Menatap Gayo

oleh

(Suatu Tela’ah Budaya dan Falsafah)

 Yusra Habib Abdul Gani
(Director Institute for Ethnics Civilization Research)
email: yusrahabib21@hotmail.com
Web: www. acehvision.com

Pengantar

Pada 21 Desember 2012, masyarakat dunia merasa gundah dan resah, jika sekiranya kisah legenda Suku Maya yang mendiami Coba di state  Quintana Roo, Mexico menjadi kenyataan. Pasalnya: mengikut kalender suku Maya, jadwal ‘yaumil qiamah’ terjadi pada 21. Desember 2012. Ternyata tafsiran ‘yaumil qiamah’ diartikan sebagai lonjakan kermajuan mengagumkan yang belum dijumpai sebelumnya dalam peradaban manusia.

Dalam peradaban kuno bangsa Mesoamerican –khususnya suku  Maya– yang masyarakatnya berbilang  kaum (sebagian kecil penganut agama Yahudi, Budha dan mayoritas beragama Nasrani), sejak 4000 tahun SM (4th millennium BC), sudah punya peradaban tinggi. Misalnya: peradaban hieroglyphic (gambar sebagai  simbol kata, ucapan dan tulisan), sistem peredaran benda-benda di ruang angkasa dan kalender terjadinya kiamat (21 Desember 2012), hampir-hampir saja tidak diperdulikan, akan tetapi kepercayaan dan rasa kebanggaan kepada legenda ini muncul dan dikembangkan semula, saat negeri ini dijajah Spanyol pada decade abad ke-7. David Stuart, pakar tentang suku Maya dari Universitas Texas mengatakan: “That idea that they disappeared culturally back in the deep past is one of these things that feeds into this idea that they are mysterious, that they are otherworldly.

Selama penjajahan Spanyol, sebuah patung raksasa yang posisinya menghadap kuil berbentuk Piramid eksis, popular dan tetap dilestarikan. Dikatakan: “One of the most popular attractions lies in a leafy grove near the crumbling pyramids of Coba, where a large stone tablet records the Maya creation date of August 13, 3114 BC – quite literally the cornerstone of the 2012 phenomenon.”[1] Keabsahan riwayat legenda tersebut tetap mengundang pro-kontra, tetapi bagi kebanyakan orang dari suku Maya percaya bahwa: “legend and there’s the reality“, walau pun ada orang berkata: “We don’t believe it. Nobody knows the day and the hour. Only God knows.”[2] Konsekuensi dari munculnya polemik ini, justru menjadi daya tarik, merangsang para peneliti dan banyak orang ingin tahu lebih jauh tentang legenda ini; sekaligus mendatangkan rezeki dari sektor turist. Bayangkan “Mexico’s government forecast around 50 million tourists from home and abroad would visit southern Mexico in 2012.” [3]

Pembahasan.

Kisah di atas hanyalah ilustrasi untuk mengantar kita kepada isu perbincangan bertopik: “Menatap Gayo” dengan harapan –setidak-tidaknya– dapat merangsang memori saraf kita untuk melahirkan idé, konsep dan  strategi menasional atau meduniakan khazanah peradaban gayo mencakupi budaya, bahasa, seni tari dan seni suara. Selain itu, keindahaan alam, legenda Malém Dewa-Peteri Bensu, Inen Mayak Pukes, Atu Belah yang mengandung nilai-nilai perjuangan hidup, kasih sayang dan harga malu serta  legenda Gajah Putih, yang sarat dengan nilai sejarah, kejujuran, keadilan, kriminalitas, konspirasi politik dan kekuasaan. Kesemua khazanah budaya gayo belum diangkat ke dalam cerita novel dan mem-visualisasi-kan (film) berthema cerita rakyat dan ditata secara profesional. Semua ini perlu kajian dan penghayatan terhadap legenda hingga punya daya tarik dan kekuatan yang mampu membangunkan jiwa-jiwa yang kesepian menjadi agresif dan bergetar.

