Kekeberen, Pusaka Gayo yang Nyaris Punah

oleh

Oleh : Win Wan Nur

SEJAK beberapa tahun belakangan ini, menjelang tidur, sudah menjadi rutinitas saya untuk mendongeng kepada anak pertama saya .

Dongeng yang paling sering saya ceritakan bersumber dari mitologi Yunani. Mulai dari kisah manusia terbang Daedalus dan Icarus, kisah cinta tragis Apollo dan Daphne, kisah tentang asal muasal empat musim yang berawal dari kisah penculikan Persephone oleh Hades si penguasa kematian, kisah petualangan Odysseus raja Ithaca sampai Jason dengan Argonaut-nya yang mencari bulu domba emas.

Belakangan, saya menambahinya dengan dongeng-dongeng asia seperti kisah Urashima Taro dari Jepang, kisah Dewaruci, kisah kelahiran dan perjalanan hidup Sang Garuda (dongeng yang katanya asli Indonesia, padahal berasal dari India), sampai dongeng-dongeng lokal seperti kisah Sangkuriang, Loro Jongrang, Timun Mas dan Malin Kundang.

Entah karena sudah bosan dengan dongeng dari berbagai belahan dunia atau karena muncul kesadaran atas asal-usulnya, kemarin malam anak saya meminta sesuatu yang tidak pernah saya duga. ” Ama, selama ini ceritanya dari mitologi Yunani, dari Jepang, India, Jawa, Minang. Kok nggak pernah diceritain dongeng dari Gayo? Malam ini ceritain dongeng dari Gayo dong!”, pintanya. Saya benar-benar gelagapan ditodong seperti itu.

Saya mencoba sebisanya menceritakan dongeng-dongeng Gayo seperti yang dulu pernah diceritakan kakek-kakek saya menjelang tidur. Cerita tentang Malem Dewa, Peteri Ijo, Gele Dodoh dengan Tentung Kapur-nya dan dongeng-dongeng Gayo lain yang dulu merupakan kisah pengantar tidur saya semasih kecil. Tapi tidak satupun dari semua dongeng itu yang bisa saya ceritakan dengan runut. Seperti ketika saya mencoba menceritakan tentang Tentung Kapur, saya lupa, apakah itu cerita tentang dua anak kecil yang membiarkan daging tidak dimasak yang berubah menjadi ‘Guru Gaji’ (Gergasi atau raksasa dalam khasanah Melayu) yang mengejarnya atau bukan (mirip kisah Hansel dan Gretel-nya Grimm bersaudara). Saya ingat tentang buah Jambu Biji yang hanyut dan bagaimana dia lepas dari Tentung Kapur di Gele Dodoh, tetapi urutan-urutan kisah itu benar-benar tidak lagi tersusun rapi dalam memori saya. Akhirnya dongeng yang bisa saya ceritakan hanya tentang kisah asal-usul Burung Tekukur dan Sungking.

Pagi harinya saya merenung, ini benar-benar ironis. Saya bisa menceritakan kepada anak saya, ratusan kisah  dari Yunani, negeri yang belasan ribu kilometer jaraknya, negeri yang belum pernah saya kunjungi sampai hari ini. Tapi saya tidak bisa menceritakan dongeng yang berasal dari tanah kelahiran saya sendiri yang saya tumbuh besar dengannya.

Apa yang menjadi masalahnya? Jelas dokumentasi. Mitologi Yunani, ditulis dan diturunkan dari generasi ke generasi. Kisah yang dikarang oleh Homer ribuan tahun lalu, melalui tulisan menyebar melintasi batas negara dan kebudayaan, dibaca oleh jutaan orang dan salah satunya saya sendiri dan saya turunkan ke generasi sesudah saya. Demikian pula yang terjadi dengan kisah-kisah dari India dengan fragmen-fragmen dari kisah Mahabarata dan Ramayana yang telah berkembang menjadi demikian banyak kisah dan versi. Jepang, pasca restorasi Meiji melakukan hal yang sama. Dongeng-dongeng yang selama ini hanya disampaikan dari mulut ke mulut di masyarakat mereka, satu persatu mereka dokumentasikan dalam bentuk tulisan.

