Cara Orang Gayo Memilih Pemimpin

oleh

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Setiap lima tahun sekali masyarakat Indoensia memilih pemimpin dari Presiden, Gubernur hingga Bupati atau Walikota. Masyarakat Gayo yang mendiami wilayah tengah provinsi Aceh juga demikian, tutur memilih Bupati dan pasangannya Wakil Bupati atau “reje” dalam istilah lokal. Bagaimana sebetulnya orang (masyarakat) Gayo memilih pemimpin?  Di sini, terminologi Gayo merujuk kepada tiga hal, yaitu urang “orang atau masyarakat” Gayo, daerah yang mereka diami yang dikenal dengan Gayo atau tanoh “tanah” Gayo, serta basa “bahasa” Gayo (al-Gayoni, 2010: 1; 2012:1)

Secara normatif-formal-prosedural, proses pemilihan pemimpin di Gayo sama dengan masyarakat yang lain. Mereka punya hak pilih, terdaftar di panitia pemilihan atau penyelenggara pemilu. Lalu, melakukan pencoblosan di bilik suara. Akan tetapi, ada kearifan masyarakat Gayo dalam memilih pemimpin baik formal maupun informal. Mereka selalu melihat rekam jejak calon (track record). Dalam pemilihan kepala kampung atau kepala desa, calon legislatif (caleg), dan bupati/wakil bupati, misalnya, tak lepas dari penilaian rekam jejak. Bahkan, keturunannya ke atas—ama, awan, datu, empu, munyang, entah, rekel, dan keleng—pun ikut “dikaji.” Tujuannya, untuk memastikan; apakah darah kepemimpinan mengalir pada calon tersebut.

Dalam kearifan verbal di sana, ada istilah reje mu suket sipet. Kata reje atau raja dimaknai sebagai ‘pemimpin’ secara luas. Termasuk, Bupati atau calon anggota legislatif (caleg). Namun, terminologi khusus yang merujuk kepada anggota dewan dalam bahasa Gayo disebut dengan ulu rintah.

Suket dan Sipet
Lantas, apakah makna reje mu suket sipet tadi? Ada tiga kata kunci di sini; reje (raja—pemimpin), suket (menakar), dan sipet (mengukur). Dalam banyak literatur Gayo, reje mu suket sipet diartikan ‘adil.’ Memang, seorang pemimpin baik formal maupun informal harus adil. Dalam hal ini, bupati yang ada di Gayo: Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Kabupaten Bener Meriah. Mereka mesti adil kepada Tuhan, diri sendiri, keluarga, golongan, masyarakat luas, dan lingkungan alam. Sejatinya, mereka bupati/wakil merupakan pemimpin masyarakat secara keseluruhan. Bukan pemimpin yang mewakili tim sukses, partai politik, keluarga, golongan, dan paruh masyarakat (belah) tertentu. Begitu pula anggota dewan, mesti adil. Sebab, mereka akan mewakili daerah pemilihan dan konstituennya. Dengan demikian, amanah, beban, tanggung jawab, dan resiko yang diemban pun pasti berat.

Hakikat makna reje mu suket sipet tadi terdapat pada kata suket (menakar) dan sipet (mengukur). Indikator suket ini pun jelas sekali, antara lain kal, are, tem, dan seterusnya (alat penakar). Sebaliknya, sipet biasanya menggunakan jari tangan (mengukur jarak). Di sini, ada unsur relativitas. Panjang jari seseorang pasti berbeda satu sama lain. Hasilnya, pasti akan berbeda. Secara denotatif bermakna demikian. Namun, makna konotatifnya lebih dalam. Pemaknaan itu menggambarkan konsep, nilai, kearifan, norma, moral, dan etika masyarakat Gayo dalam memilih pemimpin.

Dalam relasi pemimpin dan kememimpinan, suket merujuk kepada pemimpin (yang sedang maju) yang bersangkutan. Dengan kata lain, suket merujuk kepada hal-hal yang konkrit (i panang sareh, i amat nyata): fisik, tempat tinggal, tempat masa-masa kecil, sekolah, kampus, tempat berkarir, dan lain-lain . Kebalikannya, sipet merujuk kepada hal-hal yang abstrak. Misalnya, soal kejujuran; amanah tidak amanah; umur; tingkat popularitas, elektabilitas serta akseptabilitas yang tinggi; keagungan sifat dan karakter; kedalaman ilmu; keluasan pengalaman; keluwesan pergaulan; bekal pendidikan yang memadai; ketaatan beragama; dukungan rekam jejak dan kinerja yang mumpuni; dan tidak cacat moral dan tidak cacat hukum “bersih.” Alhasil, pemimpin-pemimpin formal dan informal terpilih bisa menuntun dan membawa masyarakat serta daerah yang dipimpinnya ke arah yang benar, baik, maju, dan bermartabat. Karena, didasari dengan bekal pengalaman, ilmu, wawasan, dan moral yang baik (the right man on the right place, bukan the wrong man on the wrong place).

