Pulang ke Gayo, M. Nur Gaibita ingin Mengabdi Bagi Tanah Kelahiran

oleh
tmp_20131108_193821-930866733
Muhammad Nur Gaibita salah seorang Putra Gayo yang sukses meniti karir (LintasGayo.co | Wein Mutuah)

Diusia yang sudah tak muda lagi, salah seorang putra Gayo yang lama merantau ke ibukota Jakarta, Muhammad Nur Gaibita (73) pulang ke kampung halamannya, Timang Gajah Kabupaten Bener Meriah dan bercita-cita menjadikan kampung tersebut sebagai pusat percontohan yang berpusat kepada satu titik kepada pengembangan sumber daya masyarakat setempat, dari dua sisi yakni sosial kemasyarakatan dan ekonomi kemasyarakatan.

Dengan sejumlah pengalamannya, tentu saja hal tersebut tak terlalu sulit di tempuh bapak 6 anak ini, jika melirik perjalanan hidup dan karirnya, M. Nur Gaibita merupakan sosok pekerja keras dan ulet, disiplin serta jujur. Walau masih dipercaya menduduki jabatan strategis disalah satu BUMN yakni Perpadi, dia memilih mundur karena ingin mengabdi untuk tanah kelahiran.

M. Nur Gaibita adalah alumni SMAN 1 Takengon tahun 1962, dia melanjutkan pendidikannya ke Institut Pertanian Bogor (IPB), mendengar adanya sebuah akademi ikatan kedinasan dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia, dirinya memilih meninggalkan IPB dan kuliah di Akademi Pertanian Ciawi.

“Setahun saya kuliah di IPB saya memilih pindah ke Akademi Pertanian Ciawi, karena masa itu sangat sulit orang tua menyekolahkan dengan biaya tinggi, di Akademi Pertanian Ciawi, semua dibiayai pemerintah, karena ada program ikatan kedinasan”, kata M. Nur Gaibita, beberapa waktu lalu, di Takengon.

Tiga tahun berselang tepatnya tahun 1966 dia menamatkan pendidikan Sarjana Muda (BA) nya, dan memilih untuk bertahan di pulau Jawa dengan menjadi penyuluh pertanian Banten yang mengkoordinir mahasiswa pertanian.

Tahun 1966, dia kembali ke Aceh dengan menjadi pegawai statistik Dinas Pertanian Provinsi Aceh. Setahun kemudian, dia memilih keluar dari dari Pertanian, dan memilih jadi petani di kampung halamannya Timang Gajah. Pada saat itu, berbekal ilmu dibangku perkuliahan, dia ingin menjadi petani yang berbeda dengan petani lainnya.

“Saat itu saya mengajak dua orang suku Cina untuk menanam tembakau, dan dua orang dari Aceh Selatan untuk bekerja dengan saya, dan saya membuat turbin penggilangan padi disana bersama mereka, hasilnya dibagi tiga, sepertiga buat saya dan dua pertiganya buat mereka, dan saat itu sudah sangat memuaskan hasilnya”, kenang Nur Gaibita.

Namun, ternyata apa yang telah dilakukannya, tidak mendapat restu dari orang tua, orang tuanya menginginkan dirinya menjadi PNS dan kembali bekerja di Dinas Pertanian Aceh. “Ya dulu orang tua saya mengatakan, buat apa jauh-jauh sekolah kalau cuma jadi petani saat pulang, terpaksa saya mengikuti keinginan mereka, dan pada tahun 1968, walau ditolak oleh kepala Dinas Pertanian masa itu”, ujarnya.

Ternyata disinilah awal karir, putra Gayo ini hingga ditarik ke Kementerian Pertanian, berbekal dengan ilmu dan prinsip karirnya di Dinas Pertanian Aceh melalui program-programnya yang tepat, menjadikan dirinya menjadi staf yang yang paling cepat menempuh karirnya, meski dirinya dikenal oleh berbagai kalangan sebagai orang yang suka marah-marah (Gayo : Mergeng) jika beradu dengan prinsip yang telah menjadi patokannya.

“Dulu saya sering “mergeng-mergeng”, karena saya anggap orang itu menyimpang, dan suatu saat senior saya dari Gayo mengajari saya bagaimana cara memperlajari masyarakat Aceh secara mendalam, agar keputusan-keputusan yang kita keluarkan diterima oleh mereka, hingga akhirnya data pertanian di Aceh saya kuasai, jadi mereka yang butuh saya bukan saya yang butuh mereka, sampai akhirnya, walaupun sebagai staff bergaul pun saya dengan orang-orang elite”, terangnya.

Menurutnya, “Mergeng” adalah tabiat urang Gayo yang paling susah dikalahkan tatkala orang Gayo berhadapan dengan orang non Gayo lainyya, sehingga hal ini menjadi bomerang bagi dirinya sehingga terasa dikucilkan dan diperlakukan tidak adil oleh orang lain.

“Seharusnya kita bisa mengubah hal tersebut tatkala bergaul dengan orang selain Gayo, caranya kurangi “Mergeng”,  dan pelajari mereka secara mendalam, Insyaallah kita dapat diterima ditengah-tengah mereka”, pesan Nur Gaibita.

Berkat sudah menguasi data di Aceh, Nur Gaibita pun naik jabatan dari staf menjadi Subdin Produksi dan menjabat sebagai Subdin Program. Disinilah, program-program pertanian Aceh digarap, dirinya mengajak akademisi-akademisi pertanian dari Unsyiah untuk bekerja sama membangun pertanian Aceh. Karena kedekatan dengan akademisi-akademisi tersebut, dirinya meminta agar dibukanya kuliah sore di Fakultas Pertanian Unsyiah agar bisa meneruskan studi S-1 nya, dan akhirnya usul tersebutpun diterima setahun kemudian dia berhasil menamatkannya.