Sebagaimana dongeng-dongeng daerah lain di nusantara, dongeng-dongeng asli Gayo dituturkan dari mulut ke mulut dari generasi ke generasi. Tidak tertulis.
Untungnya sejak beberapa puluh tahun yang lalu, berbagai dongeng dari pelbagai pelosok nusantara juga satu persatu mulai ditulis dan dibukukan atas inisiatif pemerintah.

Lalu apa masalahnya dengan dongeng-dongeng Gayo?

Dongeng-dongeng Nusantara yang ditulis dan dibukukan atas inisiatif pemerintah itu kalau kita perhatikan, pola penulisannya dilakukan dengan membuat klasifikasi berdasarkan asal provinsi.

Dalam pola pengklasifikasian seperti ini, Gayo sangat tidak beruntung karena masuk dalam provinsi Aceh. Sebab ketika dongeng-dongeng semacam ini dibukukan berdasarkan provinsi ini, mayoritas dongeng yang ditulis atas inisiatif pemerintah ini adalah dongeng-dongeng yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Aceh, bukan Gayo. Padahal secara adat istiadat dan budaya, Gayo sangat berbeda malah nyaris tidak memiliki kesamaan dengan Aceh. Meskipun jika ditinjau secara antropologi, etnologi, ilmu budaya dan ilmu apapun yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, Gayo bukanlah Aceh. Tapi apa boleh buat, secara sepihak, di negara ini Gayo telah terklasifikasikan sebagai Aceh.

Diambang kepunahan.

Bagi sementara kalangan, pelestarian dongeng Gayo ini mungkin dianggap hal sepele, tidak menyentuh hajat hidup orang banyak, tidak merupakan hal yang krusial dan mendesak untuk dipikirkan. Dongeng tidak bisa membuat perut kenyang.

Tapi mengutip pernyataan Mohammad Hatta di pendahuluan buku ‘Alam Pikiran Yunani’ (karya beliau yang beliau jadikan mas kawin saat menikahi ibu Rahmi), “dongeng dan takhayul yang dipusakakan dari nenek moyang itu menimbulkan adat dan kebiasaan hidup, menjadi cermin jiwa bangsa yang memakainya”.

Tanpa kita sadari, sebenarnya pelbagai dongeng yang kita dengarkan dan kita resapi saat kecil dulu, punya andil besar membentuk kita tumbuh menjadi urang Gayo dengan karakter seperti hari ini.

Bagi kita yang tumbuh besar di Gayo, mungkin kita tidak melihat keistimewaan dari setiap kalimat dongeng Gayo bergenre petualangan yang menceritakan sang tokoh ‘mayo uten tangkuh belang, mayo belang  tangkuh uten’ (masuk hutan keluar di padang rumput, masuk padang rumput masuk hutan), sebab kita merasa familiar, beginilah kondisi alam di Gayo. Tapi harap dipahami, saat ini urang Gayo tidak hanya tinggal di Gayo. Gayo diasphora menyebar dimana-mana di pelosok bumi. Banyak orang Gayo yang bahkan lahir ribuan kilometer jauhnya dari Gayo. Yang mungkin hanya pulang ke Gayo dua atau tiga kali sepanjang hidupnya. Bagi mereka, kisah-kisah seperti ini memberi kedekatan batin dan fantasi tentang tanoh tembuni.

Dan kalau sebagian dari kita menganggap bahwa dongeng dan takhayul itu tidak memiliki manfaat apa-apa, perlu kita ketahui bahwa dari dongeng dan takhayul yang tidak masuk akal itulah Thales, filsuf Yunani pertama mulai muncul rasa ingin tahunya tentang alam. Mencari kebenaran dibalik dongeng dan takhayul itu, menciptakan arus pemikiran yang berdasarkan akal sehat, arus pemikiran yang dia turunkan kepada muridnya Anaximander berlanjut ke generasi Herakleitos, para filsuf Elea, Phytagoras, Empedocles, Sokrates, Plato dan Aristoteles, diteruskan ke generasi para filsuf beragama Islam, seperti Al Arabi, Al Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rushd berlanjut ke para filsuf Renaissance, Aufklarung yang membuka gerbang kegemilangan sains modern, Post modern dan terus berkembang sampai hari ini sehingga kita umat manusia mencapai kemajuan peradaban sedemikian tinggi.