Dalam konteks hubungan antara legenda dengan empunya legenda, Jonathan Ellerby, seorang penulis asal Canada yang mengunjungi Patung raksasa milik suku Maya menuturkan: “This is a very powerful, sacred place and I feel something energetic, emotional, and I feel I’m in the right place. I really do[4]. Lantas, adakah orang gayo atau turist asing bergetar jiwanya saat mengunjungi patung Inen Mayak Pukes, Atu Belah di Penarun, makam Bener Merie di hulu sungai Samar Kilang, Peteri Ijo, Loyang Koro Loyang Kaméng, dll.? Adakah ikatan emosional antara figur legenda tersebut dengan rebtak kehidupan ke-kini-an orang gayo.

Riwayat Gajah Putih misalnya. Selama ini hanya dikenali sebagai cerita rakyat dari mulut ke mulut tanpa penghayatan dan ikatan emosional, pada hal kisah tersebut  merupakan persenyawaan antara unsur mistik, historis, fakta, nilai-nilai moral, kearifan, karakteristik dan kejiwaan orang gayo yang dirangkai dalam “Tari Guel”. Pencipta tari tersebut begitu cerdas menamai gerak dan arti, mulai dari: “Salam semah”, “Munatap”, “Redep”, “Ketibung”, “Kepur Nunguk”, “Sènèng Lintah”, “Sèngkèr Kalang” sampai kepada “Cincang Nangka”. Alur ceritanya dikemas secara sistematis bagaikan “Mesium sejarah yang bergerak tanpa bangunan, tempat menyimpan sejarah Gayo, agar orang tidak mudah melupakannya.”[5] Demikian pula gerak Tari Saman (Tari seribu tangan) yang kaya dengan ke-aneka ragaman gerak, seperti: “Rengum”, “Dering”, “Redet”, “Syèh”, “Saur”, “Rerèp”, “Guncang Rerèp” dan “Griet” yang masing-masing gerak memiliki makna paling dalam dan sacral; termasuk  susunan pemain Saman: Penangkat, Pengapit, Penyepit, Anggota dan Penupang. Ini merupakan bukti bahwa orang gayo sebenarnya brilliant imaginer of art. Sayangnya, kehebatan ini hanya dikenal, dimainkan, popular, dinikmati dan dibanggakan dalam lingkaran orang gayo saja, tidak punya naluri ‘memasarkan seni’. Selain itu, orang gayo adalah imaginerdan futurelog brillian. Simak lirik Didong di bawah:

Kao i langit selo ku tuyoh, kaléi tubuh//
Sigé ku pasang berkité uluh, buge eruh //
Ko le bintang simalé kin suluh, cermin terangku//

(Terjemahan)
Kau di langit kapan jatuh ke bawah, aku idamkan.
Kupasang tangga dari bambu bercabang
untuk menggapainya, semoga pas.
Kaulah bintang sebagai obor, cermin yang terang.

Di sini, pencipta membayangkan bahwa pada satu saat nanti peradaban manusia mampu menembus ruang angkasa, menyinggahi planet (dengan sebutan bintang-bintang) dengan syarat instrumentnya tepat, yakni: “sigé”.[6] Rincian dari instrument tersebut harus dirancang  secara terukur dan profesional. Inilah yang maksud dengan  “buge eruh”.

Akan halnya: “Ko le bintang simalé kin suluh, cermin terangku”, menunjuk kepada arti bahwa: planet (bintang-bintang) tersebut merupakan symbol dari satellite  yang berfungsi sebagai penghubung bagi memudahkan orang melakukan komunikasi antara sesama manusia.

Saya tidak dapat memastikan, apakah imaginasi ini diadopsi dari firman Allah: “Hai jemaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.” (Q.S. Ar-Rahman, 33). Namun demikian, imaginasi tentang form tehnologi dalam peradaban manusia di masa depan, secara simbolik sudah diluahkan oleh kaum seniman gayo, bukan oleh pakar tehnologi gayo. Oranggayo juga cerdas dalam memahami priode pertumbuhan tanaman padi mulai dari benih sampai kepada beras. Ini nampak dari urutan di bawah: Inéh > semé >> ijo > ngotèki > sonor > seroh > mugegaluhen > ampar > tungkuk  > ilang > rom > oros; bahkan diklasifikasi lagi berdasarkan kwalitasnya: oros > belatah > dedak > kelumit dan sekam. Munculnya penamaan tersebut, ada kaitanyya dengan tingkat kesadaran, pengenalan, pengetahuan, pemahaman, kemampuan dan kematangan dalam kehidupan manusia.

