Takengon – LintasGayo.co: Dokumentasi tertulis Gayo masih terbatas, sehingga literatur Gayo sulit didapatkan. Akibatnya, Gayo pun kurang dikenal terutama di luar Aceh. Kalau ada yang perlu literatur Gayo, bisa langsung menghubungi Research Center for Gayo atau Recef Gayo di algayonie@yahoo.com.
“Banyak pelajar, mahasiswa, dan peneliti yang berkomunikasi dan menanyakan literatur Gayo baik dari Indonesia maupun luar negeri,” kata Direktur Research Center for Gayo, Yusradi Usman al-Gayoni, Sabtu (30/11/2013) dalam siaran pers yang diterima LintasGayo.co.
Dijelaskannya, ke 100 literatur Gayo tersebut sudah dikumpulkannya sejak tahun 2002. Namun, masih lebih sedikit dibandingkan koleksi kegayoan yang ada di Leiden Belanda dan di Munich Jerman.
“Dari tahun 2002, sudah saya publikasikan. Jadi, siapa pun yang meneliti Gayo bisa terbantu. Jika ada yang tidak tahu, barangkali informasinya nggak tersebar dengan baik. Publikasinya pun belum maksimal,” sebutnya.
Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah itu, memperkirakan, ada 300 buku terkait Gayo di Indonesia. Sayangnya, buku-buku tersebut tidak ada di tanoh Gayo. Termasuk, di Kantor Arsip dan Badan Perpustakaan Daerah baik di Takengon, Kotacane, Gayo Lues, dan Bener Meriah.
“Kalau di Kantor Arsip dan Badan Perpustakaan Daerah di Gayo, paling 5-7 buku,” tandasnya.
Karenanya, sambungnya, pemerintah kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah, mesti ikut andil. Misalnya, membantu kegiatan riset, membantu penulis-penulis, menyetak, dan mengupayakan pengadaan buku-buku Gayo. Kalau tidak, rujukan tentang Gayo makin kurang. Apalagi, yang meneliti dan menulis Gayo. Dampaknya, transmisi tertulis ke-Gayo-an tidak berjalan. Hasilnya, bisa “mempercepat kepunahan” Gayo itu sendiri.(pr | aZa).