Raga di Kampoeng Kopi Banaran, Pikiran di Kebun Kopi Gayo

oleh
Kereta "taft badak" angkutan mengelilingi kebun kopi Banaran
Bus Wisata di Kebun Kopi
Bus Wisata di Kebun Kopi

Catatan Perjalanan Khalisuddin*

BERWISATA di kebun kopi, terdengar agak aneh bagi masyarakat Gayo, Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah yang umumnya sebagai petani kopi, keseharian mereka selalu bersama kopi. Namun ternyata sangat menarik bagi orang yang dalam kesehariannya tidak bersentuhan sama sekali dengan pohon kopi.

Begitulah penilaian kasat mata di Kampoeng Kopi Banaran (KAKOBA), lokasi wisata Agro yang beralamat di Jalan Raya Bawen-Solo Km 1,5 Bawen Kabupaten Semarang dengan alamat website http://www.kampoengkopibanaran.com/. Puluhan bahkan mungkin ratusan kenderaan roda 2 dan roda 4 serta beberapa bus di parkir rapi di halaman komplek tersebut. Pengunjung yang umumnya keluarga tampak ramai di seluruh sisi komplek yang menawarkan sedikitnya 21 macam paket wisata dengan 3 kategori, Wisata Petualang, Out Bound dan Wisata Edukasi. Belum termasuk wisata kuliner dan souvenir.

Berkesempatan mengunjungi tempat seperti ini, 15 September 2013 lalu sungguh menjadi pengalaman yang sangat berharga walau sebenarnya sangat mudah ditemukan dengan searching internet. Beberapa jam mengitari lokasi yang berbatas langsung dengan Rawa Pening ini mengingatkan pada hamparan kebun kopi rakyat Gayo dari Perempusen Sintep Kelitu di tepi danau Lut Tawar Aceh Tengah, Umang Belang Gele, Atu Lintang, Ratawali, Kenawat Redelong hingga kawasan Buntul Kemumu Kabupaten Bener Meriah.

Bedanya, hamparan pohon kopi di Banaran semuanya Robusta dan pemiliknya PT. Perkebunan Nusantara IX (Persero) di ketinggian 400-600 meter diatas permukaan laut. Di Gayo kebun kopi adalah milik rakyat dengan luas keseluruhan di Aceh Tengah dan Bener Meriah 83.000 hektar.

Kereta "taft badak" angkutan mengelilingi kebun kopi Banaran
Kereta “taft badak” angkutan mengelilingi kebun kopi Banaran

Sebagai pecandu kopi, sesaat setelah turun dari bus, saya langsung mencari Coffee House dan meminta diisediakan dable espresso, cuma saja saya terpaksa menegak kopi Robusta, padahal lidah dan perut sudah sangat tidak cocok dengan jenis kopi ini. “Apa boleh buat, jadilah, yang penting ngopi”, kataku kepada seorang rekan seperjalanan, Iwani Tosa, Humas salah satu Koperasi eksportir kopi Arabika di Takengon Aceh Tengah.

Selain kami, puluhan anggota rombongan tour dalam rangkaian International Busines Forum for Specialty Product dan peserta Indonesia Coffee Festival yang digelar sejak 13-16 September 2013 di hotel Ambarukmo Yogyakarta itu termasuk 2 rekan lainnya dari Gayo turut beserta rombongan itu, Ir. Absardi dan Rizwan Husin dipandu panitia melihat kebun kopi dengan berjalan kaki.

“Ah, kita gak perlu ikut yang itu, lebih baik kita berkeliling saja melihat-lihat apa yang ada disini”, kata rekanku Iwan. Aku mengiyakan dan segera berjalan kaki melihat aktivitas wisatawan yang umumnya keluarga di lokasi tersebut. Diantara fasilitas yang disediakan ada arena bermain anak-anak, lapangan tenis, Mushola, Meeting Room, Griya Robusta, Family Gathering, Corporate Gathering, Coffee Walk, Out Bound Games, Kolam Renang, Gasebo, Taman Buah, Gedung Pertemuan, Flying Fox, jelajah kebun dengan ATV dan lain-lain.