Lagi-lagi, saya belum yakin, apakah  imaginasi penyebutan ini ditransfer  dari konsep penciptaan manusia yang  bermula dari: tanah > air mani > diletakkan dalam rahim > segumpal darah > segumpal daging > tulang > dibungkus dengan daging > terakhir berubah bentuk lain (makluk bernama manusia). Firman Allah:


”Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami
jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik.” [QS. al-Mukminun: 12-14]
. Artinya, gayo suatu bangsa yang memiliki jenjang pemikiran yang sismatik, terukur dan akurat.

Suatu hal yang menarik, mengagumkan dan unik dalam peradaban gayo adalah daya imaginasi dan kreatitas dalam menciptakan pelbagai instrument berasal dari bambu.  Fungsi pohon bambu sangat penting dalam kehidupan orang gayo, seperti halnya bangsa Jepang, Cina, dan orang Bali, yang menganggap tanaman bambu punya keistimewaan tersendiri berbanding tanaman lainnya. Bambu punya fleksibilitas tinggi dengan tingkat kelenturan yang mengagumkan, tapi tidak patah. Tanaman bambu jarang sekali patah pada saat terjadi angin kencang atau badai. Ini bermakna: tanaman bambu boleh dijadikan sebagai guru manusia saat menghadapi cobaan hidup, mengikuti gerak angin tapi tidak mau terbawa arus angin. Bambu selalu bersemangat, teguh dengan pendirian, bermental kuat dan mampu bangkit kembali dari kehancuran. Jepang telah mengadopsi falsafah hidup bambu setelah hancur lebur dalam perang dunia ke-2 tahun 1945. Demikian pula Cina,terkenal dengan bambu Cina yang dipercayai dapat mendatangkan rezeki. Jika tanaman bambu setinggi 1,5 m ini diletakan dalam pot besar. Jika jumlahnya tiga batang berarti simbol kebahagiaan; … lima batang, simbol kekayaan; … enam batang, simbol kesehatan. Dalam kepercayan orang Cina dielakkan menanam empat batang bamboo. Pasalnya, jika disebut, kedengarannya menyerupai kata “mati” dalam bahasa Cina.

Bagi penganut agama Hindu Bali, “Bambu adalah tanaman yang memang serba guna. Semasa kecilnya, saat masih mudah tegak. Tapi, saat tua akan menunduk. Ini lambang sebuah filosufi Hindu yang selalu menjaga sopan santun.”[7] Dalam konteks ini, Ketut Arinasa menyebut lima jenis bambu yang punya keistimewaan. “Pertama, Jajang Aya (Gigantochloa aya), jenis bambu ukuran besar yang bisa setinggi 15 meter dan diameter 12 sentimeter. Bambu jenis ini digunakan untuk atap bangunan suci. Kedua, jajang taluh (Gigantochloa taluh), dipakai untuk gedek atau dinding dalam upacara. Ketiga, tiying ooh (Bambuca ooh), dipakai untuk tempat sesajen atau sanggar pucuk saat upacara agama. Keempat, bambu kedampal (Sahizostachyum cestaneum), dipakai untuk tempat air suci dan alat musik khas Bali, gerantang. Kelima, bambu tiying alas atau Dinochroa sepang. Di antara bambu endemik itu, hanya jenis ini satu-satunya jenis bambu yang masih tumbuh di tempat aslinya, yakni hutan alam Sepang Buleleng dan Jembrana.”[8]