Setelah menamatkan studi S-1 nya, tahun 1978 dia diangkat menjadi Kepala Dinas Pertanian Aceh, meski terjadi kontroversi saat itu, karena dinilai masih terlalu muda. “Enam bulan baru saya dilantik jadi Kadis Pertanian, banyak yang menentang keputusan tersebut, karena mereka tau jika saya jadi Kadis maka mereka akan sulit beradaptasi dengan cara saya”, ujarnya sambil tersenyum.

Selama kurang lebih 12 tahun menjadi Kadis Pertanian Aceh, melalui program-program yang diterapkan, dia bersama jajarannya berhasil meningkatkan produksi pertanian di Aceh. Salah satunyanya adalah pengembangan Kedelai tanpa projek. Tak hanya itu, melihat prestasinya yang gemilang, dirinya pernah ditawarai Gubernur Aceh saat itu, Teuku Mohammad Hadi Thayeb untuk menjadi Bupati di Aceh Tengah menggantikan Beni Banta Cut yang saat itu menjadi Bupati.

“Saya menolak tawaran tersebut, karena apa, banyak keluarga saya yang bekerja menjadi PNS di Kantor Bupati, sehingga saya yakin pekerjaan saya akan menjadi tidak nyaman”, terang Nur Gaibita.

Meski menolak menjadi Bupati Aceh Tengah, saat kepemimpinan Gubernur Ibrahim Hasan setahun kemudian, dia diajak Menteri Pertanian ditahun 1990 untuk pindah ke Departemen, dan menjadi Direktur Bina Usaha selama 6 tahun. Setelah itu diangkat menjadi Direktur produksi selama 2 tahun. Tak hanya itu, Nur Gaybita juga pernah menjadi Direktur Utama PT. Perpani sebuah BUMN selama 5 tahun.

Berbekal pengalamannya inilah, dirinya lebih memilih kembali ke Gayo untuk menerapkan pengalaman dan ilmunya disisa umur yang dimilikinya. “Saya ingin mengabdikan diri saya bagi tanah kelahiran saya, saat ini saya tak muda lagi, kapan saya bisa mengabdi kalau tidak sekarang”, kata Nur Gaibita

Saat ini, dia bersama warga Timang Gajah, sedang membina sebuah program mandiri untuk menaikkan nilai sosial ekonomi kemasyarakatan melalui pengembangan sumber daya masyarakatnya sendiri. Dia berkeinginan memberikan contoh kepada masyarakat Gayo lainnya bahwa melalui program binaanya tersebut, masyarakat Gayo lainnya dapat menirunya sehingga kesejahteraan masayarakat Gayo dapat meningkat.

“Programnya sangat sederhana, dengan membuat koperasi pertanian, dengan berbagai aspek salah satunya adalah meningkatkan produksi padi sebagai lumbung pangan, dan target nantinya dapat memenuhi kebutuhan beras di Kabupaten Bener Meriah sebesar 5 persen saja”, jelas Nur Gaybita.

Tak hanya itu, dia mengiring masyarakat Timang Gajah untuk tidak fokus pada produksi beras saja, memanfaatkan lahan yang ada, dia membuat program untuk beternak bebek. “Saat ini beberapa kepala keluarga sudah mempunyai bebek 200 ekor, dan mereka memiliki penghasilan 100 ribu perharinya”, katanya.

Dia juga memanfaatkan Ketua Gabungan dari Beberapa Kelompok Petani (Gapoktan) sebagai bidang yang memesarkan apa yang dihasilkan masyarakatnya tersebut. Menurutnya, sebuah program haruslah mengikuti pola terfokus, berkelanjutan, efesiensi, daya saing, nilai tambah dan terakhir pemerataan.

“Saat ini sistem di Indonesia sudah salah, tidak mengikuti pola terfokus terlebih dahulu akan tetapi langsung pemerataan, hal tersebut lah yang menjadi kegagalan dari program-program, Malaysia sudah 12 tahun yang lalu sudah mengubah program-program mereka menjadi sistem terfokus kenapa Indonesia enggak, saat saya menjabat menjadi Kadis Pertanian Aceh, saya sudah menjalankan sistem terfokus, karena keberhasilan program yang saya buatlah saya ditarik ke Departemen”, akunya.

Dari sinilah, dirinya berkeinginan memberikan salah satu contoh program terfokus kepada masyarakat Gayo melalui program-program yang saya kerjakan bersama masyarakat Timang Gajah, jika nanti sudah berpusat pada suatu titik pengembangan sumber daya masyarakat disana. Saya bertekad mengubah sosial kemasyarakatan dan sosial ekonomi kemasyarakatan melalui program-program yang dibuat.

“Untuk merubah hal tersebut, perlu sebuah gerakan yang dimulai dari masyarakat itu sendiri melalui gerakan kebijakan serta regulasi terkait hal itui, makanya diperlukan sebuah percontohan”, ujarnya.

Saat ini untuk menjalankan programnya tersebut, Nur Gaibita beserta masyarakat Timang Gajah tidak terpaku pada bantuan pemerintah. “Jika program percontohan ini berhasil baru kita tawarkan, yang terpenting berhasil dulu”, pungkasnya.

Inilah kisah hidup salah seorang putra Gayo, dengan modal kejujuran dan kerja kerasnya dibidang ilmu yang selama ini ditekuninya sehingga bisa meraih berbagai prestasi yang luar biasa tentunya dengan segala rintangan dan tantangan yang dihadapinya, semoga saja akan muncul putra-putri Gayo yang mengikuti jejak langkahnya, tidak hanya disatu bidang akan tetapi disemua bidang. Amin yaa rabbal ‘alamin…..!!!

(Darmawan Masri)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.