Di luar dunia filsafat mainstream, ‘Spirited Away’ adalah salah satu film animasi Jepang yang paling berkesan bagi saya. Film yang kisahnya dibuat berdasarkan pada cerita-cerita dalam dongeng Jepang ini dalam salah satu adegannya menggambarkan sang tokoh makan makanan di tempat asing dan kemudian berubah menjadi Babi. Di sini Miyazaki sebenarnya mengambil satu fragment kisah petualangan Odyseus dalam mitologi Yunani, saat  Odyseus bertemu Circe seorang penyihir cantik yang mengubah semua tamunya menjadi Babi setelah menyantap hidangannya. Tapi di film ini Miyazaki dengan cerdik menggambarkan kisah yang berdasarkan mitologi Yunani ini ke dalam konteks Jepang.

Jadi kalaupun fungsi kekeberen Gayo tidak sampai menciptakan arus pemikiran baru dalam dunia filsafat sebagaimana mitologi Yunani, paling tidak dengan lestarinya kekeberen (dongeng) Gayo, kita bisa berharap nanti ada generasi Gayo, baik yang lahir di tanoh tembuni maupun  diasphora, bisa terinspirasi menciptakan karya seni entah berupa novel atau film dengan mengambil inspirasi dari kekeberen (dongeng) Gayo dan menggabungkannya dengan dongeng dari belahan dunia lain. Sebagaimana dilakukan oleh Miyazaki di Jepang.

Tapi sayangnya, saat ini generasi baru Gayo tumbuh dengan pola asuh yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Banyak generasi Gayo yang baru tidak lagi tinggal berdekatan dengan kakek dan neneknya. Tekanan pelajaran di sekolah membuat tradisi mendongeng (berkekeberen) sebelum tidur nyaris punah. Anak-anak sekarang tumbuh dengan media sosial dan video games, membaca komik-komik jepang, korea dan kalaupun membaca dongeng atau menonton film maupun sinetron yang berasal dari dongeng, maka sumbernya tentu saja adalah dongeng-dongeng yang terdokumentasi. Dan dari semua dongeng itu, hampir tidak ada dongeng Gayo. Sebab dari sekian banyak dongeng Gayo, hanya ada beberapa gelintir yang pernah ditulis, diantaranya ditulis oleh bapak L.K Ara tapi itupun sudah sulit sekali menemukan bukunya.

Para tetua Gayo yang  hafal tentang dongeng-dongeng itu, satu per satu mulai berpulang, sementara dongeng-dongeng khasanah kekayaan budaya Gayo itu masih sedikit sekali yang dituliskan. Sehingga tidak heran kalau generasi muda Gayo sekarang, sedikit sekali yang familiar dengan kekeberen asli Gayo.

Situasi seperti ini jelas membuat generasi Gayo saat ini akan merasa asing ketika mereka melihat ke dalam cermin jiwa ‘bangsanya’ sendiri. Dan seharusnya, ini menjadi keprihatinan kita bersama. Jiwa ‘bangsa’ Gayo harus tetap lestari.

Untuk tetap menjaga jiwa ‘bangsa’ Gayo tetap lestari, pusaka muyang datu ini harus diselamatkan. Tapi bagaimana caranya?

Dalam posisi seperti ini, saya kadang membayangkan diri saya menjadi seorang guru bahasa di salah satu sekolah di Gayo. Dalam posisi seperti itu, saya akan memerintahkan setiap murid di kelas saya untuk mengerjakan PR menuliskan dongeng-dongeng Gayo di media sosial atau blog keroyokan jurnalisme warga semacam Kompasiana dan kemudian saya beri nilai. Semakin banyak dongeng yang ditulis, semakin besar kemungkinan si anak mendapat nilai bagus.

Saya membayangkan dengan adanya perintah seperti ini, tentu murid-murid itu akan berusaha mencari tahu tentang dongeng-dongeng itu entah kepada orang tua, kakek nenek sampai tetangga. Sehingga dalam waktu dekat, tanpa perlu melalui campur tangan pemerintah dengan segala kerumitan birokrasi, tanpa perlu melalui proses tender yang dimenangkan oleh para tim sukses yang membuka peluang untuk korupsi, terkumpullah dongeng-dongeng Gayo dari berbagai genre yang telah terdokumentasikan dalam berbagai versinya (karena dongeng ini dituturkan dari mulut ke mulut, selalu ada perbedaan versi antara satu daerah dengan daerah lainnya) yang bisa diakses oleh semua orang.

*Penulis adalah anggota Dewan Adat Gayo

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.