Menyingkap Sejarah Pembukaan Jalan Gayo

oleh
Enang-Enang (foto : Ikhwanul Hakim)
Screenshot : File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een brug over de rivier Weuih ni Enang op de Gajoweg aan de Noordkust van Atjeh Sumatra vanuit het Westen gezien TMnr 10007563.jpg
(Screenshot) File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een brug over de rivier Weuih ni Enang op de Gajoweg aan de Noordkust van Atjeh Sumatra vanuit het Westen gezien TMnr 10007563.jpg

Dibangun 1902, Ribuan Nyawa Rakyat Melayang

Jalur transportasi darat yang menghubungi kawasan pesisir utara menuju wilayah tengah Aceh, dari Bireuen hingga Kota Takengon ternyata menyimpan sejarah kelam. Jalan sepanjang 101 kilometer tersebut membuka luka bagi masyarakat Peusangan. (Bahrul Walidin, Bireuen).

Ketika awal pembangunan ruas jalan provinsi itu, berbagai tragedi memilukan dirasakan warga akibat perlakuan kejam terhadap para pekerja rodi saat penjajahan Belanda satu abad lalu. Hingga kini masih terkubur di antara hutan rimba yang melintasi Kabupaten Bireuen, Bener Meriah, dan Aceh Tengah.

Mungkin banyak orang yang tidak mengetahui kisah menyedihkan ketika jalan itu di bangun sejak 1902. Kekejaman dan kekerasan yang dilakukan kolononial Belanda terhadap pekerja paksa kala itu, menyebabkan ribuan nyawa rakyat melayang karena menderita akibat diperlakukan secara tidak manusiawi.

Berdasarkan sejarah yang terungkap dalam buku Aceh Sepanjang Abad menyebutkan, jalur utama pesisir utara menuju wilayah tengah Aceh dibangun dari keringat, air mata, darah bahkan nyawa masyarakat Peusangan yang harus menjalani kerja paksa. Demi memenuhi ambisi penjajah Belanda kala itu, untuk menguasai dan mengeruk hasil bumi Aceh di dataran tinggi Gayo. Serta tujuan memburu para pejuang yang telah berhijrah ke kawasan pedalaman.

Menurut literatur sejarah yang dihimpun Rakyat Aceh (grup Sumut Pos), pembukaan jalan itu merupakan gagasan Gubernur Militer Belanda, Van Heutsz yang bermarkas di Kutaraja (kini Banda Aceh, Red). Pihak kolonial masuk dan menguasai wilayah Bireuen, setelah berhasil merebut Benteng Kuta Glee di Samalanga tahun 1901 yang semula menjadi basis pertahanan pasukan pejuang. Ketika itu, Van Heutsz meyakini kawasan pedalaman sebagai lokasi strategis pejuang Aceh, untuk terus membangun konsolidasi dan gerakan perlawanan terhadap rezim penguasa.

Walaupun saat itu kondisi keuangan penjajah sedang terpuruk, peti uang mengalami kekosongan akibat tersedot kebutuhan membiayai perang di Aceh. Namun, Van Heutsz bersikukuh melanjutkan pembangunan jalan menembus ke wilayah Gayo. Berbagai sumber uang terus dicari pasukan kolonial, selain upeti dan denda dari masyarakat. Penjarahan, perampasan serta penyerobotan hak rakyat dilakukan militer penjajah. Meskipun semua aksi itu masih kurang, tapi Van Heutsz tetap berpendapat jalan tersebut sangat dibutuhkan.

Dengan segala keterbatasan itu, akhirnya pemerintah kolonial Belanda menerapkan kerja rodi yang melibatkan belasan ribu warga dari berbagai daerah di pesisir utara. Korban pertama yakni masyarakat Peusangan, mereka dipaksa untuk ikut menjalankan pekerjaan berat itu. Meskipun pola kerja paksa itu, telah menurunkan jumlah populasi akibat korban meninggal dunia. Karena bekerja dalam tekanan dan paksaan, dengan ketersediaan makanan yang terbatas serta terserang berbagai penyakit mematikan. Seperti malaria, disentri, gangguan paru-paru dan bermacam endemis lainnya di lokasi kerja.