Selain pertimbangan rekam rejak, masyarakat Gayo selalu menggunakan akal sehat dan menyertakan hati nurani dalam memilih. Kalaupun ada yang merekomendasikan calon tertentu, tidak diterima mentah-mentah. Di Gayo, tidak berlaku garis komando atau fatwa dari tokoh tertentu. Dalam satu keluarga inti (nuclear family) atau keluarga besar (extended family), bahkan suami-istri pun bisa berbeda pilihan. Karena, pertimbangan akal sehatdan hati nurani tadi. Lebih dari itu, mereka ikut meminta petunjuk Tuhan melalui salat istikharah. Tuntunan-tuntunan seperti itulah yang dipakai masyarakat Gayo dalam memilih pemimpin.

Pergeseran Nilai
Akan tetapi, sejak era reformasi 1998 dan dilangsungkannya pemilihan langsung pemilihan presiden (pilplres), kepala daerah (pemilukada), dan pemilu legislatif (pileg), kearifan lokal tadi mulai berubah. Masyarakat Gayo—meski tidak semua—mulai “menikmati” politik uang (money politics). Buat penulis, money politics merupakan kejahatan luar biasa, disamping korupsi, narkoba, pembunuhan berencana, dan kejahatan terorisme. Melalui money politics inilah eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjarah uang rakyat “korupsi.” Akibatnya, muncul istilah trias koruptika: eksekuthief, legislathief, dan yudikathief.

Siapakah yang salah? Dalam hal ini, masyarakat tidak salah. Calon kepala daerah dan calon legislatif lah yang salah. Lagi-lagi, pun tidak semuanya. Mereka yang memulai, mengajarkan, dan menyuburkan money politics. Tak hanya itu, mereka telah merendahkan, menghinakan, dan membodoh-bodohi masyarakat.

Di sisi lain, masyarakat pun tidak merasakan manfaat keberadaan bupati/wakil bupati dan dewan. Kecuali, buat segelintir orang, yaitu bosisme lokal (meminjam istilah Boni Hargens). Masyarakat menganggap, tidak ada korelasi signifikan penyelenggaraan pemilu dengan keterpilihan kepala daerah dan anggota dewan dengan perbaikan ekonomi “kesejahteraan” mereka. Setelah pemilukada dan pemilu legislatif berlangsung, masyarakat serta merta dilupakan. Selanjutnya, mereka yang terpilih fokus pada pengembalian modal dan hutang, memperkaya diri, dan membangun politik dinasti (istilah lain dinasti politik dan politik kekerabatan). Sebagai akibatnya, sebagian masyarakat menjadikan pemilu “pesta demokrasi” sebagai ajang untuk meraup uang atau barang sebanyak-banyaknya. Dengan kata lain, menjadikan calon presiden/wakil presiden, calon kepala daerah, dan caleg jadi “ATM berjalan.”  Dengan harapan, ada efek jera. Namun, bukan efek jera yang didapat. Tapi, politik uang malah makin “menggila.”

Namun, mereka—calon presiden/wakil presiden, calon kepala daerah, dan caleg—pun berbuat demikian pastinya tidak terlepas dari partai politik. Karena, buruknya sistem rekrukmen di internal partai politik. Partai politik yang mestinya menghasilkan pemimpin jujur, bersih, amanah, tanggung jawab, kredibel, tahu malu, dan berkualitas; malah menghasilkan pemimpin korup. Pasalnya, dari awal, telah terjadi politik transaksional (setoran ke partai atau ketua partai). Siapa yang punya modal besar, bisa maju. Soal kredibilitas dan kualitas, belakangan. Karenanya, yang tidak pantas pun (sah kenak—bahasa Gayo) berbondong-bondong maju. Karena, tidak ada lagi rasa “terputusnya sel syaraf” malu.

Tolak Money Politics
Dalam menghadapi pemilu atau pilkada, masyarakat Gayo mesti kembali kepada kearifan lokal mereka, yaitu dengan menolak politik uang. Jangan terima uangnya, dan jangan pilih caleg-caleg yang ber-money politics. Yang lebih prinsip, tetap memelihara akal sehat dan menghidupkan hati nurani. Pada akhirnya, masyarakat tidak salah pilih. Sebab, calon bupati/wakil bupati, caleg-caleg yang jujur-tidak jujur, bersih-kotor, amanah-tidak amanah, mampu-tidak mampu, berkualitas-tidak berkualitas, punya kesempatan yang sama. Oleh karena itu, masyarakat harus hati-hati, untuk tidak salah memilih.

Selanjutnya, ikut mengawasi dan mengawal penyelenggaran pemilu legislatif oleh penyelenggara, yaitu KIP Aceh Tengah, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh Tengah. Saat yang sama, memastikan, tidak ada permainan politik uang; mengingat kepentingan masyarakat dan daerah secara keseluruhan-jangka panjang. Juga, memastikan tidak ada invervensi dari pihak mana pun. Termasuk, dari bupati/wakil bupati, pejabat, pengusaha (kontraktor), dan anggota dewan yang duduk sekarang (petahana). Dengan demikian, anggota dewan yang terpilih nantinya betul-betul jujur, mampu, bersih, amanah, tanggung jawab, mampu, dan berkualitas. Akhirnya, daerah ini—Takengon, Gayo, dan Aceh—bisa berkah, terbenahi, berkembang, dan maju.

*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.