwa jurnalisme damai juga melaporkan setiap kejadian dengan frame yang lebih luas, lebih berimbang, dan lebih akurat. Hal ini dilakukan karena media harus melihat satu persoalan dari berbagai perspektif, bukan melihat satu sudut pandang saja. Semua pihak mendapat porsi yang sama dalam setiap pemberitaan.

Jika jurnalisme perang cenderung mengekspos dan menekankan semangat untuk bertikai, maka jurnalisme damai hadir sebagai media yang mengekspos perdamaian. Hal itu sangat dipengaruhi oleh pemilihan judul, diksi kata, dan konten berita. Jurnalisme damai menghindari penggunaan kata yang memicu konflik dan bersifat ambigu.

Sebagai contoh, sebuah surat kabar di Aceh pernah memberitakan peristiwa penyerangan terhadap sebuah masjid. Dalam berita itu, media tersebut tidak mengungkapkan secara detail tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan karena dapat menyulut kemarahan masyarakat. Dalam hal ini, jurnalisme damai bukan menyembunyikan fakta, tetapi memilih fakta yang lebih bijaksana. Tujuannya agar tidak terjadi perpecahan maupun konflik baru.

Sementara pada pers yang menganut jurnalisme perang, media lebih fokus terhadap  jalannya konflik dan kekerasan yang terjadi. Dalam beritanya digambarkan bagaimana penyiksaan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang berperang. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan kebencian bagi orang yang membaca atau melihat berita itu, meski peristiwa tersebut sudah lama terjadi.

Media memang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi massa. Namun sebagai media yang baik, sudah seharusnya menerapkan prinsip jurnalisme damai dalam setiap pemberitaan demi terciptanya perdamaian. Pers berperan aktif menjadi bagian dari sebuah solusi, bukan justru memperparah keadaan dengan pemberitaan-pemberitaan yang berbau perang dan pertikaian.[]

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.