Sementara sebagian lainnya melarikan diri dan bergabung bersama para pejuang. Meski lambat laun jumlah pekerja semakin menyusut, namun penjajah tetap bersikukuh untuk tidak menghentikan pekerjaan itu. Siapa saja warga yang ditemui langsung ditangkap dan dipaksa ikut bekerja. Melalui pola brutal ini, Van Heutsz berharap memperoleh tiga hasil dengan selesainya jalan raya ke dataran tinggi Gayo. Pertama, penduduk yang bekerja dibawah pengawasan dari militer Belanda dapat diawasi agar tidak memberontak, kedua pembangunan ruas jalan untuk akses transportasi terselesaikan dan ketiga dapat menguasai perkampungan masyarakat yang ditinggalkan akibat kerja rodi, sehingga semua potensi alam bisa dijarah oleh penjajah.

Kebuasan militer Hindia Belanda dibawah komando Van Heutsz, tercatat sebagai perbuatan paling kejam dan paling terkutuk dalam sejarah perang Aceh. Bahkan, tindakan keji itu sempat mendapat reaksi pertentangan dari internal militer. Karena dianggap tidak pantas dilakukan di negeri jajahan, bahkan ada seorang perwira yakni Kapten Colijn dalam laporannya kepada Van Heutsz telah menggambarkan kebiadapan yang merajalela di Bireuen. Termasuk cara buruk mendapatkan pekerja rodi itu.

Seperti kedok menggelar razia mencari pemberontak (pejuang, Red) ke kampung-kampung, sehingga menemukan masyarakat yang dianggap kuat. Lalu digiring untuk ikut kerja rodi, sehingga tidak memiliki peluang guna bergabung dengan para pejuang Aceh. Termasuk kepala kampung pun diboyong supaya menambah jumlah pekerja. Hingga proyek pembangunan jalan gayo akhirnya mampu diselesaikan.

Kisah kekejaman kolonial yang sangat memilukan kala itu juga dirasakan masyarakat, seperti sejarah yang tercatat dalam salinan dokumen Nota Six yang terungkap Mei 1903. Diantaranya, di Bivak Peudada terdapat sebuah “kooi” yang menjadi sel tahanan. Bentuknya seperti kurungan kandang hewan, tingginya 1 meter, panjang 4 meter dan lebar 3 meter dikelilingi kawat duri sehingga sangat menyiksa setiap tawanan yang dijebloskan dalam tahanan kolonial.

Berbagai perlakuan buruk itu, menyebabkan perlawanan rakyat di mana-mana, terutama warga Peusangan yang merasa sangat tertindas. Tapi ironisnya, berbagai aksi perlawanan rakyat membuat militer Hindia Belanda kian beringas, brutal dan bertindak kejam di luar batas kemanusiaan. Sehingga hal itu semakin melandasi sengitnya perjuangan para syuhada karena tak ingin menjadi orang taklukan yang diperhamba dan dipekerja rodi. Selain itu harta dirampas, harga diri diinjak serta akhirnya mati konyol akibat takut melawan.

Rakyat Aceh kala itu hanya memiliki pilihan, yakni terus menjalani perang fisabilillah melawan kebiadapan bala tentara Van Heutsz. Hingga akhirnya jalan Gayo itu, dikerjakan diantara bermacam persoalan dan tantangan berat akibat perlawanan bertubi-tubi dari pejuang Aceh yang harus dihadapi militer Belanda. Kendati begitu, setelah melewati penderitaan dan kekejaman penjajah. Jalan Bireuen-Takengon dapat diselesaikan 20 tahun kemudian, meskipun cucuran keringat, air mata, darah dan nyawa rakyat Aceh. Namun perjuangan berat yang sarat dengan penderitaan, kini telah memberi manfaat besar bagi masyarakat. Sebagai sarana utama perhubungan transportasi darat dari pesisir utara hingga wilayah tengah.(Sumber : Sumut Pos, ed. 26 March 2013)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.