Lupakan saja kreativitas orang Jepang, Cina dan Bali. Ianya tidak berarti apa-apa, jika dibanding dengan daya imaginasi dan kreativitas orang gayo, yang bukan saja pandai menciptakan makanan dari bambu –jantar tuwis– akan tetapi juga cerdas merakit pelbagai instrument tradisional, seperti: luni, wau, seruwe, cangkul, jangki, paruk, suling, letep, terpèl, totor, peger, pepara, gegayang, gerantung, meriem uloh, getéh, belbuk, tepas, bengkon, bènyang, lelayang, langus, penéup, lenge, tiang, tetètèn, wer, bentor, gegasak, pacak, penangang, acuan lemang, sembilu, aré, jerjak, kaso, bubung, kecapi, tersik, parok, belide, kelahni penjere sangè, terbong, pepilo, baji, jangka, palungen, dirin, sigé, kite, bili, dll. Terus terang, sejauh pengalaman dan pengembaraan saya, belum pernah mendapati hasil karya dari bangsa lain sebanyak ini; kecuali  orang gayo! Dengan begitu: gayo adalah satu-satunya suku di atas permukaan bumi ini yang kaya imaginasi dan  kreatif merakit pelbagai instrument dari bambu bagi keperluan mencari nafkah.

Falsafah Ekonomi .

Sebagai masyarakat ekonomis, gayo punya falsafah dan teori ekonomi yang mengagumkan. Sistem simpanan (saving)  sebagai konsep penyelemat dari krisis ekonomi, apabila terjadi kemerosotan ekonomi misalnya. Orang gayo ternyata punya falsafah ekonomi untuk menangkal terjadinya krisis ekonomi, yaitu:

//Rom Oros Tungkel ni Imen
//Gadung Kepile Peger ni Keben

(Padi- beras pangkal iman
ubi kayu/ubi jalar pagar lumbung padi)

Di mata orang gayo, kalimat “rom oros tungkel ni imen” hasil bumi: beras (perkembangan selanjutnya termasuk kopi) adalah penghasilan pokok dan dipercayai dapat tonggak utama penopang dan dapat menjamin kesejahteraan masyarakat, sekaligus memperteguh keimanan dengan membayar zakat, memberi sadaqah. Ketiadaan hasil beras dan kopi akan dapat menimbulkan kemiskinan massif dan menggoyang keimanan yang  boleh mendekatkan kepada kekafiran, bahkan memicu gejolak sosial berupa meningkanya kriminalitas dalam masyarakat. Kedua sumber hasil bumi –beras  dan kopi– secara turun-temurun dipercayai sebagai juru selamat masa depan, oleh sebab itu ianya hanya digunakan untuk membiayai projek besar: menyekolahkan anak, membangun rumah dan membeli kebun/sawah baru dan ivestasi lainnya. Menjual beras dan kopi untuk keperluan makanan sehari-hari dalam rumah tangga dipandang ‘aib.

Untuk mengelak dari kerugian ekonomi yang lebih kronis, orang gayo punya konsep “gadung/kepile peger ni keben” sebagi reserve, yang secara simbolik berarti penghasilan sampingan, seperti: menanam jeruk, tembakau,  kol, tomat, kentang, lada, sayur, dll., yang berfungsi  untuk menopang modal utama dan keperluan primer. Artinya: Jadi, untuk membeli pakaian, perhiasan, dan perlengkapan rumah tangga (keperluan skunder); cukup dari hasil usaha sampingan dan tidak perlu  membongkar gembok lumbung padi atau gudang kopi.

Untuk mem-back-up keperluan primer dan skunder, orang gayo punya “empus kuning” (Kebun kuning), yaitu: tanaman serai, jeruk limau, sayur-sayuran, kunyit, lengkuas, cabe, halia, pelihara ayam untuk memenuhi keperluan lauk-pauk sehari-hari. Dengan begitu, ikan atau daging saja yang dibeli. Dengan demikian, produksi utama –beras   dan kopi– dalam kapasitas besar dapat dijual di pasaran lokal, nasional  dan diekspor ke luar negeri.

Sebenarnya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, filosufi “rom oros tungkel ni imen” boleh ditafsirkan sebagai dana APBN yang bersumber dari pemerintah pusat, yang hanya diagihkan untuk  membiayai pembangunan infrastruktur fisik dan non fisik. Sementara “gadung/kepile peger ni keben”, diinterpretasikan sebagai pendapatan daerah yang berasal dari kutipan pajak dan laba yang diperoleh dari perusahaan milik daerah, dialokasikan untuk pengadaan fasilitas perpustakaan, kesehatan atau pengeluaran ekstra, seperti  bantuan bencana alam.