Kami kemudian memilih berkeliling dengan “kereta” mengitari areal kebun. Dengan membayar Rp.50 ribu, bersama 3 rekan lain kami dibawa berkeliling memasuki kebun kopi. Yang dimaksud kereta ternyata hanya bentuknya yang dimiripkan dengan lokomotif kereta api, mobil jenis jeep berbahan bakar solar.

Pekerja kebun
Pekerja kebun

Memasuki kebun kopi robusta di jalan bebatuan yang ditata sedemikian rupa menanjak dan menurun. Aku teringat kebun kopi robusta peninggalan Awan Pedih (kakek dari pihak ayah) di Kenawat, seluas lebih kurang 2 hektar berisi kopi robusta yang batangnya jauh lebih besar-besar ketimbang kopi di Banaran. Buahnya pun lebih banyak bahkan saat panen, kadang mesti sekuat tenaga jari memetik buah kopi merah yang berhimpitan di cabang-cabang pohonnya.

Bedanya, kebun Banaran tampak ditata dengan rapi. Diberi teras siring dan dahan kopinya di pangkas dengan baik dan batangnya tidak tampak berlumut. Sejumlah pekerja terlihat sedang memanen kopi. Mereka ramah-ramah, sepengetahuanku, seperti itulah warga yang sadar wisata sesuai dengan konsep pariwisata “Sapta Pesona” (Keamanan, Ketertiban, Kebersihan, Kesejukan, Keindahan, Keramahan, dan Kenangan).

Bicara Sapta Pesona, tentu dari aspek keamanan daerah Gayo mudah-mudahan terjamin. Tertib bisa dikatakan masih kurang. Bersih, bisa berkaca di seputar kawasan wisata Danau Lut Tawar. Kesejukan, pandangan di Gayo menyejukkan dan lebih sejuk lagi jika tidak bertabur sampah. Ramah, tentu Urang Gayo ramah dan sangat well come kepada pendatang. Dan Kenangan, setiap yang datang ingin kembali ke Gayo karena terkenang akan keindahannya lebih khusus cita rasa kopi dan seni budayanya.

Kebun kopi Banaran berlatar panorama Rawa Pening
Kebun kopi Banaran berlatar panorama Rawa Pening

Berada lebih satu jam di Banaran membuat hati pikiran berputar, ingat Gayo-ku yang lebih dari 90 persen lebih penduduknya sebagai petani kopi. Walau dia saudagar besar, birokrat, politisi, dan berbagai etnis selain Gayo punya kebun kopi. Namun masih belum berhasil menduniakan kopi sebagai daya tarik wisata.

Orang asing yang datang ke Takengon umumnya hanya lewat hendak atau setelah mengunjungi Taman Nasional Gunung Leuser. Menyebut “Ketambe dan Alas” atau Sabang lidah mereka tak asing lagi, tidak seperti menyebut Gayo atau danau Lut Tawar dengan kopinya.

Secangkir kopi espreeso Robusta Banaran
Secangkir kopi espreeso Robusta Banaran

Bicara Danau Lut Tawar dan event andalan di dataran tinggi Gayo pacuan kuda tradisional, nyaris tak tertampik sangat dikagumi warga sekitar Gayo namun tidak lebih jauh dari Aceh Tamiang di pantai timur Aceh hingga Banda Aceh. Jikapun lebih jauh dari itu hanya hingga Medan Sumatera Utara sebatas orang yang bosan dengan Danau Toba. Namun bicara potensi cita rasa kopi Gayo yang spesial karena citarasa dan organiknya, maka Gayo akan menjadi dekat sekali dimata dunia.

Sangat sepakat dengan yang diutarakan seorang sahabat kompasiner asal Gayo yang alang melintang diperantauan, Win Wan Nur. Jika ingin memajukan pariwisata Kabupaten Aceh Tengah harus menemukan satu pembeda (Differentiation) yang jelas dengan tujuan wisata lainnya, sebagaimana Malaysia menemukan “Malaysia Truly Asia”. Begitu kata dia dalam tulisan bertajuk Industri Pariwisata Adalah Perang, Siapkah Kita Ikut Bertempur?.

*Peminum kopi, tinggal di Takengon (jilan.pinter[at]yahoo.co.id)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.