Kurikulum 2013 Dan Pembentukan Karakter

oleh

Oleh Johansyah*

johan pt2Mampukah kurikulum baru memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia? Inilah yang menjadi kekhawatiran pemerhati pendidikan, Prof. Suarma Al Muchtar, yang menilai kurikulum 2013 sama dengan kurikulum sebelumnya, tidak akan berpengaruh kepada perbaikan kualitas pendidikan Indonesia. Menurutnya, kunci utama keberhasilan pendidikan adalah guru (Republika online, 03/12/13).

Saya juga tidak yakin kalau kurikulum  baru mampu memperbaiki kualitas pendidikan, apalagi dirancang untuk membentuk karakter peserta didik. Beberapa waktu yang lalu, Wamendikbud bidang pendidikan pernah mengatakan bahwa perombakan kurikulum penting dilakukan. Bahwa dengan perubahan kurikulum ini, anak-anak di jenjang pendidikan dasar mempunyai waktu untuk membangun karakter diri (Kompas.com,11/1012). Akankah ini terwujud? Kita tunggu saja.

Satu hal yang harus diingat bahwa sehebat apa pun rancangan kurikulum, itu tetaplah konsep atau rencana pembelajaran. Kurikulum tidak berarti apa-apa tanpa dukungan komponen pendidikan lainnya. Kurikulum hanyalah salah satu dari komponen penentu keberhasilan pendidikan di antara komponen lainnya, yakni tujuan pendidikan, peserta didik, pendidik, metode pendidikan, lingkungan pendidikan, serta fasilitas pendidikan.

Ibarat mobil

Perubahan kurikulum itu ibarat mobil ganti cat. Sebenarnya tanpa ganti cat pun mobil tetap mampu beroperasi normal karena mesinnya tidak bermasalah. Maksudnya, tanpa perubahan kurikulum pun sebenarnya pendidikan karakter bisa dilakukan, karena bukan kurikulum yang menjadi kunci utamanya, tapi pendidik. Peran kurikulum untuk membentuk karakter mungkin hanya sebagian kecilnya saja, bahkan mungkin tidak ada tanpa peran pendidik.

Dalam cakupan pendidikan yang lebih luas, maka guru, orangtua, dan anggota masyarakatlah yang menjadi kurikulum utama peserta didik. Hal ini tak terbantahkan karena tingkah laku guru di sekolah, orangtua di rumah, dan anggota masyarakat, baik berupa sikap, perkataan, maupun perbuatan senantiasa menjadi materi moral yang selalu direkam oleh peserta didik dan mewarnai kondisi jiwa mereka.

Zaman dulu orang tidak memiliki kurikulum khusus untuk membentuk karakter anak mereka. Modal utama mereka hanyalah keteladanan dengan memberikan contoh nyata bagi anak-anak mereka tentang cara bergaul, bersikap, cara berkomunikasi yang baik, menghormati orangtua, dan berbagai perilaku teladan lainnya. Mereka sama sekali tidak memiliki kepentingan tertentu dalam menjalankan proses pendidikan. Mereka hanya ingin agar generasinya tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berkarakter dan berjiwa dewasa.

Untuk itu, para pendidik sebenarnya tidak perlu repot-repot memikirkan kurikulum baru untuk membentuk karakter peserta didiknya karena hanya disibukkan dengan penyiapan administrasi yang membosankan. Dalam hal ini, modal para pendidik adalah teladan dan menyadari posisinya sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Kurikulum utama pendidikan karakter bukanlah berada pada rencana pembelajaran yang didesain, tetapi berada dalam diri mereka sendiri. Semua perilaku yang diekspresikan seorang guru merupakan kurikulum pendidikan karakter yang selalu menjadi perhatian peserta didiknya.

Mengubah kurikulum pendidikan memang penting dengan berbagai pertimbangan dari segala aspeknya, baik sosiologis, psikologis, filosofis, maupun perubahan dalam menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini. Namun yang lebih penting adalah bagaimana membuat kondisi dan realitas di sekitar peserta didik menjadi lebih baik. Semua pihak harus berupaya membangun situasi sosial yang sehat, positif, dan bermanfaat. Situasi sehat ini akan sangat menentukan karakter peserta didik.

Kenyataannya, situasi sosio-kultur masyarakat Indonesia saat ini kurang baik dan tidak menguntungkan bagi perkembangan karakter peserta didik kita. Situasi kurang baiknya adalah maraknya KKN, terjadinya perampokan, pelecehan seksual, terorisme, pincangnya penegakan hukum, susahnya orang miskin mendapat perlakuan adil dalam bidang hukum, pendidikan dan kesehatan, serta beberapa situasi buruk lainnya. Semua ini secara tidak langsung telah menjadi kurikulum pendidikan yang memengaruhi perkembangan karakter peserta didik kita.

Perlu Dukungan

Publik tetap pesimis jika kurikulum baru diharapkan mampu membentuk karakter peserta didik kita. Semuanya akan berjalan apabila semua pihak mendukung dan menjalankannya. Artinya, pembentukan karakter peserta didik tidak boleh hanya digalakkan pada lembaga pendidikan formal saja, tetapi di lembaga informal pun harus diupayakan, baik dalam keluarga maupun masyarakat.

Mengingat perlunya kerja sama, tentu peran keluarga sangat sentral. Namun tampaknya ada persoalan serius yang dialami orangtua (terutama ibu) sebagai pendidik dalam rumah tangga saat ini. Sekarang para ibu rumah tangga banyak yang bekerja di luar rumah untuk membantu suami mencari nafkah, baik mereka yang berprofesi PNS maupun wiraswasta.  Akibatnya, waktu mereka di rumah untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya sangat minim karena tuntutan pekerjaan,.

Situasi seperti ini sangat dilematis bagi seorang ibu rumah tangga. Pada satu sisi dia ingin punya banyak waktu untuk mengasuh dan mendidik anaknya, namun di sisi lain mereka dituntut untuk bekerja disiplin dan maksimal pada instansi kerjanya. Hingga saat ini, kelihatannya perlakuan pemerintah terhadap PNS pria dan wanita sama, tidak ada perbedaan. Seharusnya jam kerja PNS perempuan tidak sama dengan laki-laki. Jam kerja perempuan harus lebih longgar sehingga ada waktu yang cukup untuk mendidik anak-anak mereka di rumah.

Adapun dalam masyarakat, sebenarnya pembentukan karakter peserta didik sangat ditentukan oleh dinamika budaya yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Budaya gotong royong, saling menghargai, tolong menolong, dan budaya baik yang diekspresikan anggota masyarakat di mana peserta didik tinggal akan berpengaruh terhadap pembentukan perilaku mereka. Secara praktis mereka akan mewarisi budaya positif tadi karena sering terlibat langsung dengan budaya tersebut dan menjadi tradisi.

Oleh karena itu, kita berharap kepada masyarakat untuk tidak memeraktikkan perilaku-perilaku buruk, seperti persaingan tidak sehat antar tetangga, pertikaian horizontal antar kampung seperti yang sering terjadi di Sulawesi, dan berbagai bentuk perilaku buruk lainnya. Semua itu tidak baik bagi perkembangan karakter peserta didik kita. Akhirnya, kurikulum 2013 hanyalah elemen kecil yang dipersiapkan untuk membentuk karakter peserta didik kita. Yang pasti, dukungan dari semua pihaklah yang menjadi penentu keberhasilannya. Wallahu a’lam bishawab.

*Kandidat Doktor Pendidikan Islam pada UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Email: johan.arka@yahoo.co.id

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.