Selain itu, orang gayo punya strategi dagang dan pemasaran dengan aksioma “engkip mulo rerak, baro sowah kulah nume” (Penuhkan dahulu saluran, baru alirkan air ke sawah). Aksioma ini mengajarkan bahwa sesudah quota barang kebutuhan pokok masyarakat setempat terpenuhi dan harga barang terjangkau dan stabil,  barulah penguasa (pemerintah) mengalokasi barang-barang ekport yang memenuhi standard perdagangan. Dengan kata lain: tidak terjadi kekurangan barang sembako. Konsep ini akan mampu menghadang mafia gelap yang merusak harga pasaran, dimana “harga jual gabah kering giling (GKG) di tingkat pedagang di Aceh kini mencapai Rp 5.000/kg, sedangkan beras lokal standar berkisar Rp 8.500/kg-Rp 9.000/kg. Ini naik dari sebelumnya, antara Rp 6.500/kg-Rp 7.500/Kg. Kemungkinan gabah padi asal Aceh secara besar-besaran dijual ke luar daerah.”[9]  Peristiwa ini terjadi karena lemahnya sistem pengawasan terhadap barang kebutuhan pokok, memasang harga lebih tinggi untuk produksi beras lokal, sementara beras import dijual dengan harga murah.

Permasalahan

Kisah-kisah legenda dan artefak sejarah –benda-benda purbakala yang masih asli–  seperti naskah-naskah lama Kerajaan Linge dan legeda kisah Gajah Putih, Inen Mayak Pukes, Peteri Ijo dan Malém Dewa, masih tercècèr dan lokasi-lokasi bersejarah, seperti pusat kerajaan Linge, Linge; lokasi Atu Belah di Penaron, yang merupakan khazanah sejarah dan budaya gayo yang belum dilakukan kajian secara ilmiah dan komprehensif, belum ditulis secara ilmiah, dibukukan dan diterjemahkan ke daam bahasa asing untuk digunakan sebagai referensi pada lembaga-lembaga pendidikan, tidak gencar usaha dipublikasi dan promosi kepada masyarakat dunia.

Selain daripada itu, kerangka manusia di Loyang Mendalé dan Tanyong Karang, yang diprediksi berusia 7400 tahun, ketokohan Munyang Kute dan Datu Beru adalah khazanah kepurbakalaan yang mesti diselamatkan dan budi-dayakan; bukan dikeramatkan dan disembah-sembah, tetapi sebagai bukti kuat bahwa gayo adalah bangsa yang punya pra-histori dan peradaban tinggi. Hal ini penting, sebab mengikut kajian, analisis dan kesimpulan dari Ketut Wiratnyana, Ketua Balai kajian arkheologi Medan kepada saya bahwa: “dari sudut pandang arkhelog, temuan kerangka manusia purba dan artefak benda-benda bersejarah lainnya berupa gerabah hasil karya tangan dan system kekeluargaan dan kekerabatannya, membuktikan bahwa faham plurarlisme dan toleransi dalam masyarakat gayo sudah berakar dan terbina sejah 7400 tahun yang lampau.”[10]

Terpisah dari isu di atas, kana tetapi masih dalam konteks minat menyelamatkan khazanah budaya dan artefak sejarah, pemerintah Turki ternyata sudah jauh hari menyadari arti pentingnya ketokohan bangsa Turki, tanpa memandang race dan agama. Profesor Nevzat Cevik, arkeologi dari Akdeniz University (AU) merasa yakin “Vatikan membawa tulang Saint Nicholas keluar dari Turki pada medio 1087.

