Jurnalisme Damai, Sebuah Tinjauan Sejarah

oleh

Agustina*

 

DALAM dunia jurnalistik kita seringkali mendengar istilah jurnalisme damai. Jurnalisme damai mulai dikenal di masa-masa kemerdekaan, muncul sebagai lawan dari jurnalisme perang atau konflik yang terkenal keras dalam pemberitaan. Jurnalisme damai adalah jenis jurnalisme yang memposisikan berita untuk mendorong dilakukannya analisis konflik dan tanggapan tanpa-kekerasasn/non-violent (satrioarismunandar6.blogspot). Jurnalisme damai tidak memihak pada salah satu pihak yang bertikai, tetapi lebih menyorot  aspek-aspek apa yang mendorong bagi penyelesaian konflik. Dari tujuan tersebut, maka yang diangkat adalah hal-hal yang sifatnya mendukung ke arah perdamaian (isai.or.id/aceh).

Ketika Amerika bersama sekutunya menyerang Irak yang dipimpin Saddam Husein dalam “Operasi Badai Gurun” pada Perang Teluk tahun 1997. Salah satu jaringan televisi dunia CNN, melakukan peliputan eksklusif siaran langsung detik demi detik peristiwa yang meluluh lantahkan bangunan-bangunan di Irak serta mencabut ribuan nyawa mulai dari anak-anak hingga lanjut usia. Semua itu disiarkan secara terbuka dan tervisualisasi dengan vulgar sebagai sebuah sajian “hiburan”. Hingga pada akhirnya di Amerika sendiri, terjadi protes keras dari kalangan akademisi, jurnalis, politisi dan masyarakat. Intinya menolak berbagai liputan perang tersebut yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai luhur jurnalisme dari sudut kemanusiaan.

Dengan dipelopori oleh Prof. Johan Galtung dan para penggiat dan pakar perdamaian lainnya, mereka menggagas kembali Jurnalisme Damai (Peace Journalism) pada suatu pertemuan di Taplow Court, Buckinghamshire, Inggris, pada tahun 1997, yang dihadiri oleh para wartawan, ilmuwan dan mahasiswa dari Eropa, Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika.

Sebenarnya Indonesia telah mengalami banyak insiden kekerasan yang berbau SARA sejak 1998, mulai dari kekerasan rasial pada 13-14 Mei 1998 di Jakarta terhadap etnis Tionghoa, pembersihan etnis Madura di Sambas, Kalimantan Barat pada 1999, konflik di Maluku 2000-2001, darurat sipil di Aceh, dan konflik Muslim-Kristen yang kronis di Poso sejak Desember 1998. Namun Jurnalisme damai di Indonesia mulai menjadi wacana saat terjadi kerusuhan di Maluku pada tahun 1999.

Jurnalisme damai di Indonesia juga untuk menghindari apa yang disebut dengan ”talking journalism” atau jurnalisme omongan. Dimana kaidah pers ”big name big news, no name no news” masih berlaku. Pada masa Orde Baru, orang-orang penting seperti pejabat tinggi negara dan militer menjadi narasumber yang omongannya dipercaya dan menjadi sebuah fakta kebenaran. Dimana setiap pejabat dengan pangkat dan nama besarnya dianggap mewakili klaim atas seluruh kejadian dan kebenaran. Setiap terjadi suatu peristiwa, mereka selalu dijadikan narasumber. Sehingga jelas bahwa berita tidak bersifat komprehensif dan berat sebelah.

Saat itu media yang menjadi andalan setiap orang dalam memperoleh informasi juga terseret dalam perpecahan. Adanya pemisahan kerja wartawan muslim dan wartawan kristen saat itu menjadi suatu pemicu semakin terpecahnya golongan masyarakat di Maluku. Akibatnya, konflik pun semakin memanas. Ternyata media yang ada tidak menyajikan berita secara berimbang. Karena keberpihakan media itulah, pertikaian terus berlangsung. Wartawan muslim dalam Ambon Ekspres dan wartawan kristen dalam Suara Maluku masing-masing saling menyudutkan lawan.

Mereka pun mengeksploitasi sebuah peristiwa secara berpihak dan vulgar. Seringkali dalam meliput berita pun mereka hanya mengandalkan beberapa narasumber yang bahkan kadang-kadang diragukan kredibilitasnya. Mulai dari situlah jurnalisme damai mulai dirasakan penting untuk digunakan dalam kegiatan jurnalistik khususnya dalam pemberitaan konflik. Tujuannya agar media yang sifatnya umum tidak dijadikan alat propaganda dan pemberitaan yang disajikan pun bersifat lebih manusiawi.

Di Indonesia, jurnalisme damai ini diperkenalkan secara luas melalui berbagai training dan penerbitan dari LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan). Dan memang sudah sepantasnyalah jurnalisme damai ini diterapkan di Indonesia karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, yang terdiri dari berbagai agama serta adat istiadat yang berbeda yang rawan timbulnya konflik sebagaimana dinyatakan oleh Bachtiar Hakim dalam blognya.

Agustina

*Agustina adalah mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, No. Mhs. 411005970. Tulisan ini adalah tugas akhir semester dalam Mata Kuliah Jurnalisme Damai.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.