Tulang Saint Nicholas, diklaim Cevik diangkut dari Turki ‘secara paksa’ untuk dimakamkan di sebuah gereja di Provinsi Bari, Italia. Sebuhungan dengannya, Vatikan diminta mengembalikan tulang-belulang Saint Nicholas, uskup yang disebut-sebut sebagai Santa Claus yang asli, ke Turki.
Turki Minta Vatikan Kembalikan Jasad Santa Claus.[11]  Selain itu, Musium Archeology Turki merupakan Musium terlengkap di dunia. Berkaitan dengan peradaban gayo, saatnya dilakukan identifikasi  dan inventarisasi terhadap semua khazanah untuk dihimpun dan ditempatkan dalam sebuah Mesium Archeology Gayo. Demikian pula halnya dengan kreasi orang gayo yang berasal dari bambu yang mampu menciptakan pelbagal instrument, mesti diadakan inovasi untuk memproduk kerajinan tangan bari bahan bamboo yang artistik, dirakit dan dikemas secara modern, hingga dapat dipasarkan ke pasaran dalam dan luar negeri; termasuk penciptaan pelbagai variasai sejuta rasa kopi gayo, sehingga tidak hanya mengenal ramuan kupi kertupyang monothon. Pengolahan tahi Musang (kopi Luwak), bukan kreativitas yang dibanggakan, melainkan  ada kesan: ternyata lebih hebat Musang daripada orang gayo medern! Demikian pula ramuan gutel, temping, gegaluh, lepat, sagon, cucur, apam dan bertih;  sudah saatnya mencipta jenis makanan lain yang pantas dibanggakan. Geneasi maju adalah masyarakat yang selalu mengukur kemampuan dirinya lebih maju berbanding  peradaban nenek moyangnya.

Gagasan-gagasan

Untuk menelusuri dan mengenali watak, kepribadian dan streotype gayo, orang mesti mengkaji semula mengenai falsafah, sejarah dan sosiologi orang gayo. Hal ini pernting, karena dari disiplin ilmu inilah yang meahirkan idé, konsep dasar yang kemudian menjelma sebagai kreasi. Suatu perkara yang harus  disadari dan diakui bahwa kemajuan perdadaban gayo –khususunya form budaya dan teknlogi– belum  sampai ke tahap menawarkan idé dan bersaing atau berperang melawan kemajuan peradaban bangsa lain. Oleh karena itu:

(a). Perlu dibangun lembaga research yang mengkaji tentang sejarah, budaya dan IT yang berkaitan dengan keperluan masyarakat pada era globalisasi informasi, budaya dan tehnologi.
(b). Melakukan studi banding dan meminjam idé atau konsep bangsa lain membangun peradaban, jika memang perlu untuk itu.
(c). Dibangun lembaga pendidikan kesenian formal dan informal untuk  mendidik, melatih dan menyiapkan perangkat budaya supaya rakyat lebih kreatif.
(d). Pemerintah, selain sebagai pendorong, juga berperan aktif dalam pelaksanaan projek pengembangan wisata, pemugaran, perawatan artefak sejarah dan benda-benda purbakala.
(e). Menyusun program kesenian, intensifikasi, memberi tunjangan dan jaminan kesejahteraan kepada budayawan gayo.
(f). Membangun pabrik yang mengolah bahan tenun kerawang gayo, makanan dan minuman dalam kemasan berciri gayo untuk dipasarkan kepada masyarakat internasional.

 Wallahu’aklam bissawab!

Referensi


[1] . Alexandra Alper, Mexico’s ethnic Maya unmoved by 2012 “Armageddon” hysteria | Reuters , December 20, 2012.
[2] . Ibid.
[3] . Ibid.
[4] . Ibid.
[5] . Yusra Habib Abdul Gani. Falsafah Tari Guel. Acehvision.com.
[6] . Secara harfiyah, perkataan “Sigé” berarti: tangga yang terbuat dari bambu (Uluh Utung).
[7] . Ida Bagus Ketut Arinasa. Belajar dari filosufi Bambu Bali, Kompas, 20 Juli 2010.
[8] . Ibid.
[9] . Serambi, 28 Januari 2011
[10] . Kesimpulan dari correspodence antara Yusra Habib Abdul Gani-Ketut Wiradnyana dalam face book.
[11] . Republika.co.id, Vatikan, 25 Desember 2012.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.